Bertapa di Brahma Vihara Arama: Dhamma Talk (4)

0
371 views
Ilustrasi - Dhamma Talks by Aloka Vihara Forest Monastery.

ORANG di situ menyebutnya “Dhamma Talk”.

Pada pukul 16.00 sore diadakan dhamma talk, seperti kuliah. Tentu saja dengan didahului membaca paritha, khususnya tentang nawangasila. Biasanya acara berlangsung sampai sore sekitar pukul 5 atau enam.

Setelah itu bisa menikmati minuman yang disediakan.

Untuk acara minum sore ini tidak ada bel, jadi kalau tidak ambil juga tidak apa-apa. Memang dari semua bel yang ada, bel makan pagi dan makan siang merupakan bunyi bel yang paling merdu dan ditunggu-tunggu.

Paling tidak bagi saya begitu.

Sehabis mandi juga acaranya tetap meditasi. Selang-seling antara meditasi jalan dan duduk. Sampai sekitar pukul 9 malam di mana dilakukan pembacaan paritha sebagai doa malam.

Istirahat tidur mulai pukul 21.30. Meditasi merupakan salah satu obat tidur terbaik, maka biasanya rata-rata mudah tertidur sampai bel pagi.

Konsultasi pribadi

Bila hari ini ada dhamma talk, hari berikutnya ada konsultasi pribadi dengan guru yang sudah diatur sesuai jadwal.

Pada kesempatan pertama, saya dijadwalkan siap standby pukul 10.10.

Maka saya santai saja sampai menjelang pukul 10. Namun ketika saya sampai di tempat konsultasi, sudah sepi. Bahkan konon katanya, saya sampai dicari-cari. Ternyata dipercepat. 

Saya tidak tahu apa yang dikonsultasikan para peserta sebelumnya, karena saya merupakan orang dengan urutan terakhir.

Pada petunjuk konsultasi dijelaskan agar bercerita apa adanya tentang proses latihan meditasi ini.

Maka dengan terus terang saya katakan, “I just felt some stiffness and tension all over my body, I could not concentrate, even my muscles look like crumbling”. Dan kemudian diperintahkan untuk terus latihan.

Dua hari kemudian ada konsultasi lagi. Kali ini, saya datang lebih awal, dan masih sempat mendengarkan apa yang dikonsultasikan orang-orang lain sebelumnya.

Ada yang bilang bahwa dia berhasil melihat sinar-sinar luar biasa indahnya. Dan macam-macam lainnya. Dan mendapatkan komentar yang positif dari guru.

Tapi rupanya sekali lagi saya terlalu jujur polos katakan apa yang saya alami:

“I found that the stiffness and tensions all over my body came from anxieties about everything and anything. But then I felt a kind of ‘faith’, a kind energy to overcome obstacles. I feel very grateful for this to the universe. Even I found myself prostrating several times to express my gratitude”.

Tapi, saya malah kena komentar, “You have to only follow the instructions! Otherwise you will not get the most benefits of this meditation retreat.”

Tidak biasa berpura-pura

Oke deh, lain kali saya akan kemukakan saja apa yang bisa membuat beliau senang.

Tapi masalahnya, saya tidak pandai berbohong, dan terbiasa omong apa adanya.

Saya tidak cakap berpura-pura. Saya tidak lihai mengarang cerita misalnya mendapatkan penampakan, mendapatkan sinar yang menyilaukan,  mendengar bunyi gaib dan sebagainya.

Saya sadar bahwa siapa pun, termasuk seorang spiritual master, tentu hanya akan tertarik mendengar apa yang ingin didengarnya.

Kalau saya seorang profesor dalam sesuatu bidang keilmuan, tentu saya hanya akan suka mendengar pengakuan bahwa teori sayalah yang paling benar dan terbukti benar.

Baiklah akan saya usahakan.

By the way, apa sih maksudnya “to get the most benefits of this meditation retreat”?

Wah saya tidak bisa menduga-duga.

Saya baru mau pertama kali mengikuti retret meditasi vipassana ini di tempat ini. Mungkin saya perhatikan saja mereka yang mengulangi mengikuti retret meditasi ini, misalnya Morgan yang sebangsal dengan saya.

Dalam tahun ini saja dia sudah dua kali, tentu dia melakukannya karena mendapatkan “most benefits”.

Beda cowok dan cewek

Apa itu? Saya tidak tahu. Yang jelas bisa saya lihat adalah dia sangat enjoy makan enak dan tidur nyenyak. Paling tidak itulah benefits yang tampak. Saya pun akan setuju dengan itu. Siapa tahu, di tempat lain dia bisa makan enak, tapi belum tentu bisa tidur nyenyak?

Misalnya kalau berantem dengan pacarnya?

Gangguan tidur nyenyak bisa macam-macam. Bisa soal pekerjaan, soal duit (jujur saya juga kadang terganggu karena soal ini), dan soal relationship.

Terus terang, bagi laki-laki, cewek itu aneh.

Girls just don’t understand what boys need. Boys just need good food, good sleep, and good sex. They don’t want the fights.

Tapi saya heran kenapa begitu banyak cewek suka sekali dengan fights? Kenapa mesti harus pakai berantem? Kenapa tidak makan enak saja, tidur nyenyak, dan seks yang nikmat?

Yeah, tapi siapa sih yang dapat mengerti cewek?

Kayaknya tidak pernah ada.

Cowok itu simple. Kalau seandainya penulis buku Eat, Pray, Love itu cowok, dan jujur, mungkin judul bukunya akan menjadi Eat, Sleep, Sex.

Karena secara jujur, itulah yang banyak didambakan cowok. Sebagian mungkin cukup munafik untuk tidak mengakuinya.

Padahal impiannya sebenarnya juga cuma “eat, sleep, sex”. Mungkin gambaran surga bagi laki-laki itu seperti kehidupan kelinci, “eat, sleep, sex”.

Bukankah gambaran hidup sebagai kelinci yang kegiatannya hanya “eat, sleep, sex” benar-benar nikmat? Nah, kelinci sudah mendapatkannya kan?

Kalau seandainya reinkarnasi itu ada, saya ingin lahir kembali saja sebagai kelinci, sehingga hidup cukup dirayakan dengan “eat, sleep, sex”.

Gak usah muluk-muluk.

Kebetulan satu hari sebelum konsultasi berikutnya, entah kena sambit apa, saya bisa meditasi relatif cukup mendalam, dan cukup lama. Ini bisa menjadi modal bagi saya konsultasi berikutnya, sehingga ketika jadwal konsultasi tiba, dengan bangga saya bisa melaporkan “Yesterday, to some extent I could  easily meditate for a couple of hours” (padahal paling banter tidak sampai dua jam).

Saya harap dengan laporan itu, konsultasi bisa cepat-cepat selesai. Lagi pula saat itu saya beruntung ada teman yang minta saya duluan agar dia bisa giliran terakhir sehingga bisa lebih lama berkonsultasi.

Tapi ternyata masih ditanya, “Did you feel any unpleaseant feelings? For how long?”

Maka cepat saya jawab, “Sure, I had pleasant and unpleasant feelings. Sometimes it lasted for a shorter period and sometimes for a longer period”.

Maka saya bisa keluar dari tempat konsultasi dengan cukup berbangga.

Namun ternyata pada hari berikutnya, kondisi saya berada pada titik terbawah. Sudahlah, masa bodoh. Saya bilang tidak mau meditasi, biarin saja.

Maka pada saat konsultasi berikutnya, saya melapor:

“Yesterday was my lowest point. I said to myself that I was not going to meditate. Then I just walked, and then I realized that my feet moved by themselves, just like a robot. I saw the phenomenon, while my mind was just watching what was happening.

And again during the sitting meditation, I said to myself that I was not going to meditate, and then I found my mind watching my body doing its function, with rising and falling abdomen”.

Pada konsultasi terakhir ini kebetulan saya juga benar-benar terakhir. Dan ketika saya masih di situ, pembimbing berkata kepada bhikuni yang menjadi asisten sekaligus penerjemah bagi yang tidak bisa berbahasa Inggris, “these students are terrible”.

Karena saya masih di situ, jadi mungkin ditujukan ke saya, maka saya setuju bahwa saya barangkali merupakan the most terrible one. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here