Bertahan Sampai 40 Tahun, karena Pembantu Diperlakukan Layaknya Saudara

0
315 views
Ilustrasi - Disiplin kerja membersihkan rumah dengan mengepel lantai. (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 19 Juli 2021.

Tema: Belajar berjalan bersama.

  • Bacaan Kel. 14: 5-18.
  • Mat. 12: 38-42.

KEMBALI kepada jalan kasih. Itulah pertobatan. Bukan pertama-tama mengubah perilaku, tetapi menyadari betapa ia dicinta.

Tobat berarti mengembangkan kebaikan dalam diri.

Kiranya kesadaran ini penting. Untuk memulai sebuah  proses baru. Artinya memandang dan bertindak dengan hati yang berbalas kasih.

Selalu ada potensi baik dan buruk dalam setiap manusia. Pertempuran batin itu tiada henti.

Kita selalu dihadapkan pada pilihan. Memilih berkat atau kutuk. Pilih rahmat atau kematian. Mau selalu mencecap kenikmatan dan mengejar ego pribadi atau terbuka dan berbagi.

Diskresi adalah mempertimbangkan sebelum bertindak. Ini merupakan latihan sederhana keseharian yang mendekatkan kita pada tujuan kita diciptakan.

Juga menumbuhkan kebaikan bersama.

Artinya menjumpai dan memperlakukan “kanan-kiri” sebagai orang lain. Sebagai sesama ciptaan yang dicintai.

Semua itu memudahkan keindahan dan  kebaikan hidup yang memang perlu dikembang-tumbuhkan.

“Apakah yang telah kita perbuat ini, bahwa kita membiarkan orang Israel pergi dari perbudakan kita?” ay 5b.

Ya, perbudakan, penindasan.

Ketulusan

“Kami lagi bersedih. Kami merasa kehilangan,” keluh seorang umat paroki.

“Kenapa?”

“Bibi kami Romo. Ia meninggal. Kami sedang menunggu berita dari keluarga. Apakah mau dimakamkan di kampungnya atau kami makamkan di sini,” terangnya.

“Oh, saya kira saudara atau orang yang dicintai.”

“Bibik ini sudah seperti saudara sendiri. Lebih dekat dari saudara kandung. Ia sudah sekilan tahun lamanya hidup bersama kami. Anak-anak deket dan sayang dia,” jelasnya.

“Berapa tahun dia sudah ikut kerja?”

“Sudah 40 tahun lebih, Romo,” jawabnya tegas.

“Hebat. Pantesan. Istimewa sekali. Jarang lo, pembantu rumahtangga bisa kerasan sampai begitu lama dan setia hidup bersama keluargamu.”

“Ibunya dulu juga bekerja dengan Mama. Kata Mama, si bibi punya anak perempuan di kampung. Tidak lanjut sekolah. Tamatan SMP. Juga ingin kerja. Alasannya biar adiknya yang bisa sekolah.

Waktu itu, saya akan menikah. Saya bilang, ‘Ikut saya aja. Enggak apa-apa. Bibi tua baik.”

“Anaknya baik, santun. Sebelum punya buah hati, saya dekat dan memperlakukan dia sebagai saudara, seperti Mama memperlakukan ibunya.

Ketika kami punya dua hati sampai empat anak, maka mbaknya dengan senang merawat anak-anak dengan sabar. Tak pernah mengeluh, walau lebih banyak kerjaannya.

Ia sangat lugu. Mau bekerja tanpa kenal lelah. Mulai dari bebersih kamar kami dan anak. Juga menggendong, menyuapin, memandikan, dan bermain dengan anak-anak.

Ia menunda makan. Yang penting kerjaan beres, baru mau makan.

Ke-4 anak kami, mbak yang merawat. Dalam perjalanan waktu dia tidak lagi saya suruh nyapu dan pel. Mbak e khusus ngurus anak-anak.

Saya sendiri menjadi ibu rumah tangga. Suami inginnya demikian. Suami saya baik,” katanya sambil menunjuk pada suaminya.

Suami diam, dikit tersenyum.

“Pengakuan nih Mo. Ngak gitu juga sih. Kadang terlambat pulang; juga jengkel,” sambutnya.

Suaminya pekerja keras. Semua hasil keringat, penghasilan diserahkan kepada istreinya.

Istreinya tidak pernah dilarang memakai uang demi keperluan keluarga. Juga kalau harus memberi bantuan di sana sini.

Dari gerak dan cara bicara, suaminya sungguh berbahagia. Ia mencintai keluarganya. Akrab dengan anak-anak.

Sering main PS bersama anak-anak.

Mbaknya inilah yang merawat dan mengurus anak-anak, membantu saya sampai semua anak-anak sudah menikah.

Saya kadang bertanya, “Apa kamu tidak mau menikah? Atau pulang kampung membuka usaha dengan gajimu yang disimpan di ibu?

Ibu kenal, pegawai  yang mungkin bisa menjadi suamimu. Ibu jamin dia laki-laki bertanggungjawab. Ia bisa bekerja di sini. Kalian bisa tinggal di sini.”

“Eh mbaknya tidak mau. Setiap kali Lebaran pun dia tidak mau pulang. Katanya, “Nanti ibu repot.”

Setiap Lebaran, kami selalu meluangkan waktu 2-3 hari pergi bersama mbak ke kampungnya. Sejenak  menikmati hidup sederhana di sana. Anak-anak senang, feel at home.

Semua tinggal kenangan, Mo. Kenangan indah,” jelasnya panjang.

“Pada waktu penghakiman orang-orang Niniwe dan Ratu dari Selatan akan bangkit bersama angkatan ini dan menghukumnya juga. Sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Yunus, lebih dari pada Salomo.”

Tuhan, mampukan kami meniru jalan-Mu.

Itulah kebahagiaan kami. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here