Bersolidaritas di Zaman Yang Bergolak

0
1,882 views
Ilustrasi: Solider.

 SERING dikatakan bahwa umat manusia dewasa ini hidup di zaman globalisasi dengan segala kebaikan dan keburukannya.

Dengan berbagai kemajuan dalam cara manusia berteknologi, berekonomi, berkomunikasi, dan semacamnya, ada segi-segi hidup manusia yang dipermudah, diuntungkan, dan mengembangkan kemanusiaan umat manusia, tetapi dalam waktu yang sama ada pula segi-segi hidup manusia yang justru mencekik dan menjauhkan umat manusia dari cita-cita untuk membangun kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam konteks hidup semacam itu, umat manusia dihadapkan pada situasi untuk berada dan tahan hidup dalam tegangan-tegangan, dan dengan segala kebebasan dan talenta yang dimiliki, ditantang untuk selalu mengambil sikap dan membuat keputusan dari waktu ke waktu bagi dirinya sendiri dan bagi kehidupan bersamanya dengan orang-orang lain.

Dengan lain kata, untuk hidup bermartabat di zaman ini, ada tuntutan ekstra pada manusia untuk mengembangkan kapasitas hidup yang tidak hanya sebatas sebagai pelaksana hukum dan kebiasaan-kebiasaan, melainkan dengan akal budinya yang sehat, hati nuraninya yang terang, dan bela rasanya yang tampak nyata, mampu mengembangkan kapasitas hidup yang lebih berciri kritis, kreatif, dan kredibel atau dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Bersolidaritas dalam Konteks Hidup
Menghadapi realitas hidup yang selalu berciri dinamis dan kontekstual, misalnya dengan semakin luasnya kemiskinan, semakin rusaknya lingkungan hidup, dan semakin hancurnya harmoni kehidupan bersama terkait dengan menjangkitnya fundamentalisme agama, tidak dapat dibenarkan secara moral bahwa manusia hanya tinggal diam dan menghabiskan masa hidup sambil menunggu saat kematian datang.

Sesuai dengan kodratnya sebagai pribadi sosial, manusia membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan manusia-manusia demi utuhnya perkembangan pribadi maupun komunitas sehingga keluarga umat manusia tidak jatuh pada liberalisme yang terlalu menekankan individu maupun kolektivisme yang terlalu menekankan kelompok.

Intinya, semua bertanggung jawab untuk setiap anggota masyarakat dan setiap anggota untuk semua. Di sinilah apa yang disebut sebagai solidaritas mendapatkan tempatnya yang khas di dalam kehidupan umat manusia.

Oleh karenanya, bersolidaritas sebagai sesama umat manusia sesungguhnya merupakan cara berada dan cara hidup (way of being and way of life) komunitas manusia.

Dalam konteks kehidupan orang beriman, tidaklah berlebihan dikatakan bahwa bersolidaritas merupakan cara berada dan cara hidup demi perwujudan iman itu sendiri. Maka, dengan bersolidaritas, iman tidak hanya berhenti pada pengungkapan upacara-upacara keagamaan, melainkan mewujud dalam tindakan-tindakan yang objektif dalam pergaulan hidup yang lebih luas. Istilahnya: “faith that does justice” (iman yang mewujudkan keadilan).

Hal-hal yang terkait dengan cara berada dan cara hidup orang beriman ini secara efektif jalan oleh karena ada keyakinan dasariah (belief) yang hidup di kedalaman jiwa orang beriman. Isi dari belief ini adalah bahwa pada kehidupan manusia sebagai anak Allah di dunia terdapat hubungan batin antarsesama manusia dan perwujudan-perwujudan tindakan berdasarkan hubungan batin tersebut demi terciptanya kesejahteraan bersama sehingga tidak ada satu orang manusia pun yang mengalami kekurangan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.

Prinsip Tindakan
Dalam perjalanan Gereja Katolik Indonesia sesungguhnya ada tradisi perwujudan iman di tengah hidup bermasyarakat yang dikembangkan dan diwariskan oleh almarhum Mgr Soegijapranata, SJ yang pedomannya diambil dari buah-buah refleksi Kardinal John Henry Newman, yaitu: in dubium libertas, in necessitatis unitas, in omnibus caritas (dalam hal-hal yang masih meragukan: kebebasan, dalam hal-hal yang pokok: kesatuan, dalam segala sesuatunya: cinta kasih).

Dengan pedoman ini diharapkan bahwa paguyuban umat beriman berbahagia dalam aneka kondisi hidup, berdiri tegak sebagai manusia-manusia berkarakter yang sanggup menanggapi panggilan injili untuk menjadi manusia bagi yang lain sebagaimana diundangkan Yesus kepada para muridNya saat mengisahkan “Orang Samaria yang Baik Hati” (Luk 10:25-37), dan terlibat penuh sebagai warga Indonesia 100% dan warga Gereja Katolik 100%.

Dalam liku-liku sejarah umat katolik Indonesia yang selalu berjuang untuk bermasyarakat, pedoman tersebut menjadi semacam bintang penunjuk arah, entah ketika terjadi kekacauan-kekacauan sosial pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia dan pada masa peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, ketika cara-cara pemilihan umum selama Orde Baru cenderung tidak jujur, bersih, dan adil, ketika terjadi kerusuhan-kerusuhan bernuansa SARA, ketika terjadi bencana-bencana alam, dan semacamnya.

Dalam konteks hidup seperti apa pun, iman orang-orang katolik justru mendapatkan ruang dan waktu untuk ditempa dalam tungku perapian dengan terus menjalankan aksi-aksi solidaritas, termasuk ketika merebak “solidaritas” jahat yang muncul dalam sindikat penyalur narkoba, dalam kasus mafia peradilan, dalam jaringan koruptor, dan semacamnya.

Berada dalam situasi-situasi itu orang-orang katolik hatinya tidak tentram ketika mereka hanya berpuas diri dengan segala pengetahuan dan upacara keagamaan semata sebab mereka adalah murid-murid dari Yesus yang berkeliling dan berbuat baik (bdk. Mat 9:35-36).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here