Dia Pu Otak Sudah Rusak!

0
1,146 views

Di bawah dedaunan kersen, pada suatu minggu yang terik, di saat-saat kami mengobrol, nama itu muncul. Peuki. Lalu, aku menyimak cerita pedih tentangmu. Angin serasa berhenti bertiup saat itu. Daun-daun pun tidak bergoyang. Hanya deru suara motor di kejauhan, yang mirip lolongan anjing pada malam buta. Aku tidak tahu, apakah sesungguhnya alam sedang menyatakan dukanya.

Dengan bersandar pada batang pohon kersen, ia berkisah, “Saya kenal nama itu. Peuki. Dulu dia turun ke kota. Tinggal di sini.” Ia masih tampak berapi-api. Tapi, lalu redup. “Dia dapat malaria otak dan tidak bisa lanjut sekolah. Baru, dia naik lagi ke kampung. Terakhir saya dengar dia masih ada.”

“Apakah dia sudah sehat?”

“Tidak bisa. Dia pu otak sudah rusak kena malaria.”

Di telingaku, ungakapan ‘otak sudah rusak’ terdengar kasar tapi apa adanya, tidak eufemistis. Aku tercenung. Aku diam. Tapi, di dalam hatiku terbit kemarahan dan kegetiran sekaligus. Entah kepada siapa aku marah.

“Kalau dia masih sekolah, mungkin sekarang baru kuliah.” Ia tercekat dan tidak lagi hendak meneruskan ceritanya. Kepalanya tertunduk. Matanya menghujam pada tanah yang kering, yang ia basahi dengan air mata.

Di atas kami bernyanyi sepasang burung, sambil menyantap kersen yang masak, dan meloncat riang dari ranting ke ranting. Di bawahnya adalah kami: dua orang muda yang sama-sama sudah terikat-kontrak dengan malaria.Kami mengerti, bahwa kisah tragis Peuki mungkin menjadi kisah kami.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here