CU Lestari Wonosobo: Dari Desa Grugu dan Buntu, Menyebar Berkembang di Jateng (1)

0
1,597 views
Sr. Theresianne PMY diapit Sr. Vera DMJ dan Sr. Adolphine DMJ, bersama karyawan CU Lestari (Dok. Sr. Theresianne PMY)

SUNGGUHLAH benar, bahwa Credit Union (CU) Lestari ini lahir dari sebuah perjalanan refleksi batin berkelanjutan dari para Suster Puteri Maria Yosep (PMY) yang dulu berkarya di Wonosobo, Jateng. Begini ini kisah panjangnya.

Desa Grugu adalah permukiman penduduk dengan mayoritas warganya terdiri dari para petani kurang mampu. Lokasinya berjarak 25 km dari Kota Wonosobo yang berbatasan langsung dengan Kota Purwokerto.

Pada tahun 1978, Romo Rozemeijer MSC bersama Kongregasi Suster Puteri Maria Yosep (PMY) berhasil mendirikan Klinik Adidharma. Untuk melayani warga desa Grugu dan desa-desa di sekitarnya. Selanjutnya, yang semula hanya ada  karya kesehatan, lalu bisa bertambah karya pendampingan petani sayur organik.

Karya ini diinisiasi oleh Sr. Alfonsa PMY yang  waktu itu juga menjadi perawat di klinik tersebut.

Menjalani stase di Grugu

Tahun 1995, Sr. Theresianne PMY saat itu masih berstatus Novis Tahun Kedua. Sekali waktu, ia ditugaskan menjalani masa stase dengan melakukan live in di Grugu.

Tujuannya adalah agar sebagai calon Suster PMY dia diajak mengenal dan menyelami fakta kemiskinan. Juga agar dia bisa ikut mengalami penyelenggaraan ilahi yang terjadi di tengah-tengah kaum petani miskin.

Sebagai suster muda, Sr. Theresianne PMY mendapat banyak kesempatan bisa melakukan kunjungan keluarga. Mendatangi sejumlah umat Stasi Grugu. Ikut hadir dalam komunitas petani sayur organik. Sekaligus juga sering ikut  mengajar Sekolah Minggu.

Kelompok belajar

Setiap kali datang untuk mengajar anak-anak Sekolah Minggu, maka yang terjadi adalah sejumlah anak non Katolik ikut datang.

Juga kemudian melihat dan malah ikut mendengarkan. Karena mereka tak bisa bergabung sepenyuhnya, maka suster lalu punya ide. Membentuk kelompok belajar setiap Senin sore.

Prakarsa ini disambut hangat oleh ibu-ibu warga desa. Lantaran selama ini, mereka hanya bisa mengeluh kalau anak-anaknya sekarang mulai malas belajar.

Sukanya hanya nonton TV. Bahkan dari mereka pun sudah amat malas mau membantu orangtuanya bekerja di ladang.

Donasi satu juta

Suatu ketika kelompok belajar ini mendapat donasi sebesar satu juta rupiah. Donasi tersebut digunakan untuk membuka warung kecil. Guna menjual khusus perlengkapan sekolah. Itu pun dikelola sendiri oleh kelompok belajar anak-anak.

Lalu juga dibelikan tujuh ekor kambing.

Tujuannya untuk melatih anak-anak belajar bekerja dan bertanggungjawab. Caranya dengan memberi kuajiban mereka untuk menyediakan makanan bagi kambing-kambing ini: mencarikan rumput.

Sebulan sekali, masing-masing kambing ini ditimbang di posyandu untuk melihat tingkat pertumbuhan. Ketika berat kambing sudah tidak naik, maka kambing lalu dijual. Hasilnya dibelikan peralatan sekolah dan kambing lagi dan seterusnya.

Dari kelompok belajar ini, selain belajar membaca dan berhitung, anak-anak belajar bekerja, mengelola uang dan membuat anggaran, yang kemudian menabung.

Kegiatan kelompok anak-anak ini semakin bervariasi dan berkembang dan akhirnya Sr. Theresianne PMY ditemani oleh Sr. Brigitta PMY yang juga mendampingi kelompok remaja dengan kegiatan praktik memasak.

Mengajari menabung

Program ini ternyata menarik sebagian dari para ibu-ibu yang kemudian ingin menitipkan uangnya untuk ditabung. Tabungan artinya memberikan bunga.

Sebagai seorang suster biarawati yang terikat dengan aturan Kongregasi,  maka suster dilarang  ‘bermain’ dengan uang. Menyadari hal itu, Sr. Theresianne PMY lalu berinsisatif melibatkan kaum muda desa untuk membantu pembukuan tabungan dan organisasi.

Pada awalnya melibatkan pemuda Katolik di desa setempat. Sekarang ini, semakin banyak orang mau terlibat. Bahkan warga non Katolik juga melibatkan diri dalam manajemen CU Lestari.

Pelayanan CU Lestari kepada anggotanya (Dok. Majalah De Heeriaan 2017-4)

Refleksi berkelanjutan

Sebelumnya, Sr. Theresianne PMY sama sekali tidak pernah membayangkan atau merencanakan bahwa CU Lestari bisa berhasil mengalami perkembangan seperti sekarang ini.

CU Lestari tumbuh dan mengalir begitu saja. Kehadirannya menanggapi kebutuhan anggota atau masyarakat.

Dengan terus-menerus terbuka terhadap persoalan yang ada. Melakukan refleksi bersama untuk memecahkan persoalan secara bersama.

Penyelenggaraan ilahi

Sekali waktu, muncul curhatan seorang ibu petani. Tanahnya akan disita oleh bank. Karena itu, dia ingin pinjam uang ke CU.

Suami ibu empat anak ini sudah lama meninggal, karena sakit. Ibu petani tersebut kemudian diajak mengikuti pertemuan rutin kelompok anggota CU.

Sehari setelah pertemuan tersebut, belum ada jawaban apakah CU Lestari bisa memberi solusi atas masalah ibu tersebut.

Namun, tiba-tiba keesokan hari ada orang yang sukarela bersedia menitipkan uang dengan jumlah yang sama dibutuhkan oleh ibu petani.  

Peristiwa ini semakin meyakinkan Sr. Theresianne PMY agar CU Lestani berani meminjami uang tersebut kepada ibu petani yang sedang kesushana ini. 

Caranya, ibu petani tadi dapat dibantu dan menjadi anggota CU. Tanahnya digunakan oleh kelompok petani sayur organik untuk bisa dikelola selama dua tahun.

Hasilnya untuk melunasi pinjaman. Kemudian muncul pemikiran bahwa uang harus diputar dan harus berani menaruh kepercayaan 100% kepada petani.

Peristiwa ini juga menumbuhkan kesadaran awal dari makna sebuah karya pemberdayaan.

Hasil sayur dari petani organic yang juga anggota CU dipasarkan di Kota Wonosobo. Mereka bekerjasama dengan ibu-ibu konsumen sayur organik.

Suatu ketika harga brambang di pasaran tinggi melebihi harga sayur organik yang biasanya memang lebih tinggi dari yang non organik. Karena harga sayur organik cenderung stabil, petani tidak dapat mengikuti.

Dilakukan dengan alasan mau melihat kesetiaan konsumen yang sejak awal sudah mau membeli sayur organik, meski harga lebih tinggi dari harga pasaran.

Sepertinya tidak ada keadilan di kedua sisi, jika harga tetap atau pun harga dinaikkan.

Untuk menjembatani ini, Sr. Theresianne PMY lalu mengajak para ibu-ibu konsumen sayur organik dari Wonosobo untuk datang ke desa, melihat pengolahan pertanian organik yang butuh kesabaran dalam merawatnya.

Akhirnya disepakati, ibu-ibu tersebut bersedia membantu menyuntik modal dengan cara bergabung menjadi anggota CU. Juga tetap mendapat harga biasanya.

Inilah awal pendirian lembaga penyalur kredit bernama CU Lestari di Kota Wonosobo yang sebelumnya hanya ada di Desa Grugu.

Sampai sekarang, Kota Wonosobo telah menjadi pusat kantor CU Lestari. Letaknya di tengah kota.

Sr. Brigitta PMY bersama anggota kelompok usaha kecil (Dok. Sr. Brigitta PMY)

Juga diinisiasi di Desa Buntu

Selain di Grugu, pada waktu yang hampir bersamaan, program ini juga berjalan di Buntu, sebuah desa berjarak 15 km dari Kota Wonosobo ke arah Dieng. Persis berlawanan arah dengan Grugu.

Dalam perkembangan waktu, program simpan pinjam ini bisa menyebar ke desa-desa berikutnya dan menjadikannya berhubungan dengan kerabat mereka.

Mereka tertarik dengan hasilnya. Jadi mereka juga ingin berpartisipasi dalam Credit Union. Dengan mulai menabung dan terlibat aktif mengembangkannya.  

Program CU ini terus dipromosikan ke masyarakat oleh para Suster PMY yang mendapat tugas pastoral pemberdayaan masyarakat di komunitas Klaten dan Purworejo.

  • Sr. Brigitta PMY sekarang ini masih aktif mendampingi usaha ekonomi kecil dan berjejaring dengan CU Lestari yang berkantor di Klaten.
  • Sr. Rosa PMY juga melakukan hal yang sama di Purworejo.

Credit Union di masing-masing kota tersebut mandiri baik secara keuangan dan organisasi, namun tetap berjejaring dengan CU Lestari sebagai induknya.

Akhir tahun 2020, sejak CU Lestari berdiri di tahun 1998, jumlah anggotanya telah bertambah menjadi  7.197 orang dan memiliki sembilan kantor yang tersebar di beberapa kota di Jawa Tengah. (Berlanjut)

Sumber: Wawancara dengan Sr. Theresianne PMY dan Majalah De Heeriaan 2017-4.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here