Home BERITA Dialog Keberagaman Meretas di STKOM Yos Sudarso Purwokerto

Dialog Keberagaman Meretas di STKOM Yos Sudarso Purwokerto

0

KAMPUS tak selamanya identik dengan kegiatan perkuliahan. Di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STKOM) Yos Sudarso di Keuskupan Purwokerto beberapa waktu lalu malah digagas sebuah seminar terbuka untuk meretas tumbuhkan semangat dialog antarumat beragama. Datang ke kampus yang dikelola Keuskupan Purwokerto ini sedikitnya 100-an mahasiswa lintas agama untuk berbincang-bincang dengan narasumber tentang ide-ide besar mengenai nasionalisme, spiritualisme, dan kerukunan.

Selasa, 5 Juli 2011 lalu Kampus STKOM menjadi hari istimewa bagi segenap sivitas akademika, ketika hadir dua narasumber yakni Prof. Rubianto Misman dan H. Ahmad Tohari. Kegiatan seminar terbuka untuk memperbincangkan ide-ide besar tentang nasionalisme, spiritualisme, dan kerukunan ini digagas bersama STKOM Yos Sudarso bekerja sama dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas.

Prof. Rubianto Misman dan Ahmad Tohari
Nah, siapa tidak tahu Prof. Rubianto Misman dan H. Ahmad Tohari. Keduanya adalah nama besar di Purwokerto dan sekitarnya. Prof.Rubianto adalah guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang beberapa tahun lalu menjabat rektor di universitas ini. Sementara, H. Ahmad Tohari sudah menjadi ikon besar di panggung sastra Indonesia dengan tetraloginya Ronggeng Dukuh Paruk.

Nasionalisme, demikian kata Prof. Rubianto dalam paparannya, adalah isu sangat penting di Indonesia. Berasal dari kata nation yang artinya bangsa, lanjutnya, nasionalisme lebih mengacu pada ikatan jiwa di antara sekumpulan orang untuk bersatu karena ada unsur kesamaan di masa lalu dan punya kesamaan cita-cita dan tujuan bersama. “Bukan merupakan kumpulan manusia akibat kesamaan fisik semata,” tandasnya.

Hanya saja, tambah dia, semangat nasionalisme tak jarang hanya mencuat hanya pada saat-saat tertentu. Prof. Rubianto lalu mencontohkan bagaimana nasionalisme tiba-tiba menyeruak menjadi semangat bersama ketika ada tim sepakbola nasional bertanding, saat reog, tari pendet, angklung, atau isu batik yang diklaim Malaysia sebagai miliknya. “Ibarat sebuah gong, saat dipukul awal gaungnya cukup keras tetapi lambat laun akan melemah dan menghilang sayup-sayup ditelan angin,” ujar mantan Rektor Universitas Jenderal Sudirman tersebut.

Nasionalisme menurut Prof Rubiyanto juga bisa diparalelkan dengan spiritualisme. “Nasionalisme berbasis spiritualisme harus diawali dengan kemauannya untuk segera melakukan revolusi spiritual. Revolusi spiritual adalah revolusi dilandasi spirit kembali ke nilai-nilai adiluhung budaya asli Indonesia,” katanya.

Bernegara dan beragama
Sementara itu Ahmad Tohari menekankan bahwa semestinya orang yang beragama juga bernegara sekaligus. “Dalam satu tarikan nafas,” katanya.

Novelis Ronggeng Dukuh Paruk tersebut mendorong para mahasiswa belajar beragama dengan ruk tersebut mendorong para mahasiswa belajar beragama dengan tulus. “Kalau ada orang berpindah agama, biar saja. Itu hak pribadi dia. Tidak perlu dirayakan. Itu cara beragama yang kuno banget,” tandasnya menyapa ratusan mahasiswa lintas agama dari sejumlah perguruan tinggi di Banyumas dan Purwokerto.

Kegiatan seminar terbuka tentang nasionalisme, spiritualisme, dan kerukunan itu menjadi program penting FKUB Banyumas dalam rangka pembinaan generasi muda. Menurut Ketua FKUB Dr Mohamad Roqib, kalau anak-anak muda ini beres dalam kerukunan umat beragama, maka ke depannya takkan muncul persoalan sektarian. “Kita prihatin menyaksikan banyak anak muda diajak melakukan kekerasan untuk menyelesaikan konflik,” katanya.

Robert Sutriyono, penggagas Komunitas Pena di Keuskupan Purwokerto.

Photo credit: Panitia

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version