
Jumat, 25 April 2025
Kis. 4:1-12.
Mzm. 118:1-2,4,22-24,25-27a; Yoh. 21:1-14
SALAH satu godaan terbesar sebagai pengikut Yesus bukanlah kejatuhan dalam dosa yang mencolok, melainkan kembalinya kita pada hidup yang “biasa-biasa saja”.
Melalui pembaptisan dan peristiwa penting dalam hidup lainnya, kita pernah mengalami momen rohani yang menggetarkan, merasa dekat dengan Tuhan, dipenuhi semangat untuk melayani dan mengasihi.
Namun ketika momen itu berlalu, saat gemuruhnya tak lagi terdengar, kita perlahan kembali pada ritme duniawi yang lama.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kata Simon Petrus kepada mereka: “Aku pergi menangkap ikan.”
Kata mereka kepadanya: “Kami pergi juga dengan engkau.”
Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa. Ketika hari mulai siang, Yesus berdiri di pantai; akan tetapi murid-murid itu tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus.”
Ada keheningan yang dalam di balik pernyataan Petrus, “Aku pergi menangkap ikan.”
Ia tidak sedang mencari hiburan. Ia kembali ke pekerjaan lamanya, aktivitas yang ia kuasai sebelum mengenal Yesus.
Ini adalah tindakan yang tampak biasa, tapi sebenarnya menyiratkan kelelahan rohani, kebingungan, bahkan mungkin rasa kehilangan arah.
Yesus telah wafat. Meskipun ada kabar bahwa Ia bangkit, mungkin di hati para murid masih ada keraguan, ketakutan, dan kerinduan akan kehadiran-Nya yang nyata seperti dahulu.
Jadi mereka kembali pada hal yang mereka tahu: menangkap ikan. Namun malam itu mereka tidak menangkap apa-apa.
Ini bukan sekadar kegagalan teknis. Ini adalah gambaran hidup manusia ketika mencoba berjalan tanpa penyertaan Tuhan.
Ketika kita kembali pada rutinitas lama, tanpa arah, tanpa iman yang hidup, hasilnya sering kali adalah kekosongan.
Kita merasa sibuk, tapi kosong. Berusaha keras, tapi tidak menghasilkan apa-apa yang benar-benar memuaskan hati.
Itulah yang dialami para rasul setelah wafatnya Yesus. Mereka, yang sebelumnya mewartakan Injil, menyembuhkan orang sakit, dan menyentuh hati orang berdosa dengan kasih Allah, kini kembali ke jala dan perahu.
Semalaman mereka bekerja, menggunakan keahlian lama, perhitungan manusiawi, logika dunia, namun mereka tidak memperoleh apa-apa.
Inilah peringatan halus bagi kita: hidup rohani tidak bisa disandarkan hanya pada kebiasaan manusiawi.
Ketika kita mulai mengandalkan rencana kita sendiri, logika kita sendiri, tanpa menyertakan Tuhan, hasilnya seringkali adalah kehampaan. Tidak ada “tangkapan”, tidak ada buah.
Yesus memanggil kita untuk kembali percaya, kembali taat, dan kembali berjalan dalam kuasa-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sudah mulai meninggalkan hidup yang digerakkan oleh iman, dan kembali pada zona nyaman yang “biasa”?