Br. Alexandro MTB: Tetap Perkasa di Usia Tua, Pendidikan Bukan untuk Ijazah (1)

0
479 views
Br. Alexandro MTB di Pontianak, sesaat setelah keluar dari RS St. Antonius beberapa waktu lalu. (Ist)

Catatan Redaksi

Artikel ini pernah muncul di Majalah Duta terbitan Komisi Komsos Keuskupan Agung Pontianak beberapa bulan lalu di tahun 2018.

Atas izin penulisnya, Sesawi.Net merilis artikel berkonten sama namun dilakukan penyuntingan sesuai kebutuhan redaksi dengan maksud agar tulisan ini bisa menjangkau audiens pembaca yang lebih luas.

 ——————

TIDAK pernah bermimpi sekalipun dalam perjalanan hidupnya nanti akan tinggal di negara tropis bernama Indonesia yang menurutnya penuh dengan kekayaan alam nan mempesona.

Itulah komentar awal perbincangan penulis dengan Br. Alexandro MTB (80) saat mendatangi ruang kamar di pojok utara Biara Pattimura Pontianak tanggal 20 Maret 2018 lalu.

Keluarga besar dengan 13 anak

Bruder bule dari Negeri Belanda ini punya nama asli Michael van Beers.

Pria yang sudah purna karya ini lahir dari keluarga besar dengan anak berjumlah 13 orang. Ia lahir di sebuah keluarga Belanda yang sederhana. Ia adalah anak nomor tujuh dalam keluarga itu.

Ayahnya berprofesi sebagai petani.

Dialah yang paling beruntung, begitu Bruder Alex ini selalu berbangga hati, setiap kali mulai berkisah tentang keluarga besarnya itu.

Ini hanya karena satu alasan sederhana, katanya, “Karena saya bisa berkarya di Indonesia.”

Satu imam dan satunya suster PMJ

Br. Alex mengaku diri sungguh layak merasa berbangga hati. Itu  karena satu saudara kandungnya  menjadi imam diosesan di salah satu keuskupan di Negeri Belanda. Lalu, satu saudari perempuannya juga menjadi suster biarawati PMJ yang berkarya di bidang anak-anak kebutuhan khusus.

Tentang panggilan hidupnya sebagai religius Bruder MTB, kata dia, yang pasti adalah dia ingin tetap setia di jalur panggilan.

Ia mengisahkan pengalaman yang menggembirakan baginya selama menjalani tugas di pedalaman Kalimantan Barat (Borneo). Baginya, narasi-narasi tentang perjalanan panggilan dan karya hidupnyadi Borneo itu seperti seorang peziarah yang sedang mencari butiran embun di padang pasir.

Ia mengalami kesejukan dan kedamaian saat menemukan Yesus lewat orang-orang yang dia layani baik di asrama, sekolah, kelompok kategorial maupun mitranya dalam berkarya di bagian pembangunan gedung sekolah milik Kongregasi Bruder MTB (Maria tak Bernoda).

Terpanggil menjadi bruder

Misionaris asal Nederland yang selalu gesit ini lalu bercerita bahwa di Haaren, tempat kelahirannya di Negeri Belanda, saat itu ada banyak bruder MTB mengurus sekolah St. Aloysius yang sangat terkenal saat itu.

Ia mengaku terpesona akan keramahtamahan para bruder itu datang  mengunjungi umat di kampung tersebut.

“Kok para bruder MTB itu  pandai sekali mereka bergaul dengan orang tua kami,” katanya sebagai anak mengomentari kelincahan bergaul para bruder itu dalam bertegur sapa dengan keluarga-keluarga Belanda di Nederland waktu itu.

“Mereka selalu terlibat penuh aktif dalam  kegiatan bersama masyarakat di kampungku,” kenang penyuka bermain terompet ini sembari mengingat memori saat dia masih anak dan remaja.

Kisah Mereka yang Ingin Menjadi Bruder Kongregasi MTB (2)

Tahun-tahun berikutnya, kata Alexandro, dia merasa diri  seperti “ditangkap” oleh tatapan para bruder MTB Belanda waktu itu. Lalu, bersama teman-temannya, ia merasa terpikat ingin mengikuti  kegiatan pengembangan diri yang dibina langsung oleh bruder MTB waktu itu.

Meskipun masih tengah duduk di bangku SD, dia bersama teman-temannya cepat menangkap pembinaan di Social Fransican Club. Kegiatan ini  lebih pada mendidik anak-anak  untuk mengembangkan bakatnya apa saja yang bisa berbagi  satu dengan yang lain.

Menurut Alexandro kecil, para bruder MTB di Haaren, Negeri Belanda, yang membinanya itu mempunyai prinsip berikut ini. Yakni, bahwa melalui pekerjaan apa saja namun kalau dengan dibarengi senyum tiap hari, maka kita akan mendapat pencerahan dalam melakukan sesuatu kapan dan di mana saja kita berada.

Alexandro membatinkan ajaran “filosofis” tersebut, hingga sampai saat ini diwujudnyatakan dalam tugas dan pekerjaanya tiap hari.

Ini sungguh tampak sekarang, sebagaimana Br. Alex ini dalam berkarya selalu bersahaja dan menyapa setiap orang yang dijumpai dengan senyum yang tulus.

Hal ini penulis alami sendiri secara langsung selama empat tahun hidup dalam satu komunitas yang sama dengan beliau. (Berlanjut)

Br. Alexandro MTB: Tetap Perkasa di Usia Tua, Tebar Pesona di Singkawang (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here