Catatan Bersahaja Omah Kuldi: Melakukan Pekerjaan Keledai

0
453 views
Ilustrasi: Bersih-bersih (Laurentius Sukamta)

SALAH satu sudut yang menarik pengunjung Balai Budaya Rejosari adalah tulisan Omah Kuldi. Di bawah tulisan bersahaja itu, ada beberapa kendi berukuran besar. Tulisan yang terpampang di tembok bata rumah Pastoran BBR ini langsung menggelitik beberapa orang bertanya apa artinya kuldi.

Tentu saja ini bisa dijawab sesuai dengan pemahaman sendiri. Dan itu justru diharapkan. Apalagi ketika kata kuldi ini dilekatkan dengan kata omah yang didalamnya dihuni pengelola BBR.

Salah satu arti dari kuldi adalah keledai. Meski hewan ini tidak kita akrabi sebagai hewan tumpangan bagi orang Indonesia namun kata ini cukup mudah dimengerti. Oleh anak sekalipun.

Bila kita mau ndhudhug (menggali) sedikit lebih dalam, kata kuldi ini bisa menjadi pengingat.

Hewan yang dianggap bodoh, terkesan lembek dan kecil dibandingkan dengan kuda ini justru menjadi pengingat bagi siapa pun yang menganggap diri unggul, pintar dan hebat dalam kehidupan.

Ilustrasi (Ist)

Kebijaksanaan

Ada di antara kita yang mencintai hal-hal spiritual dan mulai menganggap diri lebih hebat, lebih suci, lebih mengerti kehidupan ketimbang orang lain yang larut dalam pekerjaan tangan yang kotor, nelayan yang mengarungi samudera raya, buruh yang mengais kehidupan.

Ada di antara kita yang menjadi pemimpin agama dan mulai menganggap bahwa yang lain itu lebih bodoh, seperti bebek saja yang mengikut apa yang dikatakan, diajarkan dan difatwakan.

Ada di antara kita yang menjadi profesor dan mulai menganggap bahwa yang lain itu tidak berpendidikan. Ada di antara kita yang kaya dan mulai menganggap rendah yang miskin dan menolak yang terlunta.

Kita baiknya menyadari bahwa terang kebijaksanaan adalah pinjaman dari Allah pencipta semesta kebijaksanan.  Kecerdasan seperti juga ketampanan dan kecantikan fisik kita sungguh hanya lapisan luar yang amat tipis.  Kekayaan hanyalah titipan dari Sang Penguasa kekayaan semesta.

Semua kelebihan itu bukanlah realitas kita sendiri.  Seperti buah ditaman Firdaus bukanlah Realitas sejati dari pengetahuan yang baik dan buruk. Yang Sejati adalah Pemberi kebaikan itu sendiri. Bayangkan kekasih hati kita yang amat elok cantik menawan direnggut waktu. Kian renta, tua,  kurus keriput dan tak berdaya. Secara perlahan lapis luar seperti ketampanan, kecantikan ragawi memudar dan terus merosot. Kepandaian dan keahlian bisa mengendur. Kekayaan bisa habis. Kehebatan manusiawi apakah yang bisa dipelihara hingga usia senja?

Dari kuldi kita disadarkan. Ada keindahan lain, kebijaksaan lain yakni cinta sejati, pusat cinta yang bibir manapun akan terus mengecup sejuk dan segarnya air kehidupan. Di sana air kehidupan itu akan memuaskan dahaga kemanusiaan. Orang tidak haus lagi. Orang akan malu bila menyombongkan “kesuciannya”, kepintaran, kekuasaan dan pengetahuannya.

Semua itu tidak ada hubungannya dgn perhitungan cerdas manusia. Semua ini hanya berhubungan dgn pelayanan kasih murni terhadap Allah. Yang kita butuhkan adalah diam dan hening. Ketika kita hening, kita tidak lagi sibuk dengan kata-kata, apalagi sekarang orang sibuk dgn perang kata-kata, fitnah, dusta dan perang kelicikan kata.

Kata, kalimat dipelintir, diobrak-abrik menjadi senjata untuk menusuk, menjatuhkan, menghancurkan. Kata bahkan seolah dibalut ayat bau suci, ditempatkan dalam mulut orang “suci” namun untuk menggelembungkan ego pribadi dan kepentingan kuasa. Orang menjadi keras hati (stony heart). Kata akhir adalah menang atau kalah, membunuh atau dibunuh, menghancurkan atau hancur, untung atau rugi. Kesederhanaan, rasa cukup, urip prasaja tidak pernah ada dalam kamus lagi.

Kebijaksanaan (Ilustrasi/Ist)

Kuldi tidak mendorong orang untuk terpukau. Kuldi tidak menarik orang terpesona. Karena orang mestinya menghilang dalam Realitas Sejati yang penuh pesona agung. DIA merenggut kita menghilang dari wujud fisik, mendorong kita dari kelekatan dan ketertarikan wujud fisik duniawi.

Ada orang yang tertarik pada hiasan di pelana. Namun ia kurang mempedulikan keledai yang ditungganinya. Atur dan kendalikan keledainya karena sadel tunggangan tak akan jatuh dari punggungnya. Berpalinglah, tunduklah ke dalam pusat hati, kedalaman jiwa.

Seluruh kekawatiran dan kecemasan akan musnah.

Apabila keledai enggan bekerja dan malas-malasan, ikat dan berikan beban kebaikan dan kesabaran. Kita tidak mungkin mengharapkan panen bila tidak pernah menanam. Kita tidak pernah menghasilkan peradaban besar jika tidak menanam kebaikan hidup, perjuangan, kesatuan dan kerja keras. Anak-anak hanya akan diracuni mimpi dan khayalan oleh kebencian dan anggapan bahwa perbedaan itu menyakitkan. Bangun peradaban kasih. Bangun spiritualitas kuldi.

Jangan sekali-kali berkata  pada diri sendiri, “Harta karun sungguh mengagumkan dan membuat bahagia tanpa kerja keras terus menerus”. Itu hanya harapan buta akan keberuntungan. Jangan berkata pada anak muda, kita ini amat kaya dengan gotong royong, welas asih dan paseduluran, namun kita sibuk mencontohkan hanya pertengkaran, makian, omong kosong, dan saling membenci.

Keledai terus bekerja. Harta karun mengikuti dari belakang ketika keledai bekerja tiap hari. Jangan menunda pekerjaan dan terlena dengan mimpi “seandainya…”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here