APA sih tujuan meditasi?
Konon dikatakan bahwa dengan meditasi vipassana, orang bisa mencapai nibbana.
Kalau saya tidak pengin masuk nibbana, lalu gimana dong?
Di sini saya berbeda pendapat. Kenapa? Karena saya tidak ingin masuk nibbana. Saya tidak ingin moksha. Saya tidak ingin syurga.
Kalau seandainya reinkarnasi itu ada, saya ingin lahir kembali sebagai kelinci saja kok.
Bagaimana kalau setelah menjadi kelinci, lantas ditangkap orang, dijadikan sate? Ya, lahir kembali sebagai kelinci lagi. Terus-menerus jadi kelinci. Apa susahnya?
Batu sendi agama
Memang, pada kenyataannya, tampaknya setiap agama memiliki batu sendi dan di atas batu sendi itu lantas didirikan pilar bangunan agama tersebut.
Barangkali secara tertentu, agama itu seperti matematika. Atau sebagai contoh saya ambil saja salah satu bagian dari matematika, yakni geometri.
Batu sendi dari matematika adalah aksioma, yakni kebenaran yang dianggap tidak perlu dibuktikan kebenarannya, karena dianggap sebagai batu sendi.
Apakah sepenuhnya benar atau tidak, itu lain cerita.
Untuk geometri, aksiomanya adalah bahwa dari dua titik hanya dapat dibuat satu garis lurus, dan dari satu titik dan garis lurus hanya bisa dibuat satu bidang datar.
Apakah aksioma itu benar? Pokoknya terima saja bahwa aksioma itu benar.
Itu sama dengan pada agama. Ada sesuatu yang “pokoknya” harus diterima sebagai kebenaran.
Di atas aksioma itulah lantas dibangun dalil-dalil maupun rumus-rumus geometri.
Ambil saja contoh dalam agama Kristen. Salah satu batu sendirnya mungkin adalah bahwa manusia terlahir dengan dosa asal.
Lho kok aneh? Gue belum ngapa-ngapain kok udah berdosa? Lho kok bisa? Ya, karena menanggung dosa Adam dan Hawa.
Aneh dan gak fair kan? Ini kan seperti bayi yang lahir di Indonesia saja saat ini, di mana begitu lahir seorang bayi sudah menanggung hutang, gara-gara pemerintah sebelumnya hobi menimbun hutang dan proyek mangkrak.
Menanggung dosa atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Tapi itu salah satu batu sendi dalam agama Kristen.
Karena dosa asal itulah, manusia harus diselamatkan. Tapi manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Dia hanya bisa selamat karena rahmat tuhan.
Atau dalam istilah yang lebih keren “sola gratia”. Kemudian, terutama dari golongan Protestan, muncul pemahaman lain, yang keren disebut “sola fides” hanya karena iman saja maka orang yang mendapatkan rahmat keselamatan itu dapat menerima keselamatan tersebut.
Mungkin logikanya seperti begini.
Ini ada pembagian sembako gratis. Siapa saja bisa dapat. Tapi jelas hanya mereka yang mau menerimanya sajalah yang akan menerimanya. Iman merupakan ungkapan dari yang bersangkutan untuk mau menerima rahmat keselamatan itu.
Nah jelas kan bagaimana batu sendi itu ada dan bagaimana kemudian di atasnya didirikan pilar-pilar dari bangunan agama tersebut.
Tentu mereka yang tidak menganut agama Buddha akan sangat sulit memahaminya konsep bahwa hidup itu adalah penderitaan. Seperti saya sendiri.
Sebagai contoh, di depan saya ada seorang gadis cantik dan seksi. Atau ada sepiring babi guling yang lezat. Apabila kemudian datang orang yang bilang ke saya, “hidup adalah penderitaan”, maka tentu saya akan bingung.
Bagaimana mungkin saya disediakan gadis cantik dan babi guling kok menderita? Tentu bagi saya baru akan menjadi penderitaan apabila disediakan gadis cantik atau babi guling, tapi saya tidak dapat menikmatinya.
Itu baru penderitaan.
Perubahan
Kemudian dijelaskan pula, perubahan menyebabkan penderitaan?
Bagi saya, perubahan itu justru menyenangkan. Variatio delectat. Justru karena ada perubahan, maka saya dapat menikmati matahari terbit, matahari tengah hari, dan matahari terbenam.
Dan itu sangat indah. Juga mereka yang ada di empat musim dapat menikmati musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin.
Itu semua karena ada perubahan. Justru karena ada perubahan, maka kita bisa menyaksikan bayi lahir yang mungil, teduh tenang, damai, dan lucu.
Menyaksikan gadis remaja yang cantik atau pemuda tampan perkasa. Dan menyaksikan orang tua yang berwibawa.
Bahkan Richard Gere yang rambutnya memutih pun konon masih menarik bagi banyak cewek muda karena ganteng dan berwibawa.
Nah, singkatnya, kita memang tidak bisa memahami suatu agama, bila kita tidak memutuskan untuk menjadi pengikutnya. Maka intinya, dalam agama apa pun pasti ada hal-hal yang bagi orang lain sulit dipahami, tapi memang ya begitu kekhasan agama yang bersangkutan.
Barangkali kalau pakai istilah orang Bali, “nak mulo keto” ya memang begitulah.
Dengan demikian, benar tidaknya batu sendi itu tergantung pada pilihan kita sendiri. Tentu bagi saya yang tidak terlahir dalam lingkungan tertentu, akan sulit saya memahami .
Saya tidak bisa memahami dan menerima bahwa begitu lahir orang harus menderita memikul dosa asal atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Tapi saya juga tidak bisa menerima kalau dikataan bahwa hidup adalah penderitaan.
Bagi saya hidup ya memang begitu saja. Ada kalanya menderita, adakalanya membahagiakan. Ada pagi, ada siang, ada sore, ada malam.
Terima saja. Nikmati setiap saat.
Bahkan ketika sate kambing itu enak, kalau terus menerus setiap hari makan sate kambing, akan bosan juga.
Bagaimana dengan moksha? Itu nyaris mirip atau sama dengan nibbana.
Tapi yang mengikuti paham moksha tampaknya harus menempuhnya dengan beban kultural yang cukup berat, dan di negara asal teori moksha itu, India, setelah lima ribu tahun agama itu ada ternyata sekitar 60% warga negara itu tidak punya toilet, dan 480 juta warganya hidup di bawah kemiskinan.
Bandingkan dengan China yang berhasil mengubah diri menjadi negara adidaya dengan kekuatan ekonomi raksasa hanya dalam waktu beberapa dekade saja.
Kemanusiaan
Nah terus bagaimana dong?
Saya lebih tertarik dengan kemanusiaan saja.
Terus terang, bagi saya hal-hal seperti compassion, loving kindness, dan sejenisnya jauh lebih mempesona dan bermanfaat bagi kehidupan daripada segala cerita eskatologis entah tentang surga, syurga, nibbana, atau moksha.
Saya bukan peramal, tapi menurut pandangan saya yang picik ini, agama-agama yang sibuk jualan soal eskatologis sesudah mati akan tidak laku dan punah pada waktunya.
Mungkin tidak lama lagi. Kelak orang orang akan lebih tertarik pada compassion dan kindness ketimbang tentang janji-janji eskatologis.
Lantas apakah retret sedemikian ini berguna?
Sehabis retret, kita akan kembali kepada kehidupan sehari-hari. Motor akan digeber lagi menguber jarak dan waktu.
Pikiran dan kesadaran akan dijejali lagi dengan berbagai beban sehari-hari. Yang biasa mengumpat, mungkin akan kembali mengumpat lagi.
Tapi setidaknya dalam sebuah periode pendek kita memberi kesempatan bagi batin kita untuk istirahat, menata diri.
Yang biasa mengumpat setidaknya selama sepuluh hari berhenti mengumpat, karena memang tidak boleh omong. Yang biasa beyayakan juga berkesempatan agak slow down.
Lantas bagaimana? Masih tertarik dengan menjadi kelinci?
Oh tentu saja. That would be a wonderful life! After all, seperti kata Queen dalam Bohemian Rhapsody, “Nothing really matters to me… and the wind blows….” (Selesai)