Cara Hillary Clinton Berterima Kasih kepada Mendiang Ibunya

0
1,455 views

KALAU bukan karena Dorothy Rodham (92), tentulah Hillary R. Clinton yang kini menjadi Menlu AS perempuan kedua setelah Madeleine Albright tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Hillary tidak saja mantan Ibu Negara, melainkan juga seorang Senator AS mewakili New York. Hillary juga merupakan pesaing dan penantang paling potensial –ketika itu—untuk menggoyang pencalonan Barrack Obama dalam upaya mengincar kursi empuk di Gedung Putih.

Hillary Rodham Clinton –demikian nama lengkap perempuan blonde— yang dalam penampilannya yang anggun, cantik, lagi pula cerdas dan  dan trengginas ini ternyata tak bisa memisahkan garis hidupnya dari mendiang ibunya: Dorothy Rodham.

Dorothy wafat hari Selasa dalam usia 92 tahun. The New York Times sampai menyebut mendiang Dorothy sebagai mentor sekaligus guru Hillary Clinton hingga meraih sukses di pemerintahan AS seperti sekarang ini.

Dorothy tahu diri. Ketika anaknya mulai menjadi figur publik –mula-mula sebagai istri Bill Clinton di Kantor Gubernur Arkansas baru kemudian menjadi the American First Lady di Gedung Putih–, Dorothy lebih memilih di balik layar. Jarang sekali mau muncul di depan publik dan apalagi menerima waktu untuk wawancara dengan pers.

Ia tahu dimana dan kapan harus “berdiam diri”. Dan atas semua “pengertian besar” mendiang ibunya ini, Hillary sampai membatalkan lawatan dinasnya ke London. Hillary sampai menyebut, dari ibunyalah dia belajar banyak tentang kehidupan ini: ketabahan melakoni kehidupan dan endurance (daya juang) meniti masa depan.

Hillary sadar betul, mendiang ibunya takkan pernah sampai ke tahapan hidup yang pernah dan sekarang dia lakoni: istri gubernur, istri presiden, senator, calon presiden AS, dan kini Menlu AS.

Dalam buku biografinya Living History (2003), Hillary menulis terus terang tentang siapa ibunya, “Tak jarang aku memikirkan nasib ibuku yang hidupnya sangat susah dan sering menerima perlakukan kasar dari orangtuanya dan moyangnya; termasuk mengingat bagaimana  orang lain sampai menaruh simpati kepada ibuku.”

Apa yang perlu dicatat Hillary dari seorang Dorothy tak lain adalah endurance mendiang dalam mendidik Hillary hingga menjadi orang. “Saya sering tak kuasa menahan haru sekaligus bangga, ketika harus mengingat almarhum mampu melupakan sendu-sedihnya sendiri agar bisa memberi keceriaan pada saya,” begitu tulis Hillary dalam Living History.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here