Doa Hening Sadhana – Toleransi

0
320 views
Ilustrasi: Para pemimpin Klaten bersatu dalam semangat menjaga kebhinekaan Indonesia. (Laurentius Sukamta)

PENGANTAR

Dalam hidup bermasyarakat di negeri ini, kita jumpai diversitas, kebhinekaan, keanekaragaman suku, agama, adat kebiasaan, dan keyakinan.

Untuk bisa berdamai dalam situasi demikian, diperlukan suatu sikap keterbukaan, yang disebut toleransi yang juga merupakan suatu pertanda kesehatan mental.

Tanpa toleransi, kita akan mudah mengalami ketegangan paling sedikit dalam batin, atau bahkan mudah tersitegang dan berseteru dalam kehidupan bersama.

Permohonan khusus

Bapa, mahapengasih, kami anak–anak-Mu, memuji dan berterimakasih atas perlindungan dan pemeliharaan yang selalu Kau berikan.

Dalam sesi doa kali ini, kami mohon utuslah Roh Kudus, Roh Kebijaksanaan, agar membantu kami menjadi saksi-saksi kerukunan dan cinta kasih yang benar.

Demi Kristus Tuhan dan Penyelamat kami. Amin

Butir-butir renungan

Untuk lebih memahami nilai toleransi sebagai suatu pertanda kesehatan mental akan kita amati dalam sesi virtual:

  1. Diversitas dan ambiguitas hidup.
  2. Tuhan Yesus menghargai ambiguitas.
  3. Sekedar refleksi / penyadaran.
  4. Diversitas dan ambiguitas hidup.

Istilah yang asing ini, saya coba terangkan dengan suatu pengalaman berikut

  1. Pernah saya menerima surat dari seorang ibu yang sebelumnya belum pernah ketermu. Dari isi dan gaya bahasanya, saya kira dia masih muda. Saya kutip awal dan akhir surat itu. Surat itu berbunyi: Pastor, to the point ya, saya seorang yang outspoken, blak-blakan. Bahasa sopan yang wishy washy saya tidak biasa. Yang hitam saya katakan hitam. Yang bodoh saya katakana bodoh.
  2. Saya mau seperti Yesus yang menegaskan di suatu tempat: ”Kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak.
  3. Yang lain dari setan.” Setelah satu halaman membeberkan masalah surat itu dia tutup dengan pertanyaan,: “Apa pendapat dan nasihat Pastor?”

Dalam jawaban, saya kemukakan tiga hal.

  1. Menurut saya anda sungguh mengesankan sebagai seorang (muda) yang to the point – bicara blak blakan tanpa introduksi dan outspoken – ceplas ceplos mengungkapkan isi hati dan pikiran.
  2. Anda memiliki sikap white and black ini ada risikonya. Anda bisa kerap keliru, karena tanpa sadar memblokir pencarian kebenaran. Realitas lazimnya tidak black atau white, melainkan abu–abu.
  3. Tuhan Yesus memang pernah berkata demikian dalam Mat 5:37. Tetapi hati-Nya sangat terbuka dan Dia penuh toleransi.
Ilustrasi: (Laurentius Sukamta)
  • Ada seorang filsuf yang berkata: ”85% persen dari hidup ini ambiguous; tidak tajam perbedaannya. 
  • Kiranya betul yang ia maksud: Much in life is ambiguous. Tidak ada yang 100% baik atau 100% jahat.
  • Tidak ada perbuatan yang melulu keliru atau melulu benar. Baik dan jahat, benar dan keliru sering begitu dekat tidak saling menolak atau mengucilkan.

Berhadapan akan kenyataan ambiguitas ini, orang perlu punya toleransi.

Melannie Svoboda melihat konsekuensi praktisnya:

  1. Orang tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan, dengan kata lain, “Slow to judge people and situation”.
  2. Orang bisa hidup tanpa ketegangan karena menerima dan menghargai keanekaragaman.
  3. Orang jadi sabar terhadap masalah-masalah dalam hati sendiri yang belum atau tidak ada penyelesaiannya.

Arti literal

Kamus ada yang memberi keterangan untuk tolerance sebagai “the capacity for, or practice of allowing or respecting the nature, believes or behavior of others.”

Toleransi adalah kemampuan untuk hidup berdamai di tengah situasi yang tidak ideal.

Ambiguitas adalah kenyataan hidup sehari-hari.

Anthony de Mello dalam buku Sumber Air Hidup menulis: “Certainty is the sin of bigots, terrorist and Pharisees (Kepastian adalah dosa para fanatikus teroris dan Farisi).”

Seorang lain menambahkan: ”Fanatisme adalah kompensasi berlebihan dari keraguan.”

Kalau hidup ini bukan hitam, bukan putih, maka bisa disebut abu-abu. 

Itulah ambiguous. Dalam masyarakat bebas, orang boleh berbeda pendapat. Tetapi mungkin orang bisa berbeda pendapat secara terhormat.

Bagaimana caranya?

Pertama, dengan mendengarkan dengan penuh perhatian pendapat orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendapat kita dan berusaha memahaminya sebaik mungkin.

Kedua, mencoba memahami latar belakang mengapa ia punya pendapat demikian.

Ketiga, apakah faham atau pendapatnya yang berbeda dengan pendapatku sebetulnya. Atau malah mungkin dapat meluruskan atau melengkapi faham atau pendapatku?

Kalau aku sudah mendengarkan sedemikian tadi, aku masih tetap bisa berbeda pendapat dengan orang lain tadi.

Kemudian aku bisa memutuskan untuk tetap mengungkapkan pendapatku atau tidak.

Kalau keputusanku untuk diam, baiklah diam menyimpan pendapat itu, paling sedikit aku sudah makin yakin atas pendapat atau kepercayaanku tanpa menutup fikiran.

Sebuah peribahasa Tibet berkata: ”Pikiran itu ibarat payung, berfungsi kalau terbuka.”

Tuhan Yesus menghargai toleransi

Sikap Yesus yang memahami, menerima bahkan meghargai ambiguitas sangat jelas dalam beberapa perumpamaan yang Ia utarakan dan dalam tanggapan-Nya terhadap aneka macam pribadi atau kelompok yang Ia jumpai.

  1. Lukas 13:6-9: Ia sabar memberi keleluasaan

Perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah. Pemilik pohon ini sudah menanti buahnya selama tiga tahun, tetapi sia-sia saja. Ia mau menebangnya, tetapi pengurus kebun itu meminta waktu setahun lagi. Ia mau mencangkul tanah di sekelilingnya dan memupuknya.

Kalau usaha ini percuma juga, biarlah pohon itu ditebang. Pengurus kebun itu adalah Yesus yang memberi kesempatan leluasa dengan segala kesabaranNya bagi pohon ara. Pohon ara itu adalah manusia, termasuk kita.

  • Mat 13:24-30: Perumpamaan tentang lalang di antara gandum

Pemilik ladang yang luas menaburkan benih gandum, lalu pergi. Musuhnya datang dan menaburkan benih lalang di antara gandum, keduanya tumbuh bersama. Para hamba yang menyaksikan hal itu punya usul untuk mencabut lalang.

Pemilik ladang melarangnya, “Jangan, sebab mungkin gandum itu akan ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai” (Ayat 29-30).

Pesannya sama: ”Sabarlah.” Di sini ada pesan tambahan, ialah tentang discerment, pemilahan. Tuhan Allah mencintai dunia dan manusia. Tetapi racun dosa meresap kemana saja.

Korupsi terdapat tak hanya di tengah masyarakt, juga dalam karya amal dan karitatif, bahkan dalam pelayanan sakramental sekalipun.

Kita diundang untuk ikut mewaspadai kejahatan dan bergulat melawannya, tetapi dengan sabar dan optimisme juga, karena akhir akan bahagia dalam Tuhan.

Yoh 3:1-21 & Luk 19:1-10: Yesus melihat keunikan masing–masing pribadi dan menanggapinya secara kreatif.

Nikodemus datang kepada Yesus tengah malam. Ia seorang Farisi dan pemimpin agama Yahudi, maka mungkin dia kurang enak berbicara dengan Yesus, guru yang kontroversial ini, disegani; tetapi juga dilawan banyak pemimpin agama Yahudi (Yoh 3:1-21). Yesus menerima dan menanggapi Nikodemus dengan penuh perhatian.

Zakheus, pemungut pajak yang sangat kaya ini ingin melihat Yesus dan menemukan cara aneh dengan memanjat pohon ara di pinggir jalan yang akan dilewati Yesus.

Yesus ambil inisiatif menyapa dan mampir di rumahnya, kendati orang orang Yahudi mengkritikNya (Luk19:1-10) Yesus bertindak sangat khas terhadap Zakeus yang unik ini.

Dalam mewartakan Injil Kerajaan Allah, Yesus juga menyesuaikan caranya dengan kelompok atau pribadi yang Ia hadapi. Kepada para petani, Ia memakai burung dan bunga bakung sebagai alat peraga (Mat 6:25-34).

Kepada para pembangun, Ia berbicara tentang iman dengan batu dan pasir sebagai inspirasi (Mat 7:24-27). Kepada para Ahli Taurat, Ia mengajar dengan mata uang sebagai alat peraga (Mat 22:15-22).

Sekedar refleksi untuk penyadaran

  1. Diversitas dan ambiguitas sebagai anugerah.
  2. Apakah kita punya toleransi terhadap diversitas atau keanekaragaman? Apakah kita menerima keaneka-ragaman sebagai rahmat atau anugerah yang pantas disyukuri?
  3. Belum lama saya melihat sebuah pameran bunga anggrek. Ada lebih dari 42 macam, baik nuansa warna dan bentuknya, mempesonakan.
  4. Saya jadi merenung. Kalau bunga anggrek sudah begitu banyak variannya, sudah barang tentu spesies lain juga begitu – termasuk Homo Sapiens – manusia.
  5. Kita manusia berbeda satu sama lain sehubungan dengan sosok tubuh, warna kulit, tampang wajah, dst. Kita juga berbeda secara mental, emosional, psikis dan spiritual.
  6. Hidup yang sehat menantang kita untuk paling sedikit bersikap toleran, artinya tak melihat perbedaan–perbedaan tersebut sebagai ancaman, tetap sebagai anugerah, cermin keindahan dan kreativitas Allah Sang Pencipta.
  7. Rasul Paulus menulis: ”Ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Ada berbagai–bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang.“ (1Kor 12:4-6)

Pertanyaan untuk penyadaran

Pernahkah anda menjumpai atau mengalami peristiwa yang ‘ambiguous’ dalam hidup akhir-akhir ini?

Apa itu?

Bagaimana anda menanggapinya?

Apa yang membantu anda sehingga dapat menanggapinya dengan sabar dan “open minded?

Sebutkan beberapa keanekaragaman, entah yang terdapat di alam ini, entah yang anda jumpai di antara teman-teman, khususnya yang anda hargai atau nikmati?

Pernahkah orang meragukan pilihan atau kebijaksanaan anda di satu pihak, tetapi memberi kesempatan atau keleluasaan kepada anda untuk mencoba di lain pihak?

Bagaimana ceritanya? Bagaimana perasaan anda saat itu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here