Dari Filipina untuk Pancasila

0
599 views
Penyerahan kebulatan tekad sejumlah WNI yang tinggal di Manila, Filipina saat memperingati Hari Lahirnya Pancasila: 1 Juni. Acara ini berlangsung di aula Kedubes RI di Manila. (Romo Yohanes Tuan Kopong MSF

INI catatan refleksi tentang peringatan Hari Lahirnya Pancasila tangga 1 Juni. Persatuan Indonesia adalah anugerah Tuhan.

Pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2018, saya mencoba merefleksi Pancasila dalam terang Injil Yohanes 17:20-21.

“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”

Demikian doa Yesus untuk kita dan juga semua bangsa.

Pancasila.

Dalam semangat “100% Katolik dan 100% Indonesia”, saya menemukan dan melihat bahwa persatuan sebagaimana dalam ajaran iman Katolik adalah kehendak dan anugerah Tuhan. Demikian juga persatuan yang terkandung dalam kelima nilai Pancasila, terutama sila ke-3 adalah anugerah dan hadiah terindah Tuhan bagi bangsa Indonesia.

Saya meyakini bahwa para pendahulu kita, ketika merumuskan keyakinan (iman) pada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki landasan dan alasan  hakiki. Yakni bahwa persatuan yang akrab dan intens dengan Tuhan yang diimani melalui berbagai macama agama dan kepercayaan pada gilirannya menjadi pintu bagi kita umat manusia untuk membangun persatuan antarsesama manusia dan ciptaan Tuhan yang lain.

Saya meyakini ini.  Ketika merumuskan Pancasila, para Bapak Bangsa memahami bahwa persatuan akrab dan mesra dengan Tuhan melalui berbagai macam ungkapan agama dan kepercayaan itu pada hakikatnya melahirkan manusia Indonesia yang memanusiakan sesamanya dan berkeadilan sosial dalam satu ikatan persatuan dari setiap suku dan bangsa.

WNI Indonesia di Manila, Filipina.

Kalau kita menyadari bahwa persatuan yang dibangun dalam satu agama yang sama pun tidak serta merta bahwa mereka yang bersatu dalam agama yang sama itu memiliki kesamaan suku dan budaya. Semuanya itu merupakan persekutuan. Suatu persekutuan dan persatuan manusia  berbagai macam latar belakang suku, budaya dan adat-istiadat.

Tak perlu diganggu gugat pula, persatuan manusia Indonesia itu berawal mula dari persatuan dan persekutuan suku, budaya dan adat yang berbeda dengan dan bersama Tuhan. Sebagai orang-orang beragama dan beriman, mereka kemudian menerjemahkan imannya dalam kesatuan dan persatuan sebagai manusia Indonesia yang diikat bukan karena kesamaan, tetapi karena perbedaan. Itu bertujuan mewujudkan manusia Indonesia yang berperikemanusiaan dan berkeadilan sosial.

Dari refleksi di atas, bagi saya menjadi jelas akan hal ini. Siapa pun yang ingin memecah belah persatuan Indonesia –anugerah Tuhan dalam bingkai Pancasila- maka ia adalah manusia tak beragama dan tak bertuhan. Jelas bahwa dia bukan orang beragama,  meski selalu meligitimasi tindakannya yang memecah belah persatuan selalu mengatasnamakan agama dan Tuhan. Semoga.

Aku Indonesia itu sebuah kepastian.
Aku Pancasila itu sebuah kebenaran.
Aku Katolik yang adalah Indonesia dan Pancasila.

Manila, 1 Juni 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here