Minggu, 6 Juli 2025
Yes.66:10-14c.
Mzm.66:1-3a,4-5,6-7a,16,20.
Gal.6:14-18.
Luk.10:1-12,17-20
PELAYANAN bukan sekadar tugas atau kewajiban rohani yang kita lakukan di dunia ini. Ia adalah suatu panggilan mulia, sebuah perjalanan rohani yang mengarahkan hati dan hidup kita menuju kehadiran Tuhan yang kekal.
Kita diperkaya dengan pemahaman bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki peran dalam pelayanan. Tidak ada yang terlalu kecil, tidak ada yang terlalu sederhana, semua kontribusi memiliki nilai di mata Tuhan.
Dalam kebersamaan pelayanan, kita belajar bahwa Tuhan bekerja bukan hanya melalui satu pribadi, tetapi melalui tubuh Kristus yang utuh. Masing-masing anggota tubuh memiliki fungsi, dan ketika semua berfungsi sesuai dengan panggilannya, maka terjadilah harmoni, kekuatan, dan kesaksian yang hidup.
Pelayanan bersama membentuk kita, menajamkan kasih, menumbuhkan kerendahan hati, dan memperluas pengertian kita tentang arti menjadi saudara dalam Kristus.
Namun, kita juga diingatkan bahwa pelayanan bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan. Jalan yang membentuk, memurnikan, dan mengarahkan kita kepada kehidupan kekal.
Pelayanan di dunia ini adalah bentuk nyata dari pengharapan kita, bahwa suatu hari nanti, kita akan bertemu muka dengan Tuhan yang kita layani dengan segenap hati.
Maka, saat kita melayani, layani dengan sukacita, dengan iman, dan dengan orientasi kekekalan.
Biarlah segala kerja keras, kerendahan hati, pengorbanan, dan kasih yang kita curahkan bukan hanya menjadi kesaksian bagi sesama, tetapi juga menjadi persembahan yang harum di hadapan Tuhan.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu ‘Damai sejahtera bagi rumah ini’. Dan jika di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal padanya; tetapi jika tidak, salammu akan kembali kepadamu.”
Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya, dan kepada kita semua, bahwa setiap kehadiran kita di tengah orang lain membawa misi: menghadirkan damai. Bukan sembarang damai, melainkan damai sejahtera dari Allah, damai yang mengalir dari hati yang telah disentuh dan diubahkan oleh kasih Kristus.
Ketika kita masuk ke dalam kehidupan seseorang, entah dalam keluarga, pertemanan, atau perjumpaan sehari-hari, kita diundang untuk lebih dulu mengusahakan damai.
Kita tidak menunggu keadaan kondusif, tidak menunggu orang lain bersikap ramah lebih dahulu. Kita dipanggil menjadi inisiator damai.
Namun damai itu tidak selalu diterima. Terkadang sambutan dingin, kecurigaan, atau bahkan penolakan membuat kita merasa sia-sia.
Tetaapi firman ini memberikan penghiburan: “jika tidak, salammu akan kembali kepadamu.”
Artinya, damai yang kita taburkan tidak akan hilang. Tidak akan terbuang. Ia tetap menjadi berkat, jika bukan bagi orang lain, maka bagi diri kita sendiri.
Kita dingatkan bahwa misi damai bukan hanya perkataan, tetapi sikap hidup. Kita diutus untuk menjadi pribadi yang membawa keteduhan, bukan kegaduhan; penghiburan, bukan perpecahan.
Kita membawa damai bukan hanya dengan bibir, tetapi dengan kasih, kebaikan, kesabaran, dan kesediaan untuk hadir bagi sesama.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku menjadi pribadi yang menyebarkan damai sejahtera, atau justru membawa ketegangan dan perpecahan?