Empati untuk Kaum Difabel, Kita Teman Seperjalanan

0
135 views
Pasien disabilitas dalam misa vigili Paskah di Lourdes - Mathias Hariyadi

DI tengah kecemasan hidup, kita membutuhkan seorang sahabat yang bisa berjalan bersama, mendengarkan keluh kesah dan membantu mencari solusi di tengah persoalan hidup kita. Yesus sendiri adalah sahabat bagi para murid-Nya. 

Yesus seorang sahabat yang senantiasa hadir.

Dalam kisah dua murid yang berjalan ke Emaus setelah kematian Sang Guru, Yesus menempatkan diri sebagai sahabat seperjalanan yang justru tidak disadari oleh kedua murid itu. Mereka berjalan terus tanpa mengenal Yesus, namun Yesus mengenal dan tahu persoalan yang sedang mereka hadapi. Dan Yesus memberikan pencerahan kepada mereka.

Yesus sebelumnya pernah mengajarkan kepada para rasul arti seorang sahabat sejati, yaitu dia yang rela mengorbankan diri demi sahabat-sahabatnya. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13). 

Sahabat adalah teman sehati, seperasaan dan sepenanggungan – saat senang maupun susah. Seperti kata Santo Paulus: “Bersukacitalah dengan orang yang bersuka cita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Rm.12:15)

Persahabatan ada dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang sulit mendapat ataupun menjadi sahabat bila ia memutus relasi dengan orang lain; bila ia lebih sibuk dengan dirinya sendiri.

Jangkauan persahabatan bagi umat Katolik tentunya inklusif – tidak terbatas latar belakang budayanya, juga tidak membatasi kondisi kesehatan fisik dan mental tertentu. Termasuk juga sahabat difabilitas.

Kita Teman Seperjalanan

Gereja sangat menaruh kepedulian terhadap kelompok difabilitas atau Umat Berkebutuhan Khusus (UBK). Mereka adalah yang memiliki kekhususan seperti autis, down syndrome, atau fungsi-fungsi dasar panca indera mereka tidak sempurna: buta, bisu, tuli, lumpuh, dan seterusnya.

Meningkatkan empati terhadap umat berkebutuhan khusus di Gereja Katolik merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua umat. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan empati dan kepedulian terhadap umat berkebutuhan khusus. Karena mereka adalah teman seperjalanan kita.

  • Pendidikan dan Kesadaran

Gereja bisa menyelenggarakan seminar, lokakarya, atau sesi pendidikan untuk jemaat tentang kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh individu berkebutuhan khusus. Pengetahuan yang lebih baik akan membantu umat untuk memahami perspektif mereka dan membangun empati.

  • Pelatihan untuk Pelayan Gereja

Memberikan pelatihan khusus kepada para pelayan Gereja, seperti pastor, diakon, dan petugas misa, agar mereka lebih peka dan mampu berinteraksi dengan umat berkebutuhan khusus.

  • Fasilitas Aksesibilitas 

Gereja harus memastikan bahwa semua fasilitas fisik, seperti pintu masuk, tempat duduk, dan toilet, dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang menggunakan kursi roda. Ini menunjukkan bahwa Gereja menghargai dan peduli terhadap kebutuhan semua anggotanya.

  • Liturgi yang Inklusif

Menyusun liturgi yang inklusif dengan mempertimbangkan kehadiran umat berkebutuhan khusus, misalnya dengan menyediakan teks liturgi dalam format braille, penerjemah bahasa isyarat selama misa, atau tempat duduk khusus bagi mereka yang membutuhkan.

  • Komunitas Pendukung

Membentuk kelompok pendukung atau komunitas kecil dalam Gereja yang secara khusus bertujuan untuk mendampingi dan memberikan dukungan kepada keluarga yang memiliki anggota berkebutuhan khusus. Kelompok ini dapat berbagi pengalaman dan saling menguatkan.

  • Mengundang Partisipasi Aktif

Mendorong umat berkebutuhan khusus untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan Gereja, misalnya menjadi bagian dari koor, kelompok doa, atau relawan. Ini memberi mereka kesempatan untuk merasa dihargai dan diakui dalam komunitas.

  • Dialog Terbuka

Mengadakan dialog terbuka di mana umat berkebutuhan khusus dan keluarganya dapat berbicara tentang kebutuhan, tantangan, dan harapan mereka. Ini memungkinkan Gereja untuk mendengarkan langsung dan mencari solusi yang relevan.

  • Kolaborasi dengan Organisasi Luar

Bekerja sama dengan organisasi yang berfokus pada pelayanan kepada individu berkebutuhan khusus dapat memberikan wawasan dan sumber daya tambahan untuk Gereja dalam upayanya menciptakan lingkungan yang inklusif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here