“BioTawa Monsinyur Kema”, Mengenal Sosok Uskup Lewat Candanya

0
1,739 views

BUKU BioTawa Monsinyur Kema ini berisikan kumpulan kisah-kisah jenaka, humor, celetukan Bapak Uskup Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ di berbagai kesempatan.

Buku terbagi dalam lima bab.

  • Pertama, Tertawa di Japanan Tanah Masa Kecil.
  • Kedua, Tertawa Bareng Yesus.
  • Ketiga, Tertawa Sambil Makan.
  • Keempat, Tertawa dengan Dirinya;
  • Kelima. Tertawa Bersama Kematian dan Sebangsa Roh.
  • Serta keenam, Tertawa Bersama Burung.

Membaca buku ini seperti membaca dan memahami siapa Uskup Purwokerto Mgr. Julianus Sunarka SJ atau dalam buku ditulis sebagai Monsinyur Kema.

Kema adalah nama kecil Uskup kelahiran Japanan, Minggir, Sleman ini. Salah satu kisah yang terkait dengan kelahirannya adalah fakta bahwa  ternyata Mgr. Sunarka pun tidak tahu kapan lahir. Atas saran guru sekolahnya waktu SD, Mgr. Kema diberi tanggal lahir 25 Desember. Tanggal ini sama persis dengan tanggal kelahiran sahabatnya waktu kecil yang juga menjadi imam, Romo  Paiman MSC.

Di kalangan orang-orang yang pernah bertemu dengannya, Monsinyur Kema dikenal penuh canda, hangat dan bersahaja. Salah seorang ibu, dalam buku ini, diceritakan bertemu dengan Monsinyur Kema. Sesudah berbincang lama, Monsinyur Kema berpesan agar Sang Ibu turut menjaga imam-imamnya. “Tolong bantu dan jaga romo-romo saya. Celananya jangan dipelorotkan,” celetuk Monsinyur Kema.

Sang Ibu yang dekat dengan Monsinyur Kema menimpali pesan candaan tersebut. Katanya, “Saya malah akan memelorotkan celana Bapak Uskup…”

Monsinyur Kema dikenal “saru” atau “jorok”. Dan hal itu diakui juga oleh beliau. “Saya memang dikenal saru sejak di seminari,” katanya.

Tentu saja kisah-kisah dalam buku ini tidak lantas mengaburkan karakter pemikir mendalam dalam diri Uskup Purwokerto tersebut. Monsinyur Kema pernah menjadi ekonom di beberapa institusi gereja, pernah memegang kendali Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial (LPPS-KWI), pernah menjadi Rektor Seminari, dan bakat besarnya menemukan sumber air bawah tanah benar-benar dimanfaatkan secara optimal sebagai sarana berelasi dengan kalangan pejabat pemerintah dan pondok pesantren.

Monsinyur Kema juga menjadi penggagas dan pengawal ide anggur misa produk dalam negeri-meskipun itu berarti akan “merugikan” rekan-rekan sesama Yesuit di Australia.

Buku ini seakan-akan menuturkan pribadi orang besar lewat kisah-kisah bersahaja lewat ungkapan dan bahasa yang juga sederhana.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here