Dari Suriname, Bermobil Lintas Negara ke Guyana (4)

0
876 views
ilustrasi: Hamparan luas kebun pisang di Distrik Nickerie, Suriname. (YB Nanang Sumaryadi)

WAKTU masih pagi di hari Selasa pukul 5.30, kami beserta rombongan pergi ke Guyana melalui jalur darat. Perjalanan darat dari Paramaribo hingga ke kota perbatasan wilayah Suriname yaitu Nickerie ditempuh selama kurang lebih 3-4 jam. Seperti biasa,  kami melaju dengan kecepatan di atas rata-rata karena mengejar kapal ferry penyeberangan. Suriname dan Guyana hanya dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang bernama Sungai Corantijn. Kapal ferry yang menghubungkan Suriname dan Guyana hanya beroperasi satu kali saja setiap harinya pada pukul 11.00 waktu Suriname, dan dimungkinkan beroperasi dua kali dalam sehari bila jumlah kendaraan yang hendak menyeberang tidak bisa diangkut sekali jalan.

Baca juga:  Beda Miskin di Indonesia dan Suriname (3)

Distrik “Jawa”

Ini rute perjalanan dari Paramaribo. Pertama kali, kami akan melewati Distrik Saramacca. Distrik Saramacca ini memiliki luas kurang lebih 3.500-an km2 dan memiliki populasi kurang lebih 13.000 jiwa. Distrik Saramacca ini beribukota Groningen (Suriname). Distrik Saramacca ini juga banyak dihuni oleh masyarakat etnis Jawa, bahkan nama-nama Jawa dipakai di Distrik Saramacca ini banyak bertebaran di sana. Taruhlah seperti Kampoeng Baroe dan Sidorejo.

Setelah melewati Distrik Saramacca, kami melewati Distrik Coronie. Distrik ini memiliki luas kurang lebih 3.900 km² dan memiliki populasi kurang lebih 3.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Totness. Mayoritas masyarakat di Distrik Coronie ini adalah masyarakat Kreol. Sepanjang jalan di Totness, kami menemukan banyak warung di pinggir jalan. Mereka menjual hasil kebun seperti buah pisang, sawo, manggis, dll di warung-warung tersebut, dan yang paling terkenal dari Distrik Coronie ini adalah madu lebah-nya.

Setelah melewati Distrik Coronie, kami akhirnya sampai ke Distrik Nickerie. Distrik Nickerie memiliki luas kurang lebih 5.300 km2 dan memiliki populasi kurang lebih 41.000 jiwa. Distrik ini beribukota Nieuw Nickerie dan masyarakatnya mayoritas dari etnis Hindustan dan Jawa. Berbeda dengan Distrik Saramacca dan Distrik Coronie, sepanjang jalan di Distrik Nickerie menuju ibukotanya hanya terbentang hamparan padang yang sangat luas. Dan rupanya hamparan padang itu adalah kandang bagi ribuan para sapi yang diternakkan disana. Dan tidak hanya padang sebagai kandang sapi, hamparan padi dan hamparan pohon pisang berhektar-hektar membentang luas disepanjang jalan menuju ke Nieuw Nickerie.

Ini bisa dikatakan bahwa distrik ini sebagai pusatnya lumbung ekspor negara Suriname. Dan yang lebih menarik untuk dilihat adalah seringnya pesawat capung terbang di atas area hamparan padi dan pisang. Kelihatannya pesawat capung itu sedang menebar benih dan pupuk dari udara. Karena bila dilihat dari besarnya kapling-kapling petak, tidak dimungkinkan dilakukan oleh tenaga manusia. Di ujung Distrik inilah ada Pelabuhan South Drain yang akan menjadi penghubung dengan negara tetangga Guyana.

Penulis dengan latar belakang kapal feri di Pelabuhan South Drain, Suriname, untuk menyeberang ke Guyana.

Kapal ferry di Pelabuhan South Drain, Suriname

Di Pelabuhan South Drain, kami tiba kurang lebih pukul 09.00, masih ada waktu dua jam untuk mengurus data diri dan mendaftarkan kendaraan yang akan dibawa ke bagian imigrasi Suriname. Setelah urusan keimigrasian selesai,  untuk menunggu izin kendaraan masuk kapal, kami biasanya masuk ke toko pelabuhan. Di sini terkenal lebih murah dibanding yang dijual di luar pelabuhan karena tidak kena pajak. Syarat pembeli harus menunjukkan paspor dan ada aturannya. Satu paspor hanya diperbolehkan untuk membeli beberapa barang saja. Barang yang dijual dari suvenir seperti lego, boneka, miniatur mobil, pukul tangan hingga minuman keras.

Semua harga menggunakan mata uang dolar amerika.

Pukul 10.30 semua kendaraan mulai diberangkatkan masuk ke kapal ferry. Kurang lebih bisa memuat 30 kendaraan. Kapal ferry pun tidak hanya untuk kendaraan, perorangan pun juga diangkut di kapal yang sama. Kapal ferry memiliki pintu gerbang di ujung-ujung kapal. Posisi parkiran mobil ada di bagian tengah sedangkan untuk sisi kanan dan kiri sudah tersedia bangku-bangku kosong untuk duduk para penumpang serta toilet. Untuk sisi kanan kiri juga ada tangga untuk naik geladak atas. Sebelah kanan atas digunakan untuk kemudi kapal, nahkoda ada di sana, sedangkan di sebelah kiri atas untuk area mesin kapal dan cerobong knalpot ke atas. Selain itu, sisi sebelah kiri juga ada tiang tinggi keatas dan diujungnya ada bendera Suriname dan Guyana.

Perjalanan menyeberang Sungai Corantijn makan waktu sekitar satu jam.

Mendarat di Guyana

Tiba di Pelabuhan Guyana kurang lebih pukul 11.30, karena perbedaan waktu antara Suriname dan Guyana selisih satu jam  lebih cepat Suriname. Kendaraan turun dari kapal ferry dan kami kembali harus mengurus surat-surat di imigrasi Guyana. Setelah semua proses sudah selesai baru kami diizinkan untuk masuk ke  Guyana.

Pemandangan hotel di Guyana. (YB Nanang Sumaryadi)

Binatang peliharaan merajai jalanan

Suasana alam tidak jauh berbeda dengan Suriname. Tetapi kondisi dan posisi rumah di sepanjang jalan yang begitu saling berdekatan menjadi faktor pembeda antara Guyana dan Suriname. Mayoritas penduduk Guyana adalah masyarakat etnis Hindustan dan Kreol. Sehingga corak bangunan lebih banyak ke aliran Hindu walau mayoritas mereka memeluk agama kristen. Keunikan di sepanjang perjalanan ke Georgetown –Ibukota Guyana– adalah kebebasan memelihara ternak seperti sapi, kuda, keledai, kambing dan anjing.

Mereka adalah “raja” jalanan di Guyana. Setiap kami melintas di jalanan menuju Guyana dan bila ada segerombolan binatang berjalan di jalan, kami wajib menyalakan lampu sein darurat dan berjalan pelan-pelan sambil menunggu mereka menepi. Selain itu, di jalanan Guyana batas kecepatan maksimal kendaraan pun diatur. Setiap petunjuk arah selalu disertakan batas maksimal kecepatan dan kecepatan maksimal yang diperbolehkan hanya 80 km/jam dan  tidak boleh dari itu. Beberapa kesempatan kami melihat ada kendaraan yang distop oleh polisi yang bertugas karena melanggar batas maksimal kecepatan.

Keunikan perjalanan menuju ke Georgetown adalah jembatan geser yang menghubungkan antara kota New Amsterdam dan Rosignol. Ketika ada kapal yang akan menyusuri sungai, maka jembatan itu akan berpisah di bagian tengahnya dan bergeser membuka ke samping supaya dapat dilewati kapal yang akan melintas. Otomatis kendaraan yang akan melalui jembatan itu diberhentikan sementara waktu hingga jembatan ‘tersambung’ kembali.

Perjalanan dari pelabuhan hingga ke Georgetown Ibukota Guyana kurang lebih memakan waktu tiga jam. Ketika akan memasuki Georgetown,  kami sudah disambut dengan pemandangan dam pinggir pantai Samudera Atlantik. Karena secara geografis, kota Georgetown berada di pesisir Samudera Atlantik. Georgetown tidak jauh berbeda dengan Paramaribo, hanya perbedaannya  di sana banyak angkutan kendaraan umum. Itu karena mayoritas masyarakat Georgetown lebih banyak menggunakan fasilitas umum daripada kendaraan pribadi.

PS: Artikel sama oleh penulis sama ini pernah muncul di Harian Bernas tanggal 20 Mei 2016.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here