MELIHAT hasil persembahan ditolak Tuhan, hati Kain panas, wajahnya muram. Sementara adiknya, Habel, yang mengurbankan anak domba sulung yang tambun, diterima-Nya.
Asap kurban persembahan Kain berwarna hitam, berputar-putar memenuhi sekeliling altar, dan turun ke bumi. Asap kurban Habel putih bak kapas, membubung tinggi ke angkasa.
Kain naik pitam, diambilnya tongkat, dipukulnya kepala Habel dari belakang. Habel tewas di ujung senjata abangnya (Kitab Kejadian 4).
Itu kisah kekerasan pertama yang mewarnai sejarah manusia. Berkurban dengan tulus dan diterima Tuhan, atau berkurban sambil bersungut-sungut dan ditolakNya.
Kekerasan jilid pertama ditoreh manusia di awal sejarahnya dan diikuti sampai kini.
Yang hakiki bukan ujud wadag kambing, sapi, atau onta, tetapi ketulusan hati yang melakukannya.
Itu tidak dimiliki Kain.
Dendam Kain malah membawa korban. Habel mati dibunuh. Nyawanya terbang sampai di sisi-Nya.
Sekian abad setelah peristiwa Kain-Habel, Ibrahim (atau Abraham) menghadapi dilema yang mirip. Diminta olehNya agar mengorbankan anak yang sangat dikasihinya.
Ketika keduanya sudah rela untuk berserah diri, datanglah keajaiban. Sang putera diganti domba gemuk.
Kisah happy ending yang inspiratif, tentang ketakwaan Nabi Ibrahim, “Bapa kaum beriman” terus diperingati setiap tahun. Dirayakan jutaan atau milyaran manusia di dunia.
Tak terkecuali oleh Yati dan Maman, suaminya, pasangan pemulung miskin, yang tinggal di kawasan Tebet, Jakarta, sekian tahun lampau.
Sebelumnya, mereka antre di halaman masjid atau tanah lapang, menanti pembagian daging. Tak banyak yang didapatnya. Mereka ingin mendekat ke pintu surga. Dijualnya perhiasan emas yang bertahun-tahun ditabungnya. Dibelinya seekor kambing untuk dikurbankan.
Yati ingin mencontoh apa yang dilakukan Habel. Yati ingin merasakan bagaimana Ibrahim dan puteranya menyerahkan diri agar sampai ke tangan-Nya.
“Sekarang saya sudah plong”.
Demikian ujarnya ketika ditanya mengapa mereka melakukan itu. Keikhlasan telah menggerakkan hatinya.
Kurban mereka adalah ketulusan Habel, ketakwaan Ibrahim. Ia mengeluarkan asap putih yang membubung ke angkasa.
Yati dan Maman memberi dari kekurangan, bukan dari kelebihannya.
Kisah pasangan pemulung teladan itu sudah terjadi sekian tahun yang lampau, namun selalu mampu menjadi cermin bagi kita.
Ia mengingatkan akan cerita sufi yang sudah saya baca berkali-kali. Cerita yang sering diperdengarkan dari mulut ke telinga, dibaca dari buku ke buku.
Kisah yang mengingatkan banyak orang akan hakiki berkurban.
Suatu ketika, seorang ulama besar Hasan Al Basyri, menunaikan ibadah haji. Ketika sedang tidur, beliau mimpi melihat dua malaikat sedang bercakap-cakap.
“Ada sekitar 700 ribu jemaah haji yang sedang berada di Mekah. Kira-kira, berapa dari mereka yang mabrur?”.
“Wah itu sih kehendak Allah”.
“Dari sejumlah itu, tak ada satu pun yang mabrur”.
“Masak? Kenapa?”
“Ada yang karena riya, ada yang berhaji tanpa melihat tetangganya yang sedang sakit dan tak mampu berobat, ada yang meninggalkan tetangganya yang sedang kelaparan dan terbelit kemiskinan”.
“Lalu?”
“Hanya satu orang jemaah yang mendapatkan pahala sebagai haji mabrur.”
“Lho? Bagaimana mungkin?”
“Ya, tetapi dia tidak ada di sini. Dia adalah Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu. Dia ada di Damsyik, Syria.”
Sepulang dari Mekah, sang ulama tidak langsung pulang ke Mesir, tetapi mampir ke Damysik. Dicarinya Sa’id bin Muhafah.
Akhirnya Hasan Al-Basyri menemukannya di sebuah kampung kumuh, di tepi kota.
“Tolong ceritakan, apa yang kamu lakukan sehingga menjadi haji mabrur, sementara sedang di Damsik?”
“Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Sudah lama saya menyisihkan uang untuk naik haji. Sebetulnya, dana itu sudah terkumpul tahun ini. Rencananya, saya mau berangkat.”
“Mengapa batal?”
“Ketika saya mau berangkat, isteri saya yang sedang hamil, nyidam aroma daging tetangga miskin di sebelah rumah. Saya tidak tahu makanan apa yang sedang mereka masak. Ternyata, mereka tidak mau memberi secuil pun kepada saya”.
“Jangan. Daging itu halal untuk kami, tetapi haram untuk kalian,” demikian tetangga tadi menolak.
“Kenapa?,” Sa’id mencecarnya.
“Daging ini adalah bangkai keledai. Sudah busuk. Ia halal bagi kami, karena bila kami tak memakannya, kami mati kelaparan. Kami tak punya uang untuk membeli daging segar.”
“Ketika saya sampaikan kisah itu kepada isteri, kami berdua menangis. Uang bekal hajiku kuberikan semua untuk mereka.”
“Selamat merayakan Hari Suci Idul Adha – Mohon maaf lahir batin.”
@pmsusbandono
11 Agustus 2019