Dari Rotterdam ke Batavia via Port Said: Berbekal Berkat Tuhan, Suster Misionaris OSA Yakin takkan Bisa Kembali Pulang (5)

0
601 views
Dengan Kapal Willem Ruys inilah kelima suster misionaris OSA perintis misi awal ke Ketapang, Kalbar, menumpang dari Pelabuhan Rotterdam dalam pelayaran menuju ke Batavia melalui Port Said dan Singapura di akhir tahun 1949. (Dok OSA/Repro MH)

NEDERLANDS-INDIË alias Hindia-Belanda merupakan kata yang sangat lazim bagi orang-orang Belanda di Negeri Kincir Angin di tahun 1940-an.

Namun apa dan bagaimana “isi” Hindia Belanda (baca: Indonesia) itu, banyak orang di Negeri Belanda pada waktu itu juga tidak tahu banyak.

Tak terkecuali juga bagi kelima suster muda OSA, para calon misionaris yang sudah diputuskan oleh Kongregasi OSA akan segera berangkat ke Ketapang, Kalbar.

Minim informasi

Tidak ada informasi apa pun tentang apa dan bagaimana itu Indonesia yang  pernah disampaikan kepada mereka dan kemudian bisa tertancap tinggal di benak kelima suster muda OSA calon misionaris ke Ketapang.

“Tidak ada koran dan juga tidak ada majalah atau buletin yang bisa kami baca tentang Nederlands-Hindië –tempat bagi kami akan tinggal sebagai misionaris,” ungkap Sr. Mathea Bakker OSA dalam sebuah wawancara di Nederland tahun 2005 silam.

“Kami tidak diberi informasi apa-apa tentang apa itu Ketapang … penduduknya bangsa macam apa dan bagaimana di sana …,” katanya lagi.

Sr. Mathea Bakker OSA malah kemudian berspekulasi “negatif” demikian.

“Bisa jadi, baik Moeder Sr. Agneta OSA maupun Direktur Kongregasi Pastor Stolwijk juga tidak tahu banyak tentang Nederlands-Hindië dan apalagi tentang West Borneo dan Ketapang,” kenangnya.

“Kalau pun ada, maka hal itu pun hanya berupa catatan informasi sekilas hasil serapan verbal dari pembicaraan mereka dengan Vikaris Apostolik Borneo Belanda Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap,” ungkapnya lagi.

Hal ini juga dibenarkan oleh Sr. Euphrasia Laan OSA, teman seperjalanan dan juga calon misionaris OSA ke Ketapang.

Tinggalkan Mariënheuvel menuju Rotterdam

Pada tanggal 4 November 1949, kelima suster muda OSA itu pun akhirnya meninggalkan Biara Pusat Mariënheuvel di Heemstede menuju Pelabuhan Rotterdam. Sejumlah sanak-saudara ikut mengantar kepergian mereka sampai di Rotterdam, sebelum akhirnya berlayar menuju Tanah Misi: Ketapang, Kalbar, Indonesia.

Terusan Suez – jalur pelayaran dari Port Said menuju perairan Timur Tengah ke arah perairan Asia Selatan – Ist

Di dermaga Pelabuhan Rotterdam sudah berlabuh kapal besar Willem Ruys.

Inilah kapal penumpang ukuran besar yang akan membawa kelima suster muda OSA itu berlayar meninggalkan Negeri Belanda untuk kemudian menyusuri pantai barat Eropa hingga kemudian berlabuh sejenak di Port Said di pesisir Mesir Timur Laut sebelum masuk perairan Timur Tengah dan Asia Selatan melalui Terusan Suez.

Pelayaran lanjutan akan ditempuh dari Terusan Suez menuju Singapura dan berikutnya menuju Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia (Jakarta) sebagai destinasi terakhir pelayaran panjang selama hampir satu bulan plus beberapa hari .

Meninggalkan Mariënheuvel menuju Rotterdam

Setiba di dermaga Pelabuhan Rotterdam, kata Sr. Mathea Bakker OSA, mereka berjumpa dengan beberapa suster Belanda dari Kongregasi lain yang pernah bekerja di Tanah Misi Indonesia.

Kapal Willem Ruys yang melayani pelayaran dari Pelabuhan Rotterdam menuju Batavia (Jakarta) di tahun 1949. (Dok OSA/Repro MH)

Dari mereka itu, kelima suster OSA yang masih “bau kencur” ini tahu dengan lebih pasti. Yakni, sekali mereka pergi meninggalkan Tanahairnya Nederland untuk bermisi ke mana saja –termasuk Nederlands-Hindië—maka risikonya sangat jelas.

Ada kemungkinan bahwa mereka itu nantinya tidak akan bisa pulang kembali ke Nederland.

Banyak alasan yang mereka dengar. Antara lain, mengalami sakit terkena virus atau jenis penyakit khas negara tropis, kendala jarak dan transportasi yang sulit dari “pedalaman” menuju “pusat kota” yakni Batavia dan masih banyak lagi yang lainnya.

Persis seperti yang dikatakan Moeder Sr. Agneta OSA sebelumnya, saat dia  berjumpa dengan Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap di akhir tahun 1948. “Kalau lima suster OSA kami itu nantinya sakit dan meninggal dunia di Tanah Misi, artinya jelas bahwa memang Kongregasi akan kehilangan lima orang anggotanya ….”

Semua informasi itu dari para suster Kongregasi lain yang juga akan bermisi untuk kedua kalinya itu sungguh didengarkan oleh lima orang suster muda OSA itu dengan penuh atensi.

Tetapi apakah dengan itu, kelima suster muda OSA itu lalu gentar hatinya dan menjadi ragu-ragu untuk bermisi ke Indonesia?

Sama sekali tidak.

Berbekal “berkat Tuhan”

“Tanggal 4 November 1949, kami berlima berangkat ke Tanah Misi dengan menumpang kapal Willem Ruys. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi (menimpa) pada kami nantinya di Nederlands-Hindië …. Kami tidak tahu akan mau diapakan oleh orang-orang Jepang  itu …,” kenang Sr. Mathea Bakker OSA.

Pada tahun 1949, Jepang sudah lama meninggalkan Indonesia setelah sebelumnya selama 3,4 tahun bercokol di Indonesia.

“Kami-kami ini tidak pernah baca koran, juga tidak mendengarkan siaran radio (tentang Indonesia) … Tetapi kami nekat mau pergi saja (hanya berbekal) dengan berkat Tuhan ….,” ungkapnya tenang.

“Dari para suster lain, kami diinformasikan bahwa kalau pergi bermisi, maka takkan pernah bisa kembali lagi kembali ke negeri sendiri … Kami juga sudah diberitahu akan hal itu oleh pimpinan Kongregasi,” katanya kemudian.

Hanya berbekal dengan berkat Tuhan sajalah, kelima suster misionaris perintis misi awal Kongregasi OSA di Ketapang, Kalbar, itu dimulai sejak 6 Desember 1949. (Dok. OSA/Repro MH)

“Ayah saya sendiri juga mengatakan hal itu: ‘Sekarang, kita berpisah (di Rotterdam) dan nanti kita tidak akan bertemu lagi” …. Suster-suster lain di kapal itu bereaksi sedih mendengar omongan ayah saya … namun kami berlima malah bersikap biasa-biasa saja,” kenangnya sembari sedikit menundukkan kepala dan memegang pinggiran batok kepala dan menutup kelopak mata. 

Antusiasme merekah

“Ada kekhawatiran bahwa nanti kami akan jadi korban sasaran amuk massa anti Belanda … he… he… he… kami sendiri tidak tahu akan hal itu. Karenanya, kami menyikapi biasa saja dan malah terkesan sangat antuasias, lantaran kami yang muda-muda inni ingin bisa segera pergi agar bisa melihat Tanah Misi itu …. untuk bisa bekerja di RS, merawat anak-anak dan memberi susu kepada mereka …,” lanjut Sr. Mathea Bakker OSA disertai senyum lebar tersungging di ujung bibirnya.

Para suster dari Kongregasi lain yang pernah pergi ke Tanah Misi Indonesia hanya bereaksi geleng-geleng kepala. Mereka ini bingung dan heran kenapa para suster muda OSA ini sebegitu antusiasnya ingin pergi ke Tanah Misi tanpa terlebih dahulu kenal medan dan aneka tantangannya.

“Aah… aah… Suster-suster Augustinessen itu tidak tahu apa-apa yang nanti akan terjadi menimpa mereka,” kata Sr. Mathea Bakker menirukan omongan para suster lain dari Kongregasi berbeda yang kebetulan ada dalam satu kapal pelayaran menuju Batavia dari Rotterdam.

Dalam ketidaktahuannya akan banyak hal namun hanya berbekal dengan berkat Tuhan itulah, kelima suster muda OSA itu merintis langkah panjang mereka dengan pasti menjadi misionaris Konggregasi OSA di Ketapang, Kalbar. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here