
SELEBRASI kelulusan siswa kelas IX SMP Aloysius Turi, Senin 2 Juni 2025 awal pekan pagi lalu dilakukan dengan cara berbeda.
Saat Kepala Sekolah Agnes Natalia Endry Krisnawardani membacakan surat keputusan, membimbing siswa membuka amplop yang sudah dibagikan, dan menyatakan, “100% siswa dinyatakan lulus,” tidak ada gegap-gempita berlebihan menyambutnya.
Siswa langsung tenggelam dalam kehangatan bersama orangtua. Mereka sungkem, orangtua memeluk.
Pak Yanto menyampaikan sambutan mewakili orangtua murid. Ia berkata-kata dengan lugas, “Saya pernah dipanggil guru BK.”
Anaknya, Vito, berulah.
Ini bukan kali pertama Pak Yanto dipanggil ke sekolah. Dua kakak Vito yang juga pernah bersekolah di SMP Aloysius Turi pernah bikin gara-gara. Saat Vito berulah, Pak Yanto tak kaget. Ia menerima bahwa ada kenakalan anaknya. Tak ia tampik itu. “Saya justru bersyukur, sekolah ini memberi perhatian pada anak saya,” ujarnya.

Mengubah kenakalan menjadi tahap pembinaan intensif
Hal anak nakal, baginya, wajar-wajar saja. Itu bagian dari pertumbuhan. “Bapak-Ibu masih ingat, saat pertama masuk sekolah, kita mengantarnya sampai ke dalam. Anak kita masih kecil waktu itu. Tapi lihatlah sekarang, ada anak kita sudah berkumis,” lanjutnya disambut tawa orangtua lainnya.
Anak-anak berubah. Mereka tak lagi anak kecil yang dulu. Mereka kini lebih besar fisiknya. Bagi Pak Yanto, sekolah berperan besar dalam masa pertumbuhan anaknya. Tak hanya bertambah pintar secara akademik, tetapi juga bertambah dewasa secara mental dan sikap.
Menyitir tema pelepasan “Kulepas dengan Kasih untuk Terbang Meraih Mimpi”, Pak Yanto mengapresiasi pendampingan sekolah asuhan Bruder Santo Aloysius (CSA) ini pada anaknya.
“Kasih punya daya ubah luar biasa. Anak saya sekarang lebih jujur. Dia mau cerita kalau ada masalah,” ungkapnya.

Usia melawan
Ini penting. Usia SMP tidaklah mudah, baik bagi anak-anak maupun orangtua. Bagi anak-anak, SMP itu usia melawan. Mereka sedang terdorong untuk melepaskan diri dari dekapan orangtuanya. Sikap ini tak selalu dipahami orangtua. Sulit bagi orangtua berdialog dengan anaknya. Maka, bagi Pak Yanto, anak mau terbuka pada orang tua itu keberkahan luar biasa.
“Kalau tambah ngeyel itu wajar,” tukas Pak Yanto.
Ngeyel ia maknai sebagai sikap berani dan kritis. Bagi Pak Yanto, ini menunjukkan iklim sekolah mengasah anak-anak berani menyatakan pendapat.

Banyak murid kiriman dari Papua
Mama Rose mengamini pernyataan Pak Yanto. Ibu dari Bene ini bersyukur anaknya bisa menamatkan pendidikan di SMP Aloysius Turi, Kabupaten Sleman.
Datang dari Nabire, Papua, ibu yang pernah berkuliah di Yogyakarta ini merasakan perubahan anak perempuannya. Sesuai harapannya, anaknya kini lebih disiplin dalam belajar. “Ia juga kenal lingkungan sekitar sekolah dengan baik,” pujinya.
Bagi Mama Rose, mengenal lingkungan yang berbeda dari lingkungan asalnya itu penting.
Pak Hengki, ayah dari Edwel, pun merasakan hal yang sama. Didukung dengan sistem asrama, Pak Hengki melihat anaknya lebih bisa mengatur waktu.
Datang dari Sorong, Papua Barat, bersama isteri dan anaknya, Pak Hengki menyatakan kebanggaannya akan perubahan-perubahan positif pada anaknya. Menurutnya, sekolah ini berhasil meletakkan dasar-dasar kuat bagi anaknya.

Belajar menghargai keberagaman
Salah satu sikap dasar itu, menurut Mama Rose dan Pak Hengki, adalah pandangan anak tentang keberagaman. Dengan tinggal di asrama, anak-anak secara nyata hidup dalam perbedaan. Beda suku, beda agama, dan beda latar belakang kebudayaan.
Maka, kostum Nusantara yang dikenakan anak-anak saat pelepasan bukan sekadar simbol melainkan wajah nyata keseharian mereka. Siswa sekolah yang terletak di Kapanewon Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini, memang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Selain dari Papua, ada yang datang dari Medan, Jambi, Jakarta, dan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa.
Membaca pernyataan-pernyataan orang tua murid di atas, terasa sekali SMP Aloysius Turi menjaga, menghidupi, dan terus menghidupkan semangat pendiri Kongregasi Bruder CSA, yakni Pater Hellemons OCSO, ketika menetapkan pelayanan Kongregasi ini pada pembentukan karakter orang muda. Secara khusus, pembentukan lewat asrama.

Asrama putera-puteri menjadi kekhasan SMP Aloysius Turi. Asrama dikelola bruder. Tidak semua anak tinggal di asrama. Sebagian tinggal di luar bersama keluarga masing-masing. Namun, semangat asrama terintegrasi dengan pendidikan di sekolah, terutama dalam penanaman nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan kebersamaan.
Maka, menjadi bisa dipahami ketika orangtua mempercayakan pembentukan pribadi anak-anaknya di sekolah ini tidak semata-mata pada keunggulan akademi – yang ini tetap penting mengingat anak-anak perlu bekal intelektual memadai untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Tapi juga memberi perhatian dan tekanan penting pada kekokohan karakter – terutama karena anak-anak perlu bekal yang kuat untuk hidup mereka di dunia yang terus bergerak dan berubah.