[media-credit name=”google” align=”alignright” width=”300″]
Aku pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat untuk Valerie, terapinya nanti malam saja, tunggu aku selesai ujian praktek. Dianya segera membalas dengan penuh doa OK. Semoga sukses, aku doakan yang terbaik..
Tapi aku yang kalah dengan lelahku, melupakan janji yang kubuat sendiri. Hingga Valerie pun terpaksa naik taksi. Tapi aku begini kan karena tugas sekolah. Sudah kuduga, Ibu yang tak pernah mengerti kembali menambah penat hatiku dengan omelannya.”Nanti jangan lupa jemput, kalo dia kenapa-kenapa di jalan gimana? Tolong mengerti ibu!”. Percakapan pun selesai, singkat, tanpa salam hangat ataupun pertanyaan mengenaiku. Kau tahu apa yang aku rasakan? Kesal.
Hatiku terasa begitu panas. Hanya Valerie, ya hanya dia yang dikhawatirkan orang tuaku. Ayah tak pernah ada kabar, ia sibuk dengan urusan bisnisnya. Ibu? Tak jauh berbeda dengan ayah, sibuk juga dengan urusannya sendiri. Dengan mudah mereka melimpahkan tanggung jawab atas Valerie kepadaku.
Valerie, andai saja sindrom itu tak mengusik hidupmu. Tentu kaupun tak akan mengusik hidupku. “Kehendak Tuhan”, satu alasan yang tak pernah melegakan pertanyaan dihatiku. Kenapa kehendakMu tak pernah indah untukku? Hatiku semakin kalut. Aku pikir tak pantas rasanya bila aku selalu membalas sikap Valerie dengan kasar, ia terlalu lembut dan sangat peduli padaku. Bahkan ia sering berusaha merapikan kamarku untuk sedikit menyenangkan hatiku. Tapi aku tak peduli! Ia memalukan dan hanya menyulitkanku.
Malam terlalu dingin dan aku terlalu penat. Aku ingin sekali saja tidak direpotkan olehnya. Apa ibu tak pernah berpikir
tentangku? Malam itu aku benar-benar memutuskan untuk tidak menjemput Valerie. Berangkat sendiri saja bisa, kenapa tak bisa pulang sendiri?
Tak ada yang menduga, malam itu adalah malam malapetaka bagi kami. Aku tak pernah mengira, kemalasanku itu ternyata menyebabkan kecelakaan tragis yang merenggut keceriaan Valerie. Aku menghujani diriku sendiri dengan hujatan. Apa tak cukup kamu menyiksanya? Dasar egois! Suara-suara itu terus bergeming di telingaku. Menyeruak di alam bawah sadarku. Tak ada pembelaan dariku, kali ini aku menyerah, kalah.
“Aku memang salah.”
Ayah dan Ibu pasti marah besar padaku. Itu resiko, lagipula aku sudah kebal dengan omelan mereka. Seingatku, mereka lebih sering marah padaku karena keteledoranku mengurus Valerie, dibandingkan dengan kenakalanku lainnya.
Aku sering bertanya, apa Ayah dan Ibu tidak memikirkan aku? Kini aku melempar pertanyaan itu pada diriku sendiri, apa aku tidak memikirkan Ayah dan Ibu? Bagaimana mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhanku dan Valerie? Bukankah itu semua untukku dan Valerie? Dan sekarang, mereka hanya memintaku untuk menjaga Valerie tapi apa yang aku lakukan? Hanya karena kepentinganku sendiri Valerie harus menerima ini semua.
Apa itu balasanmu untuk orang tuamu, hah? Kau tahu Valerie lemah, tapi kenapa kau masih membiarkannya sendiri? Kau tidak disekolahkan untuk menjadi bodoh, Andros! Kau tidak disekolahkan untuk menjadi seorang yang tidak peduli kepada orang lain! Sadar, bukalah mata dan hatimu! Berhenti dari keegoisanmu!
Aku memperlambat langkahku. Kulihat Ibu dan Ayah duduk di ujung lorong rumah sakit. Lirih kudengar isakan Ibu. Matilah kamu, Andros!
“Apa yang kamu lakukan?” suara berat Ayah membuka percakapan kami.
“Kau kemanakan saja pikiranmu, hah?!”
Aku hanya menunduk diam. Aku tak tahu harus menjawab apa, tapi tiba-tiba ibu memelukku. Pelukan yang lama tak aku dapatkan. Hangat sekali.
“Sudah ayah.” Ibu tidak marah, dia tidak menyalahkanku.
“Maafkan aku.” suaraku mulai bergetar, mengisi keheningan di lorong rumah sakit itu.
“Tak perlu.” Aku tak tahu apa maksud dari perkataan ayah ini. Tapi aku tak punya nyali untuk bertanya.
“Dengar Andros, Ibu minta maaf, Ibu memaksamu untuk mengerti keadaan. Seolah ibu tak mau mengerti lelahmu. Nak, selama ini kau tak pernah menyia-nyiakan kepercayaan Ayah dan Ibu, kepercayaan Tuhan yang memberimu seorang Valerie. Tuhan tak salah memilihmu.” (bersambung)
Penulis : Cyntia Jasmine & Theresia Okvitawati