
SORE itu, langit Fatubenao berwarna keemasan. Suara Doa Salam Maria bergema lembut di antara derap langkah umat yang membawa patung Bunda Maria keluar dari Gereja Santo Agustinus.
Aroma dupa bercampur semilir angin gunung menyertai langkah mereka, mengawali tradisi tahunan yang selalu dinanti: perarakan Bunda Maria dari satu lingkungan ke lingkungan lain sepanjang Bulan Rosario.
Dengan penuh khidmat, patung Bunda Maria yang bertabur bunga-bunga segar ditahtakan di tempat yang telah disiapkan oleh umat. Di sana, selama tiga hari dua malam, umat berkumpul untuk berdoa Rosario bersama, memanjatkan syukur dan permohonan di hadapan Sang Bunda yang penuh kasih.
“Ini bukan hanya soal tradisi,” tutur Selus Koli, Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP). “Melalui kegiatan ini, iman kami diperteguh, dan persaudaraan antar umat semakin erat.”

Inkulturasi iman
Perarakan Bunda Maria di Fatubenao memang lebih dari sekadar ritual keagamaan. Ia adalah wujud nyata perjumpaan antara iman dan budaya. Setiap lingkungan menampilkan kekhasannya masing-masing. Tarian tradisional Likurai dan Tebe mengiringi prosesi dengan ritme yang penuh semangat, sementara para ibu menyambut patung Maria dengan ritual pengalungan selendang, tanda hormat dan cinta kepada Bunda Gereja.
Di malam kedua, suasana menjadi puncak rohani. Umat berkumpul dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin secara bergiliran oleh Pastor Paroki Romo Primus Seran Pr, atau Pastor Pembantu Romo Udi Naikofi Pr. Nyanyian pujian menggema di bawah langit malam Atambua, menghidupkan kembali semangat doa dan kebersamaan di tengah kehidupan umat.

Setiap lingkungan yang dikunjungi menjadi saksi bagaimana devosi kepada Bunda Maria menumbuhkan kehidupan iman yang sederhana namun mendalam. Anak-anak, orang muda, hingga lansia berbaur dalam satu irama doa, seolah mengatakan bahwa kasih Maria mampu menjembatani generasi dan menyatukan perbedaan.
Bulan Rosario di Fatubenao menjadi waktu khusus bagi umat Katolik untuk berhenti sejenak dari rutinitas, menengok ke dalam hati, dan meneguhkan iman lewat doa dan kebersamaan.
Ketika bulan Oktober berakhir, patung Bunda Maria akan kembali ditahtakan di gereja paroki. Namun semangat devosi dan kebersamaan yang lahir dari setiap langkah perarakan akan tetap hidup – menjadi tanda bahwa iman Katolik di Fatubenao bukan hanya dipraktikkan, melainkan juga dihayati dalam denyut budaya yang hangat dan manusiawi.