Cerpen “OLAN” (3)

0
1,636 views

Sore ini aku berjumpa lagi dengan Olan. Kali ini di dalam bus. Bus penuh sesak, maklum jam orang pulang kantor. Aku terdesak sampai ke pintu belakang bus karena penuhnya. Dan, ketika aku bergelayutan di tiang dekat pintu bus yang berjubel dengan banyaknya penumpang aku berjumpa dengan Olan. Seperti biasa dia terlebih dahulu menyapa dan mengajakku berguyon. Guyonan hambar yang lagi-lagi membuatku terpaksa menarik urat wajah untuk tersenyum, pura-pura menanggapi.

Dia juga bergantung dekat pintu. Posisi Olan sebenarnya sangat membahayakan. Jika ia lengah dan terlepas dari pegangannya di tiang pintu, dengan mudah ia bisa terjatuh. Sore ini entah kenapa sopir bus yang kutumpangi berinisiatif membawa busnya memasuki jalan tol. Ketika bus memasuki bibir pintu tol kondektur dengan sigap menutup pintu. Dengan susah payah dan dipaksa pintu bus hanya setengahnya tertutup karena penuh sesaknya orang berdiri berjubel di bibir pintu, termasuk aku dan Olan.

Bis melaju kencang. Tiba-tiba terbesit di pikiranku sebuah gagasan ajaib: misalnya bagaimana sekiranya aku mendorong Olan keluar dari bus. Dengan sigap lalu lintas segera mengganyangnya. Aku membayangkan kepalanya yang pecah. Mulutnya yang sedang tak henti berceloteh itu tentu tidak mampu ngoceh lagi selama-lamanya. Olan akan menggeletak di tengah jalan, gepeng seperti dendeng. Semua orang nanti akan memusatkan perhatian, merubung seperti semut. Semua orang tentunya berpihak kepada Olan yang dianggap sebagai korban.

Selanjutnya aku tak akan pernah terganggu. Tak akan pernah lagi terpaksa tersenyum menyambut dirinya, pura-pura senang dengan guyonannya, dengan kehadirannya yang selalu tidak diundang. Selamanya. Ya, selamanya. Tanpa banyak cing-cong lagi aku segera bertindak. Kusentuh pundaknya. Seluruh berat badan dan tenagaku kutumpahkan mendorong Olan. Sial. Di luar dugaan ternyata dia begitu kukuh. Aku tidak berhasil melemparkannya keluar bus! Dia malah berhenti ngoceh dan memandangku dengan heran. Aku jadi panik.

Tapi tekadku sudah bulat. Apapun yang terjadi aku harus mendorongnya! Lagipula di tengah bus yang melaju kencang itu aku yakin benar masing-masing penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri sambil bergelayutan atau memegang erat-erat tas serta bawaannya. Ini kesempatan emas. Maka, sebelum kedokku copot dengan cepat seluruh berat badanku kutumpahkan mendorong Olan sekuat-kuatnya! Ya, sekuat-kuatnya! Tubuh Olan mendadak terlempar keluar seiring dengan ributnya bunyi klakson dan ban mobil memekik, berdecit-decit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here