Biologi Politik

0
910 views
Ilustrasi: Health Care debate (Ist)

TAHUN 2019 adalah tahun politik, karena akan diselenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia, yang diawali dengan Pilkada serentak 2018. Sebagai warga negara yang baik, para dokter di Indonesia tidak boleh tinggal diam dalam peta perpolitikan daerah ataupun nasional.

Bagaimana peran dokter dalam menganalisis sikap politik sesama warga bangsa?

Kebhinnekaan Indonesia

Semua warga bangsa Indonesia dihadapkan dengan pertaruhan politik besar, bukan hanya sekedar menuju demokrasi paripurna, tetapi hal yang tersulit adalah menjaga agar kebhinnekaan Indonesia tetap terjaga dengan baik. Pemilihan umum, baik pilkada maupun pilpres saat ini, dihadapkan pada tantangan menguatnya politik sektarian berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA).

Menguatnya politik sektarian menegaskan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa, masih menghadapi permasalahan kebhinnekaan yang terus mengintai dan mengancam. Ancaman tersebut tidak akan pernah berhenti, sampai kesadaran berbangsa dan bernegara dapat secara efektif termanifestasi dalam benak publik secara keseluruhan.

Selama ini, politik sektarian juga menjadi penghalang bagi integrasi politik sesama warga bangsa dalam bingkai kebhinnekaan. Mengapa masyarakat Indonesia dapat terjerat dalam pertarungan politik sektarian?

Apa yang terjadi sampai bangsa ini memasuki ruang politik yang sangat gaduh dan boros energi? Keduanya adalah pertanyaan besar yang harus dianalisis dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, belum banyak orang yang menyadari bahwa padangan politik sesunguhnya sesuatu yang eksak, artinya dapat diterjemahkan dari sesuatu yang terukur, misalnya dalam beberapa penelitian kedokteran membuktikan adanya keterkaitan antara struktur otak dan gen dengan orientasi politik.

Tulisan ilmiah

Jurnal ilmiah Current Biology Volume 21, 26 April 2011, memuat tulisan Tom Feilden, Colin Firth dan Geraint Rees dengan judul “Political Orientations Are Correlated with Brain Structure in Young Adults”.

Jurnal yang dirilis secara daring tanggal 7 April  2011 ini belum banyak diminati oleh para dokter di Indonesia. Para ilmuwan dari London College University tersebut menemukan perbedaan struktural dalam otak manusia di Inggris, berdasarkan pandangan politiknya, yaitu liberal atau konservatif.

Penelitian ini menggunakan alat Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk memindai otak responden dan dikorelasikan terhadap orientasi politiknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang dengan orientasi politik konservatif dan seorang liberal memiliki struktur otak yang berbeda.

Meskipun demikian, sebenarnya struktur otak manusia dapat berubah dari waktu ke waktu berdasarkan pengalaman seseorang, yaitu sebuah adaptasi yang dinamakan neuroplastisitas.

Shaw, Christopher, dan McEchern (2001) mendefinisikan neuroplastisitas sebagai konsep neurosains yang merujuk kepada kemampuan otak dan sistem saraf semua spesies, termasuk manusia, untuk berubah secara struktural dan fungsional, sebagai akibat dari input lingkungan.

Gagasan ini pertama kali diusulkan pada tahun 1890 oleh William James, tetapi diabaikan selama sekitar lima puluhan tahun. Orang pertama yang menggunakan istilah ‘plastisitas neuron’ adalah ilmuwan neurosains Polandia, yaitu Jerzy Konorski, sebelum disempurnakan oleh Shaw pada tahun 2001.

Meskipun demikian, belum jelas benar apakah perubahan dalam sikap politik seseorang dapat sebaliknya, yaitu justru mempengaharuhi perubahan struktur otak.Penelitian kedokteran seperti ini terus berkembang dan kelak mungkin akan dapat digunakan dalam pemetaan pemilih atau voters, dalam persiapan pilkada atau pilpres di mana pun.

Evan Charney dan William English pada The American Political Science Review, Volume 107, Edisi 2 Mei 2013, menulis “Genopolitics and the Science of Genetics”.

Pada tulisan tersebut, dua gen manusia yang dapat memprediksi suara pemilih yang disebut genopolitik, tidak terbukti memiliki hubungan langsung dengan hasil pemungutan suara dalam pemilihan umum. Hasil ini karena dipengaruhi oleh stratifikasi populasi dan variabel bias yang diabaikan. Dengan demikian dari sudut pandang genetika, neuroscience, dan biologi evolusioner, genopolitik masih perlu dikaji lebih lanjut oleh para dokter, terkait beberapa prinsip dasar dalam genetika molekuler maupun klinis.

Namun demikian, pada jurnal Current Biology edisi 17 Nov 2014, Woo-Young Ahn dan rekan menulis laporan lain dengan judul “Nonpolitical Images Evoke Neural Predictors of Political Ideology.”

Mekanisme biologi dasar

Ternyata ciri dasar ideologi politik seseorang telah ditemukan terkait secara mendalam dengan mekanisme biologi dasar, yang dapat berfungsi untuk mempertahankan diri terhadap tantangan lingkungan, seperti kontaminasi dan ancaman fisik. Hasil ini mempertanyakan klaim provokatif sebelumnya, bahwa respons saraf terhadap rangsangan umum (nonpolitical stimuli), seperti makanan haram atau ancaman fisik dapat digunakan untuk memprediksi pilihan politik (political opinions), seperti sikap terhadap pasangan calon atau partai pengusung dalam pilkada dan pilpres.

Selain itu, paham radikalisme dari sisi kedokteran jiwa atau psikiatri, penting juga dibahas untuk penatalaksanaan paripurna. Sampai sekarang masih diteliti apakah radikalisme terjadi hanya pada orang dengan gangguan kejiwaan atau hasil proses cuci otak.

Ilustrasi: Beda pandangan politik. (Ist)

Scott Antran seorang Antropolog Kognitif dari French National Center for Scientific Researc’, mengungkapkan bahwa*orang muda memerlukan nilai dan impian.

Kesimpulan bahwa ‘the youth need values and dreams’ dimuat dalam The Guardian, koran di Inggris yang terbit Minggu, 15 November 2015. Oleh sebab itu, para pihak yang dapat menawarkan nilai dan impian menggiurkan kepada para pemilih pemula, tentu akan dapat mendulang banyak suara.  Hal itu bukan hanya terjadi karena pemilih mengalami gangguan kejiwaan semata, tetapi lebih dipengaruhi oleh sejenis proses indoktrinasi bertubi.

Dengan demikian, para dokter Indonesia sebaiknya ikut terpanggil untuk melakukan penelitian kedokteran dan pendekatan medis dalam perpolitikan nasional. Penelitian tentang biologi politik memang tidak mudah dilakukan, tetapi paling tidak para dokter seharusnya mengedukasi para pasiennya sebagai warga bangsa, agar dapat menangkal pola pikir radikalisasi.

Selain itu, juga dengan mengajarkan nilai-nilai rasional seperti agar tetap merasa nyaman dengan ketidaksempurnaan, menoleransi perbedaan, dan tidak mengidealkan sebuah utopia. Asuhan medis seperti ini singkat kata dinamakan *moderasi.

Oleh sebab itu, dokter dan segenap warga bangsa NKRI seharusnya memecahkan masalah politik dengan instrumen berfikir dan asuhan medis paripurna, yaitu sesuai dengan ideologi dan karakteristik bangsa, berdasarkan Pancasila.

Sudahkah para dokter Indonesia terlibat membantu?

Sekian

Yogyakarta, 10 Januari 2018

PS: Topik ‘Biologi Politik’ ini akan dibahas lebih mendalam pada seminar nasional, pada hari Minggu, 14 Januari 2018, Pkl. 12–16, di Museum Kebangkitan Nasional (Gedung Stovia) Jl. Abdul Rahman Saleh No 26, Senen, Jakarta Pusat.

Para pembicara adalah:

  • Dr. Ryu Hasan, SpBS: Pakar Neuroscience (Pandangan Politik dalam Struktur Otak dan Gen Orang Indonesia).
  • DR. Dr. Daldiyono, SpPD-KGE:  Pakar Etika, Logika dan Filsafat Kedokteran, pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran UI; Alam Berfikir Orang Indonesia, Refleksi Fisiologis Masa Depan Indonesia).
  • Dharmawan Purnama, M.D., Psych., PhD Cand: Pakar Biological Psychiatry dari Dr. Soeharto Heerdjan Center for Neuropsychiatry Hospital, Jakarta; Kecenderungan Radikalisasi Pada Psikologi Masyarakat Indonesia).
  • Budiman Sudjatmiko: F-PDI-P DPR RI dan Ketua Dewan Pembina PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia); Revolusi Informasi, Demokrasi dan Populisme.
  • Moderator: Dr. Mariya Mubarika dan Dr. Putu Moda Arsana, SpPD-KEMD, FINASIM.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here