Home BERITA Dialog Kebangsaan: Konfrontasi vs Kolaborasi

Dialog Kebangsaan: Konfrontasi vs Kolaborasi

0
16 views
Ilustrasi - Pemimpin lurus. (Ist)

DI ruang kerjanya yang penuh buku klasik dan militer, Kolonel Sudirman menerima Kapten Hartono dan Kapten Handiman.

Kapten Hartono: Kolonel, menurut saya, unjuk rasa buruh ini harus dihadapi dengan kekuatan penuh. Titik-titik rawan diamankan, siapa melanggar hukum harus ditindak tegas. Kalau tidak, negara terlihat lemah.

Kapten Handiman: Saya tak sepakat sepenuhnya, Kapten Hartono. Kalau kita datang dengan pasukan penuh, buruh akan merasa diprovokasi. Mereka menuntut karena merasa tidak didengar. Saya usul kita utamakan jalur komunikasi.

Keduanya menatap Kolonel Sudirman, menunggu arahan.

Kolonel Sudirman, tersenyum: Bagus, kalian berdua punya niat baik. Kamu Kapten Hartono menekankan stabilitas, dan kamu Kapten Handiman menekankan dialog. Keduanya penting. Tetapi, pemimpin sejati bukan melulu panglima perang, melainkan mediator yang adil.

Kapten Hartono: Siap. Mediator? Bukankah kita mewakili negara yang harus menunjukkan wibawa?

Kolonel Sudirman: Wibawa negara tidak ditopang oleh ketakutan, tapi oleh keadilan. Dengar ini: 以和为贵  Yǐ hé wéi guì. Harmoni itu paling berharga. Tugas kita bukan hanya membubarkan kerumunan, tapi menciptakan kondisi yang harmonis.

Kapten Handiman: Bagaimana jika salah satu pihak keras kepala, misalnya perusahaan menolak berunding?

Kolonel Sudirman: Ingat akan hal  ini: “Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya…” Prinsip utamanya adalah islah (perdamaian). Jika ada pihak yang zalim, tindakan tegas boleh dilakukan – tapi tujuannya bukan menghancurkan, melainkan mengembalikan mereka ke jalur dialog. Jadi, tindakan tegas itu hanyalah jembatan menuju rekonsiliasi.

Kapten Hartono, mengangguk: Jadi, ketegasan tetap penting, tapi sebagai sarana, bukan tujuan?

Kolonel Sudirman: Tepat. Ingat “Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara.” Tugas kita bukan hanya meredam angkara, tapi membangun kesejahteraan dunia. Itulah visi seorang pemimpin sejati.

Kapten Handiman: Visi itu membuat tugas kita terasa mulia, Pak.

Kolonel Sudirman: Benar, Handiman. Injil Matius 5:9 menegaskan: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Damai itu bukan pasif, tapi aktif: menjadi peacemaker. Itulah identitas seorang pemimpin sejati.

Kolonel Sudirman, menatap keduanya penuh keyakinan: Jadi strategi kita:

  • Jadikan harmoni sebagai tujuan akhir.
  • Buka dialog partisipatif dengan buruh dan manajemen.
  • Jika ada pihak yang zalim, ambil tindakan tegas yang proporsional, hanya untuk mengembalikan proses ke jalur damai.
  • Pegang visi besar: Memayu hayuning bawana dan panggilan sebagai peacemaker.

Kapten Hartono: Siap. Saya mengerti sekarang. Tugas saya menciptakan ruang aman agar dialog bisa berjalan.

Kapten Handiman: Dan saya akan memastikan dialog itu substantif dan adil. Kita bisa kolaborasi, Kapten.

Kolonel Sudirman: Bagus. Itulah kepemimpinan amanah: mengubah konfrontasi menjadi kolaborasi.”

Kedua kapten itu berdiri, memberi hormat dengan semangat baru.

Referensi:

  • Holy Bible, New International Version. (2011). Matthew 5:9. Biblica, Inc.
  • Zhang, D. (2002). Key Concepts in Chinese Philosophy. Yale University Press. (Untuk pepatah 以和为贵).
  • Magnis-Suseno, F. (1999). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT Gramedia. (Untuk falsafah “Memayu hayuning bawana”).

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here