Di Hadapan Allah, Semua Orang Hidup

0
454 views
Ilustrasi: Menangisi kematian orang terdekat. (Ist)

Puncta 06.11.22
Minggu Biasa XXXII
2Makabe 7:1-2.9-14; 2Tes 2:16-3:5; Lukas 20: 27.34-38

UMUMNYA manusia modern sekarang ini sering melupakan kehidupan rohani. Ada distingsi tajam antara rohani dan duniawi.

Kehidupan agama banyak ditinggalkan karena dianggap irasional. Manusia modern lebih mengutamakan rasio, akal budi dan pikiran bebas. Manusia adalah pusat segala-galanya.

Secara kolektif manusia modern mengalami keterasingan jiwa sehingga rasionalitas mengalahkan spiritualitas.

Mereka tak membutuhkan kehidupan rohani yang dianggap bertentangan dengan rasio akal sehat.

Teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan menempatkan manusia di atas segalanya. Manusia menjadi pusat segalanya, bukan lagi Tuhan yang menguasai alam semesta.

Manusia modern mengesampingkan hal-hal yang tidak masuk akal, di luar nalar pikiran rasional.

Padahal manusia bukan hanya terdiri dari fisik yang material saja, tetapi ada jiwa dan roh yang tak bisa dipisahkan. Membuang hal-hal yang bersifat rohani hanya menghasilkan kekosongan dan keterbelahan jiwa.

Pertanyaan orang Saduki yang tidak mengakui adanya kebangkitan nampaknya karena mereka hanya percaya pada hal-hal yang bersifat duniawi, yang hanya bisa ditangkap panca indra fisik belaka.

Mereka berpikir secara duniawi sehingga segala hal hanya diterima secara manusiawi semata. Semua dipikirkan dengan kacamata duniawi saja.

Kehidupan surga juga dibandingkan seperti kita hidup di dunia. Kehidupan setalah kematian diredusir sampai pada soal kawin dan dikawinkan.

Bahkan dipersempit lagi hanya soal kenikmatan syahwat. Di surga nanti kita akan dilayani 72 bidadari yang cantik molek setiap hari.

Apa orang yang ngomong itu pernah ketemu dengan bidadari-bidadari di sana?

Yesus menjawab problematika ini dengan menunjukkan identitas kita yang baru yakni sebagai anak-anak Allah.

Kehidupan sebagai anak-anak Allah adalah kehidupan sempurna yang tidak terikat pada hal-hal material duniawi.

Yesus mengatakan, “Mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan.”

Menjadi anak-anak Allah itulah kehidupan asali kita yang sesungguhnya. “Sangkan paraning sadhengah titah” atau asal dan tujuan seluruh makhluk adalah bersatu dengan Allah, menjadi anak-anak Allah.

Inilah sisi spiritual yang tidak boleh dipisahkan dari akal pikiran manusia.

Hidup ini tidak hanya segala urusan duniawi semata, ada sisi lain yang harus menjadi fokus yakni hidup menjadi anak-anak Allah.

Kita diajak oleh Yesus untuk berpikir sebagaimana Dia menyatu dengan Allah. Berpikir bagaimana Allah memikirkan keselamatan kita. Allah ingin agar kita kembali pada “sangkan paraning dumadi.”

Hidup bahagia sebagai anak-anak Allah. Sebab di hadapan Allah semua orang hidup.

Berjalan-jalan di atas pematang sawah,
Sambil berjemur di teriknya matahari.
Mari kita hidup sebagai anak-anak Allah,
Tandanya ialah jika kita saling mengasihi.

Cawas, Kita adalah anak-anak Allah…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here