[media-credit id=175 align=”alignleft” width=”150″]
MENGISI liburan dengan berbuat baik bagi sesama tentu membuat kwalitas hidup dan iman kita makin dewasa. Nah, tanggal 23 Juli 2011, dengan beberapa teman sukarelawan kami meluncur ke Prefektorat Miyagi, kawasan paling parah di Jepang yang beberapa waktu lalu porak-poranda diobrak-abrik gempa tektonik dan tsunami.
Kami datang dengan satu niat: berjibaku bersama membantu para korban tsunami dari puing-puing berserakan di sekitar rumah. Modal kami hanya dua: niat baik dan tenaga.
Sejumlah teman lain sudah mendahului berangkat menuju Miyagi. Tujuan mereka jelas yakni mendatangi rumah-rumah yang dihantam badai tsunami. Kami fokus pada sejumlah rumah yang letaknya tak jauh dari bibir pantai. Di situ bertumpuk berton-ton kotoran berupa lumpur dan puing-puing gedung.
Diterjang badai tsunami
Jangan ditanya rusaknya: pasti sangat-sangat parah. Menjadi lebih ngenes lagi, karena di sekitar lokasi permukiman tak jauh dari bibir pantai ini juga tak ada lagi tenaga kerja untuk bersih-bersih lingkungan. Apalagi tenaga relawan untuk memperbaiki rumah.
Nyaris setiap orang di permukiman ini sudah menjadi korban keganasan tsunami. Kalau pun masih beruntung diberi umur panjang, mereka sudah “lari” meninggalkan kawasan Miyagi.
Dalam kondisi seperti ini, rasanya tidak mungkin mereka ini bisa bangkit kembali tanpa ada bantuan dari pihak lain. Saya menyadari sepenuhnya, dalam diri kita ada keterbatasan.
Siapa tahu, kedatangan kami para sukarelawan yang jumlahnya hanya 10 kepala ini bisa berbuat sesuatu bagi mereka. Kami tak mau muluk-muluk dan berandai-andai. Fokus kami hanya satu: bersih-bersih rumah agar kediaman itu bisa dipakai lagi.
Tujuh orang sukarelawan sudah memulai kerja bakti ini. Bersama dua teman sukarelawan, saya berangkat kemudian karena kami bertiga harus menurunkan barang-barang bantuan dari bak truk.
Dalam perjalanan menyusul ke tempat tujuan, kami melewati sebuah jembatan warna biru yang terbentang di atas sungai yang cukup luas. Kami sedikit syok, karena ketika di tengah jembatan ini kami disuguhi “pemandangan” tidak biasa: jembatan itu putus di bagian tengah.
Saya menengok ke arah kiri. Sekitar 400 meter dari jembatan masih terlihat dua tiang besi mencuat tinggi dari dasar sungai. Rupanya satu ruas jembatan terbawa kena arus tsunami. Kalau jembatan besi saja bisa putus dan terbawa arus sejauh 400 meter, itu berarti tsunami itu benar-benar dahsyat.
Tidak jauh dari jembatan ada suatu tempat dimana beberapa bunga bermekaran. Di situ juga ada sebuah meja kecil. Selain bunga juga ada minuman serta ada gambar di atas meja. Saya tengok di kejauhan ada tiga unit buldozer sedang merapikan area itu dari puing-puing bangunan.
Puluhan murid SD tewas
Belakangan saya baru ngeh, kalau kawasan itu dulunya adalah kompleks sekolah dasar. Semua benda mati dan hidup hancur, dan bahkan semua muridnya diberitakan ikut menjadi korban tewas. Ketika melewati kawasan itu, hati saya tersedot karena menyempatkan diri berdoa sejenak.
[media-credit id=175 align=”alignleft” width=”150″]
Salah satu teman asli Jepang sampai tak kuasa mau menangis sambil berdoa di depan sekolah itu. Dari mulutnya terdengar sedikit keluh-kesah. “Apa salah kami?,” begitu keluhnya.
Mendengar kabar bahwa banyak anak-anak sekolah ikut menjadi korban tewas dalam bencana dahsyat gempa dan tsunami, saya berpikir betapa manusia tak ada harganya terhadap bencana alam. Rasanya, gempa dan tsunami itu memang di luar batas kemampuan manusia.
Saatnya pulang meninggalkan lokasi Miyagi. Sesaat kami berdiam tanpa berkata-kata, usai melihat pemandangan luar biasa “mengerikan” di depan mata.
Dalam keterbatasan ini, saya hanya bisa memaksa diri untuk hanya berpasrah hati kepada Tuhan. Kepada Tuhan, kami berdoa agar bisa diberi semangat bisa bangkit dari keterpurukan dan tetap percaya kepada Dia selamanya.
Di Prefektorat Miyagi, kami berbagi kasih di kawasan Ogatsu, Higashi, Matsushima. Miyagi jelas bukan Miyabi alias Maria Ozawa. Kalau bicara tentang yang terakhir, sudah barang tentu kisahnya akan berbeda. Miyagi…bukan Miyabi.
Bambang Sapto Nugroho, seorang insinyur lulusan ITB ahli programming komputer dan tinggal di Tokyo sejak dua dekade terakhir.