Bertapa di Brahma Vihara Arama, Singaraja: Mengasah Kesadaran (3)

0
333 views
Ilustrasi: Merawat alam sekitar (Ist)

ITULAH acara pokok sehari-hari.

Setiap pagi, bel bangun pagi dibunyikan pukul 03.45 WITA. Bagi saya tidak masalah, karena toh saya sendiri sejauh ini memang sudah terbiasa bangun sekitar jam itu.

Diharapkan para peserta retret sudah bisa memulai berlatih meditasi jalan pada pukul 04.00 pagi. Sejam kemudian dibunyikan bel untuk meditasi duduk di dalam Dhamma Hall sampai menjelang pukul 6 untuk melakukan “ritual” pagi berupa membaca paritha.

Selama retret meditasi ini, sebenarnya tidak ada ritual. Bahkan yang biasa membaca mantra, mengurut tasbih, dan menyulut dupa diminta untuk tidak melakukannya.

Menahan dan mengatur emosi

Khusus untuk yang Muslim, mereka dipersilakan tetap melaksanakan sholat. Maka praktis “ritual” yang dilakukan secara bersama lebih berwarna buddhis. Yakni dimulai dengan memberi hormat (namaskar) kepada rupang (patung) Sang Buddha dengan cara membungkuk sampai ke lantai sebanyak tiga kali yang dilakukan oleh semua peserta.

Kalau menyaksikan betapa takzimnya mereka menghormat patung Sang Buddha, saya tidak bisa membayangkan seperti apa perasaan mereka ketika vihara-vihara dibakar dan patung dirusak atau diturunkan.

Tapi saya juga tidak bisa membayangkan betapa luar biasa kesabaran dan kedewasaan batin mereka dalam menyikapi peristiwa itu.

Ilustrasi: Kesadaran Diri by ist

Kesadaran

Lantas itulah juga yang membuat saya ingin tahu apa sih yang dimasukkan ke kesadaran mereka setiap hari?

Jawabannya ternyata dalam paritha-paritha itu.

Berikut ini saya kutipkan apa yang didaraskan. Saya ambil terjemahan bahasa Inggris-nya saja, karena saya merasa kurang sreg dengan bahasa Indonesia-nya.

“May all beings be free from enmity and danger, be free from mental suffering, be free from physical suffering. May they take care themselves happily.

May I be well, happy and peaceful, as I wish to be well, happy, and peaceful.

May all beings be well, happy, and peaceful.

May I be free from animosity, as I wish to be free from animosity.

May all beings be free from animosity.

May I be free from mental and physical suffering, as I wish to be free from mental and physical suffering.

May all beings be free from mental and physical suffering.

May I live in peace and happiness, as I wish to live in peace and happiness.

May all beings live in peace and happiness.

If I have done wrong to anyone by deed, speech, or thought, may I be forgiven so that I may live in peace and happiness.

I also forgive anyone who may have done wrong to me by deed, speech, or thought in order that they may live in peace and happiness.

We share with all beings the merits of generosity, morality, and meditation which we have practiced.

May all beings share this merit and be happy and peaceful.”

Segala harapan baik, misalnya agar terbebas dari rasa permusuhan dan bahaya, terbebas dari penderitaan lahir dan batin, serta bisa hidup bahagia juga diharapkan dapat dinikmati oleh segala makhluk, yang diuraikan satu demi satu.

Mulai dari diri sendiri, orangtua, guru, kerabat, sahabat, sesama pelaku dhamma, para bhikkhu, samanera, upasaka-upasika (kaum awam), para penderma (makanan, pakaian, obat-obatan, penginapan, dst), para dewa penjaga, semua makhluk, semua yang bernafas, semua makhluk hidup, semua individu, semua perempuan, semua laki-laki, semua orang suci, semua yang belum suci, semua dewa, semua manusia, semua yang ada di alam yang menderita.

Di segala penjuru (timur, barat, utara, selatan, tenggara, barat laut, timur laut, barat daya, di atas, di bawah), segala makhluk dari berbagai tingkatan, segala yang memiliki badan dan pikiran, semua yang ada di semua tingkatan alam dan seluruh alam semesta.

Coba bandingkan dengan mereka yang setiap hari dijejali pikiran untuk membenci pihak lain yang tidak segolongan, bahkan membunuh mereka yang tidak seiman, menolak pemimpin yang tidak seiman, dan sebagainya.

Terasa begitu beda dengan kalau kesadaran kita setiap hari dicekoki kebencian seperti “bunuhlah orang yang tidak seagama dengan kamu”, “tolak pemimpin yang tidak seiman”, dan sebagainya.

Pada akhirnya apa yang diperbuat diawali dari pikiran dan kesadaran, karena apa yang dimasukkan ke dalam pikiran dan kesadaran lantas akan  terungkap dalam ucapan, dan akhirnya terealisasi di dalam perbuatan.

Makan pagi yang terarah

Jam enam pagi berlangsung acara makan. Di sini dipraktikkan tradisi Buddhisme, yakni hanya makan dua kali saja yakni, pukul 6 pagi dan pukul 10.45 pagi.

Setelah itu kosong, tidak ada makanan sampai esok paginya. Paling banter, sore hari ada minuman seperti wedang jahe.

Tapi tidak ada snack.

Bagi saya, soal waktu makan ini juga tidak masalah, toh selama ini saya hanya makan dua kali juga, yakni makan pagi sekaligus siang pada jam 11 atau 12, dan makan sore sekaligus malam sekitar jam 5 atau 6, dan setelah itu kosong, tidak makan apa pun lagi sampai hari berikutnya.

Tentu kalau saya sih alasannya adalah tidak tersedia makanan pagi, sekalian pergi siang saja. Paling minum air putih saja. Jadi jumlah jam rentang waktu perut kosong relatif hampir sama.

Hanya sekedar menggeser ke pagi saja.

Secara praktis saya sudah berpuasa nyaris sepanjang tahun.

Tapi yang jelas, makanan yang disediakan sangat lezat dan banyak. Prasmanan. Bisa nambah berkali-kali sejauh masih ada.

Tempat duduk diatur dengan cara siapa yang duluan harus duduk paling jauh, meskipun praktiknya tidak  selalu dipatuhi.

Ilustrasi: Harus banyak makan sayuran dan buah-buahan untuk kesehatan. (Ist)

Saya sendiri suka tempat paling jauh meskipun tidak selalu yang pertama, karena saya toh jarang nambah. Pengalaman di asrama membiasakan untuk ambil sekali jadi, sesuai jatah saja.

Hanya satu kali saya terpaksa nambah, yakni setelah malam sebelumnya saya sempat kurang enak perut. Kebetulan pagi itu lauknya tempe, saya sangat suka.  Memang konon tempe bisa memberikan ketenangan bagi perut yang rewel.

Saya coba cari-cari apa sebabnya kenapa saya sakit perut. Ternyata siang sebelumnya disediakan susu cokelat kotak di meja, dan saya minum. Tentu masalahnya perut menjadi berontak bukan karena susunya dan coklatnya, tapi karena itu susu sapi, dan kotak.

Memang setiap hari disediakan susu dalam kotak. Juga roti. Saya perhatikan banyak orang, termasuk orang kita yang selain mengambil makan nasi dan lauk, juga mengambil roti yang bisa dipanggang dan diolesi selei, mentega, atau keju.

Tentu saja saya tidak ambil roti, karena saya memang kurang suka. Coba kalau singkong, pasti saya akan ambil.

Bule-bule selain bolak-balik ambil makan tambahan, juga suka bikin roti. Barangkali memang ukuran CC kapasitas mesin bule beda dengan kita sehingga perut mereka membutuhkan isi yang banyak.

Tapi kalau seperti Andrew memang pantas dan layak makan banyak. Meditasinya juga tekun. Lha kalau saya? Meditasi juga kagak, masak mau makan banyak? Ha…Bagi saya yang penting cukup kenyang.

Tapi karena ini meditasi, bukan kenyang di dalam bahasa Bali lho, meskipun kalau lihat paha mulus bisa juga jadi kenyang. Ha….

Morgan juga termasuk yang bolak-balik ambil tambahan dan mengembat apa saja yang masih ada.

Ilustrasi – Tertidur sejenak di Harbour Bridge Sydney. (Ping Royani)

Ngantuk dan tidur

Meskipun boleh juga beristirahat, resminya sehabis makan acaranya juga meditasi, selang-seling antara meditasi jalan dan duduk.

Saya sendiri sih dari dulu punya penyakit. Sehabis makan mengantuk. Pada awalnya, saya lihat beberapa bule habis makan terus tidur. Pengin juga, tapi tidak enak.

Lantas bagaimana caranya?

Saya masuk saja ke ruang meditasi bersama. Ambil posisi baby pose, dengan jidat diganjal bantalan yang cukup tinggi, dan kemudian terlelap.

Dari jauh orang pasti mengira bahwa saya sedang bersujud, padahal tidur nyenyak. Maka penyelenggara kelak mestinya awas terhadap orang yang tampaknya seperti bersujud, siapa tahu sebenarnya sedang tidur.

Cara sedemikian beberapa kali saya lakukan sampai kemudian ada instruksi bahwa kalau ngantuk, boleh saja tidur, tapi di kamar. Gara-gara ada insiden cewek yang seksi itu tidur di bale bengong dengan menampilkan paha mulusnya.

Sejak itu, habis makan saya tidur di kamar. Tidak beda dengan teman-teman yang lain. Anggap saja saya mengikuti nasihat Ramana Maharshi, seorang tokoh yoga dan meditasi, yang mengatakan bahwa meditasi terbaik adalah tidur. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here