Catatan tentang Agats Asmat: Kaya Sumber Alam, Kok Bisa Sampai Terjadi KLB Campak dan Gizi Buruk? (2)

1
1,249 views
Kelompok orang Asmat semacam ini perlu didukung untuk melestarikan transportasi lokal mandiri. Orang Asmat mendayung perahu sampan. Mereka mendayung sampan bukan di perairan laut, melainkan di perairan sungai dengan lebar bisa mencapai 500-1.000 meter. (Albertus Istiarto)

INI merupakan catatan kritis penulis yang pernah tinggal selama kurang lebih lima tahun di Kabupaten Asmat – Keuskupan Agats di Papua sebagai tenaga pastoral keuskupan dan utusan dari Ordo Salib Suci (OSC).

Berikut ini catatan kami dengan perspektif refleksi.

Ironis banget

Memang sungguh ironis, di wilayah Asmat yang terkenal dengan sumber alam yang kaya bagi kaum peramu sejati –orang-orang Asmat itu– ternyata bisa terjadi wabah yang mematikan seperti yang terjadi hari-hari ini dan mulai terekspose ke media massa pertengahan Januari 2018.

Catatan tentang Agats Asmat: Musibah KLB Gizi Buruk, Jangan Jadi ‘Wisatawan Kemiskinan” (1)

Pencanangan Kejadian Luar Biasa (KLB) itu terjadi, karena mewabahnya penyakit campak dengan kondisi kurangnya asupan nutrisi yang memprihatinkan.

Rasa prihatin

Ada perasaan sedih, kecewa sekaligus marah terhadap kondisi yang terjadi seperti ini.

Sebenarnya, hutan sagu yizang masih cukup banyak, ikan di sungai, dan binatang buruan di hutan masih sangat berlimpah.

Jadi, secara logika, rasanya tidak masuk akal, kalau orang-orang Asmat di berbagai tempat di wilayah Kabupaten Asmat dan Keuskupan Agats ini sampai mengalami kelaparan, kekurangan asupan gizi, dan menjadi rentan terkena penyakit.

Yang jelas, KLB itu sudah terjadi dan berbagi kisah sedih di Agats – Asmat itu telah menjadikan kita terseret oleh  rasa pilu dan prihatin.

Ini terasakan terutama  oleh siapa pun yang pernah menikmati hari-hari pelayanannya selama bertahun-tahun di Asmat.

Rasa pilu itu terjadi karena media massa nasional sudah memberitakan puluhan anak telah meninggal dunia karena kurang asupan gizi.

Mula mula, saya tidak percaya telah terjadi musibah wabah tersebut. Namun, setelah saya melakukan kontak dengan teman-teman di Asmat dan juga dengan Bapak Uskup Diosis Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM, maka kepastian tentang hal itu menjadi lebih jelas dan KLB itu memang nyata terjadi.

Anak anak Agats Asmat yang menjadi tumpuan masa depan. (Albertus Istiarto)

KLB itu serius

Menurut informasi dari lapangan yang baru saya terima pada hari Minggu pagi tanggal 21 Januari 2018 ini, KLB itu telah  ‘menyebar’ dan menjalar ke delapan distrik di seluruh wilayah Kabupaten Asmat.

Bahkan Bapak Amatus Datipits asal Asmat, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Jayapura, juga membenarkan hal itu.

Saking seriusnya, kata Pak Amatus, teman teman LPMAK Timika sudah menyatakan diri siap dengan tenaga medis untuk bisa berangkat ke Asmat.

Awas: Angin Barat Laut

Karena pengalaman riil pernah hidup di pedalaman Asmat selama lima tahun, maka saya berani mewanti-wanti dan tegas-jelas mengingatkan mereka untuk berhati hati melakukan perjalanan menuju Asmat.

Hari-hari ini adalah musim Angin Barat Laut.

Ketika speedboat berlayar menyusuri perairan di sepanjang pantai, maka laut menjadi sangat tidak bersahabat.

KLB Campak dan Gizi Buruk di Kabupaten Asmat – Papua, Mengapa Keuskupan Agats Perlu Dibantu?

Perjalanan ke berbagai wilayah di Asmat –terutama yang harus melewati kawasan perairan titik singgung sungai dan laut—akan menjadi perjalanan penuh risiko.

Speedboat dan perahu motor bisa dibuat terbalik lantaran ‘ulah’ ombak yang besar.

Agats-Asmat: RIP Enam Orang Tewas, Perahu Terbalik Diterjang Ombak Laut Arafuru

In Memoriam Sr. Sisilia TMM: Meninggal Tenggelam di Laut Arafura

Perahu-perahu sampan tradisional yang dibuat oleh orang Asmat sebagai warisan ketrampilan leluhur, namun kini jumlahnya makin sedikit. Sebuah potret lawas di perkampungan Yasiw Atsj Asmat dimana dulu puluhan perahu ada di tempat ini,tapi sekarang tinggal beberapa saja karena mereka lebih suka menikmati motor tempel. (Albertus Istiarto)

Respon positif

Melihat langkah tanggap darurat yang serius dari Pemerintah maupun Gereja Katolik Lokal –Keuskupan Agats– saya sungguh sangat menghargai  mereka.

Saya juga ingin berterima kasih bahwa di sana sudah mulai terjadi gerakan yang sangat serius untuk menanggulangi KLB di berbagai titik permukiman masyarakat Asmat ini.

Sayang juga,  bahwa deteksi dini itu lambat dilakukan.

Rumah bujang sebagai tempat tinggaal. (Albertus Istiarto)

Mengapa bisa terjadi wabah?

Untuk menganalisis kenapa wabah penyakit bisa terjadi, maka  izinkan penulis membuat catatan kritis di sini:

  1. Kebiasaan orang setempat yang selalu hidup secara nomaden (berpindah-pindah tempat) dan tidak menetap di sebuah titik lokasi tertentu itu telah menjadi pemicu asupan makan mereka kurang gizi dan kurang sehat. Itu terjadi, karena mereka tinggal di bivak-bivak pedalaman hutan.
  2. Kurang pengertian terhadap masalah kesehatan juga menjadi faktor yang penting. Biasanya, hal ini  ada kaitannya dengan pendidikan.
  3. Dulu, anak-anak sekolah selalu diminta untuk segera melaporkan ke guru atau katekis atau malah pastor dan pendeta, jika di kampung ada warga yang sakit supaya segera mendapat bantuan.
  4. Kurangnya pelayanan medis dari puskesmas yang tersedia di distrik- distrik juga telah menjadikan program kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
  5. Kurangnya tenaga medis dan sarana trasnportasi  juga menjadi kendala. Termasuk juga kurangnya sosialisasi dan komunikasi ke kampung-kampung tentang perlunya Puskesmas.
  6. Berkurangnya keterlibatan para misionaris dalam bidang kesehatan bisa jadi juga menjadi faktor kurang terkontrolnya situasi dan kondisi kesehatan masyarakat lokal.

Pastor harus bisa segalanya

Zaman dulu, para misionaris selalu berbekal buku Where There is no Doctor. Tersedianya obat-obatan juga menjadi adalan untuk membantu kesehatan primer masyarakat Asmat.

Itulah pengalaman kami kurun waktu tahun 1981-1985, setiap kali  mengunjungi masyarakat Asmat di pedalaman. Kami selalu berbekal buku tersebut dan membawa aneka  obat-obatan dari yang sederhana sampai antibiotika yang perlu.

Kapal sampan dan motor milik misi katolik Keuskupan Agats di Papua. (Abertus Istiarto)

Radio SSB

Masih beruntung, waktu itu ada jaringan komunikasi Radio SSB (single side band). Umat di pedalaman bisa menggunakan jalur SSB ini untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan para pastor misionaris senior (para pastor Belanda) yang sangat berpengalaman dengan dunia kesehatan.

Faktor pendidikan dasar yang ada mungkin juga bisa memperkuat ketidakmengertian akan pentingnya  hidup bersih dan sehat.

Pendidikan dasar tetap menjadi kendala di Asmat maupun Papua karena kurangnya tenaga guru yang ada.

Anak anak yang  sudah tamat  sekolah SD diharapkan bisa membantu mengontrol pengobatan yang dilakukan orangtuanya terhadap anak balita jika kena diare atau pun malaria dengan obat penurun panas dan obat malaria.

Perahu adalah lambang kehidupan Asmat

Perahu, baik yang bermotor maupun sampan, adalah sarana ‘komunikasi’ sekaligus transportasi.

Orang-orang Asmat kini lebih suka naik sampan motor tempel.
Anak-anak Asmat di kawasan pedalaman di Sawaerma (Mathias Hariyadi).
Anak-anak Asmat di kawasan pedalaman di Sawaerma (Mathias Hariyadi).

Perahu adalah lambang kehidupan bagi orang Asmat. Itu karena mereka mencari makan atau kemana pun pergi, misalnya ke Puskesmas kampung lain, ya  harus menggunakan sampan dayung.

Kini, dengan adanya bantuan perahu ting ting (motor tempel berbahan tenaga mesin dengan BBM), masyarakat mulai dimanjakan dengan alat ini dan menjadi lupa bahwa mereka itu sebenarnya mampu membuat dan memiliki perahu sendiri. Ini adalah warisan budaya turun-temurun yang sebenarnya melekat sebagai ‘identitas’ budaya masyarakat Asmat.

Keberadaan perahu motor tempel itu telah  membuat mereka pada kondisi ketergantungan yang merugikan.

Ketergantungan pada motor tempel. (Albertus Istiarto)

Seandainya masih banyak perahu ‘tradisional’ yang bisa mereka buat sejak zaman dahulu sebagai warisan ketrampilan turun-temuran, maka mereka juga  tak segan pergi membawa anak sakit ke puskesmas.

Ini perlu diselidiki lebih lanjut.

Mengelola Asmat ke depan

Izinkan penulis membeberkan beberapa saran agar kita semua bisa mengelola Asmat ke depan dengan lebih baik.

  • Kerjasama antara Gereja dengan Pemerintah tetap harus dilakukan; utamanya mengelola pendidikan, kesehatan, pengembangan sosial ekonomi.
Kami ada sekolah, tapi tidak ada guru. (Mathias Hariyadi)
  • Masalah berkurangnya ketrampilan membuat perahu sendiri merupakan persoalan serius bagi orang Asmat. Itu karena perahu adalah lambang kehidupan.
  • Sebenarnya, masyarakat Papua Pantai selatan dari Kamoro, Sempan, Asmat, Auyu hingga Marind bermasalah dengan menghilangnya perahu dayung. Itu terjadi, sejak muncul motor-motor tempel.
  • Masalah pendidikan dan kesehatan tetap menjadi prioritas dengan mendatangkan guru dan tenaga medis dari luar daerah Asmat.
Anak-anak Asmat yang menjadi masa depan Kabupaten Asmat dan Keuskupan Agats di Papua. (Albertus Istiarto)

Dengan KLB Asmat  ini, diharapkan tidak ada yang saling menyalahkan, tetapi harus bisa membuat visi dan misi bagaimana meningkatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan tentunya.

Selama kurang lebih 10 hari di bulan Juni 2013 lalu, penulis bersama editor media katolik online  AsiaNews, Sesawi.Net dan kelompok peduli kemanusiaan dari Jakarta ikut blusukan bersama Mgr. Aloysius Murwito OFM ke beberapa titik lokasi di pedalaman Agats.

Keinginan bisa mengenal Asmat lebih mendalamsekarang ini sudah terjawab. Itu karena kini sudah tersedia buku bertitel  Asmat Peramu Sejati Mengukir Jatidiri.

Penulis bersama anak-anak di Sawaerma di akhir bulan Juni 2013 dalam perjalanan bersama editor AsiaNews dan Sesawi.Net bersama kelompok peduli kemanusiaan. (Mathias Hariyadi)

1 COMMENT

  1. Saya turut prihatin dengan apa yang terjadi pada saudara-saudara kita di Asmat baru-baru ini. Semoga kedepannya pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Salam dari Jawa Tengah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here