Berziarah tanpa Hati Berdarah

0
439 views
Ilutrasi by AA Agus.

MENUNGGU pagi ternyata menggelisahkan. Lantunan doa sulit juga membuat kesabaran menunggu fajar menyapa Reva. Begitu jam menunjukkan pukul 04.00 Reva menelepon Reno.

“Ada apa Mbak?,” Tanya Reno dengan suara yang terdengar masih digayuti kantuk.

“Birawa meninggal.”

Singkat Reva memberitahukan kematian Birawa.

“Mati juga bajingan itu?,” Nada kaget dan marah ada dalam suara Reno.

“Iya. Aku minta pertimbanganmu. Jenazahnya diambil, kaumakamkan atau kumakamkan?,” jelas Reva.

“Apa tidak dimakamkan di Nusa Kambangan saja, biar ia menjadi penghuni pulau hantu itu?,” tanya Reno yang menyiratkan kebenciannya kepada Birawa.

“Bagaimana kalau saya meminta Romo di Cilacap untuk mengurus pemakamannya?,” Reva minta pertimbangan.

“Mengapa harus merepotkan orang lain. Biar saja diurus pihak penjara.”

Reno menolak.

“Dia sudah bertobat. Janganlah bebani perjalanannya menghadap Tuhan dengan kebencianmu,” kelas Reva.

“Terserah Mbak saja, tetapi saya tidak sanggup mengurusi pemakaman kalau di sini,” ata Reno dengan berat hati.

“Baiklah. Kabari kedua adikmu dan hubungi Mbak setelah  itu. Mbak mau ibadat dan misa pagi dulu. Selanjutnya akan memberi tahu Hera secara langsung. Wis ya. Donga dinonga.”

Reva menutup pembicaraan dengan adiknya.

***

Begitu turun dari mobil, Hera  menyongsong Mbaknya dengan mata memerah dan air mata membanjiri kedua pipinya.

“Mbak, Mas Birawa meninggal” kata Hera di antara isak tangisnya.

“Darimana Kau tahu?,” tanya Reva.

“Dalam mimpiku semalam, ia pamitan dengan senyum dan lambaian tangan menuju sinar terang. Dia mengatakan agar aku manut Mbak. Aku yakin dia meninggal,” jelas Hera.

“Memang benar, semalam ada telepon dari seorang Romo di Cilacap yang memberitahukan hal itu, maka Mbak pagi ini ke mari untuk memberi tahu kamu,” jelas Reva sambil memeluk adiknya yang berduka dan mengajaknya ke ruang tengah rumah yang dijadikan kantor “Bait Damai Wanodya”.

“Mbak mau bertanya; suamimu sebaiknya dikuburkan di mana?,” tanya Reva setelah mereka duduk.

“Lha menurut Mbak bagaimana?,” tanya Hera.

“Ya, ada beberapa alternatif, di sini, di tempat masmu, di Nusa  Kambangan, atau di Cilacap minta bantuan Romo?,” papar Reva.

“Baiknya di mana Mbak?,” tanya Hera yang tampak sedih juga bingung.

“Bagaimana bila minta tolong Romo mengurus pemakamannya, sehingga suatu saat kita bisa menziarahinya?,” jelas Reva pelan.

“Itu kelihatannya yang paling baik ya Mbak?” Hera memutuskan; tetapi  tetap Reva yang  menetapkan.

***

Birawa akhirnya dikuburkan di Cilacap. Reva sudah mentransfer biaya yang lebih dari cukup untuk pemakamannya kepada Romo, walaupun Romo mengatakan bahwa ada sumbangan dari Nusa Kambangan dan paguyuban umat yang sudah terbiasa memakamkan narapidana dari sana.

Sorenya Reva mendapatkan kiriman video selama perjalanan dari Nusa Kambangan menuju Cilacap sampai ke pemakaman. Tak ada sambutan keluarga, karena memang tidak ada keluarga yang bisa hadir pada upacara itu.

Ada rasa miris dan giris juga, tetapi Birawa mendapatkan pelayanan dan penghormatan yang layak dari sejumlah umat. “Selamat jalan adikku,” doa Reva dalam batin.

Untuk doa arwah Reva hanya bisa menitipkan dalam misa di biara.

***

Menjelang 100 hari meninggalnya Birawa, Hera bertanya apakah ada yang mau mengantarnya menziarahi makam suaminya. Ketika hal itu disampaikan kepada ketiga adik lelakinya.

Mereka bertiga menolak.

Dengan galak mereka mengatakan bahwa bajingan itu tidak layak untuk diziarahi. Daripada timbul salah paham. Reva menemui ketiga adiknya sambil menikmati timlo solo yang sudah lama tidak dinikmatinya.

Sambal kecap kental yang membuat kuah bening timlo menghitam dengan telur, sosis, hati-ampela disantap Reva sambil menatap ketiga adiknya membaca surat terakhir dari Birawa.

Heru, adik Reva yang paling sentimental, sudah menampakkan air mata membayang dan hampir jatuh. Heri menarik napas panjang, hanya Reno yang kelihatan berusaha menunjukkan ketegaran hatinya.

Empati dengan menempatkan diri pada posisi Birawa, apalagi sesama lelaki membuat mereka pun meluruhkan dendamnya.

Mereka sepakat akan mengantar Hera dan Reva ke Cilacap.

“Bagaimana bila kita sekalian liburan?,” tanya Reva.

“Beri tahu isteri dan anak kalian, terutama sang putri Deniya,” kata Reva sambil menatap adik lelaki termudanya.

Mereka yakin yang lainnya selalu manut atas keputusan Reva, karena semua biaya pasti ditanggung Reva.

Hanya Deniya yang biasanya ngeyel. Termasuk kemungkinan mengajak Bulik dan Oom. Tetapi mereka berempat berharap dan sepakat buliknya yang rempong itu tidak ikut.

***

Perjalanan dengan Hiace yang dulu disewa saat menziarahi ibunya yang ditutup dengan makan bebek sinjay di Bangkalan membuat mereka santai dan gembira. Sopirnya juga sama, itu yang diminta Reva saat meminta Heru mengurus transportasi.

Hera sudah melekat di pundak Melania. Dia tidak akan bersaing dengan keempat keponakannya yang berebut duduk dekat Reva. Yang pasti Felia sudah melekat dan bergelayut di lengan Reva.

Mereka makan siang di Ayam Bakar Nyonya Suharti di daerah Janti Jogja. Ayam kampung yang berdiet ketat itu menghiasi piring sehingga tampak mungil.

Tetapi ayam goreng yang gurih kemripik  dengan cepat berpindah ke perut masing-masing. Komentar pasti keluar dari mulut Deniya, tetapi seperti biasanya diabaikan oleh semua yang ada.

Rombongan meluncur menuju tempat ziarah pertama, yaitu Gua Maria Sendang Beji dengan alamat Ranjingan Klapagading Kulon, Wangon Banyumas.

Senja itu mereka khusuk berdoa masing-masing. Anak-anak bersama Reva berdoa jalan salib, sedangkan para orang tua tidak mau ikut. Lelah katanya. Yang nyleneh pasti Deniya, ia asyik berfoto dan membuat video.

Malamnya mereka menginap di Hotel Amoris di daerah Sokaraja sambil mencari gethuk goreng yang khas dari Sokaraja. Anak-anak bersama Reva memilih suite room untuk berlima agar bisa berkelakar dan bersampai.

Para orangtua biar memilih kamar sendiri. Terpaksa Reno sekamar bertia dengan Hera, karena Hera begitu lekat dengan isetrinya. Melihat wajah teduh Melania yang bisa ngemong Hera membuat Reva lega.

Pukul tujuh setelah selesai sarapan dengan menikmati soto Sokaraja, rombongan menuju Gua Maria Kaliori. Anak-anak begitu senang karena empat tahun lalu mereka pernah ke sana.

Para anak menjadi pemandu bagi orang tuanya masing-masing. Tentu Felia tidak mendapatkan tugas. Dia adalah pengawal setia Reva. Tenang, teduh, dan damai membuat mereka kerasan di sana.

Setelah hampir satu setengah jam berdoa dan bersantai di Gua Maria serta  mengitari rumah retret yang ada di sana, tampak Hera mulai gelisah.

“Perjalanan dari sini sampai Cilacap hanya satu jam-an, kami tidak melupakan tujuan kita berziarah Hera. Sebentar ya,” Reva ngarih-arih.

Dalam pelukan Melania Hera pun tenang. 

Perjalanan ke Cilacap, melewati kampung pengemis di jalan Kebun Krumput Banyumas yang berkelok dan naik-turun. Uang receh sudah disiapkan Reva dalam kantong kecil.

Laju Hiace melambat sehingga anak-anak bisa melemparkan uang kepada para pengemis yang berjajar di pinggir jalan. Bukan karena percaya kepada mitos bahwa memberi uang kepada mereka untuk keselamatan, melainkan ada kesempatan untuk berbagi.

Uang receh pun habis ketika turunan terakhir dan mobil menuju Cilacap.

***

Reva sudah menghubungi Romo bahwa rombongan keluarga akan menziarahi makam Birawa. Reva meminta Romo mengantarkan mereka.

ditunggu di Gereja Katolik Santo Stephanus Jalan Jendral Ahmad Yani no 23 Bonduren, Tambakrejo, Cilacap Selatan. Begitu keluar dari mobil, Hera berlari memeluk Romo Nico sambil menangis. Tangis Hera semakin tumpah saat terduduk di depan pusara Birawa dan tidak terlalu lama ia terkulai pingsan.

Ada rahasia apa antara Hera-Birawa-Romo Nico?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here