Kamis, 26 Juni 2025
Kej. 16:1-12,15-16
Mzm. 106:1-2,3-4a,4b-5
Mat 7: 21-29
SAHABATKU terkenal sebagai orang yang rajin berdoa, selalu datang ke gereja, selalu ikut Novena, bahkan menjadi pemimpin doa lingkungan.
Doanya selalu mengesankan: “Tuhan, pakailah aku menjadi saluran berkat bagi sesamaku. Ajar aku mencintai seperti Engkau mencintai. Gunakan hidupku untuk menolong mereka yang menderita.”
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, dia sangat berbeda.
Suatu hari, ada tetangga kami, mengalami musibah: rumahnya hampir roboh karena hujan deras. Ia datang kepadanya untuk meminta bantuan. Sahabatku menjawab, “Saya akan doakan ya, Bu. Tuhan pasti tolong. Saya percaya mukjizat akan terjadi.”
Tapi ia tidak menawarkan bantuan tenaga, uang, atau bahkan menyebarkan kabar untuk mencari bantuan.
Tak hanya itu. Seorang pemuda pengangguran di kampung itu pernah datang kepadanya untuk meminta saran. Alih-alih mendengarkan dengan hati, sahabatku hanya berkata, “Kamu kurang berdoa. Coba lebih rajin ke gereja. Tuhan akan buka jalan.”
Warga kampung mulai memperhatikan bahwa meski sahabatku banyak bicara soal Tuhan, ia jarang benar-benar hadir ketika orang membutuhkan. Doanya bagus, kata-katanya rohani, tetapi tidak disertai tindakan nyata.
Suatu malam, dalam sebuah pertemuan lingkungan, seorang ibu tua berani berkata, “Pak, kami semua tahu Bapak rajin berdoa. Tapi kadang kami butuh tangan Bapak, bukan hanya doanya.”
Kata-kata itu menusuk hati sahabatku. Ia pulang malam itu dengan gelisah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sadar: selama ini ia mendoakan perubahan tanpa bersedia menjadi bagian dari perubahan itu.
Dalam banyak kesempatan, kita diajak untuk berdoa: dalam ibadat harian, dalam perayaan Ekaristi, dalam persekutuan umat, dan dalam nyanyian pujian yang menyentuh hati. Suasana khidmat itu sungguh indah.
Namun, ada bahaya tersembunyi: kita bisa terjebak dalam keindahan kata-kata, melupakan bahwa doa bukan hanya untuk diucapkan, tetapi untuk dihidupi.
Doa-doa kita mungkin terdengar indah dalam kebersamaan ibadat dan bahkan nyanyian pujian, tetapi itu tidak akan membawa keselamatan kalau tidak pernah ‘dilakukan’ dalam keseharian hidup.
Kata-kata tanpa perbuatan, ibadat tanpa kasih nyata, doa tanpa tindakan, semuanya kosong. Doa yang sejati bukan sekadar komunikasi dengan Allah, tapi juga transformasi diri.
Doa harus mengubah cara kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita bekerja, mencintai, mengampuni, dan melayani. Kalau doa-doa kita tidak membuat kita lebih sabar, lebih rendah hati, lebih peduli, maka kita perlu bertanya: “Apakah aku sungguh berdoa, atau hanya berkata-kata?”
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.”
Ayat ini adalah teguran yang tegas dari Yesus. Ia tidak sedang berbicara kepada orang yang tidak percaya, melainkan kepada mereka yang mengenal nama-Nya, bahkan memanggil-Nya “Tuhan.”
Namun seruan itu tidak cukup. Mengapa?
Karena iman bukan hanya soal kata-kata atau perasaan rohani. Iman sejati harus diwujudkan dalam perbuatan, dalam keputusan, pilihan hidup, dan kesetiaan pada kehendak Bapa.
Yesus mengingatkan bahwa bisa saja seseorang aktif dalam kegiatan keagamaan, fasih berdoa, bahkan tampak saleh di mata orang, tetapi hatinya jauh dari Tuhan karena tidak menjalankan kehendak-Nya. Kita bisa menyebut-Nya “Tuhan”, tapi tetap hidup menurut kehendak diri sendiri.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah doaku masih terpisah dari kehidupanku sehari-hari?