Film “Jojo Rabbit”, Mengundang Tawa dan Mengetuk Nurani

0
488 views
Resensi film "Jojo Rabbit" by Ist.

FILM anyar Jojo Rabbit ini masuk kategori film komedi perang. Bercerita tentang tokoh utamanya, Jojo Rabbit, remaja berusia 10 tahun.

Jojo, warga Jerman, hidup pada masa Perang Dunia II. Ia mengidolakan Adolf Hitler. Bahkan bercita-cita ingin menjadi pengawal pribadi Der Fuhrer yang dalam sejarah dikenal telah menjerumuskan Jerman dalam PD II tersebut.

Jojo, yang dididik di sekolah untuk membenci orang Yahudi, mempercayai sepenuh hati segala stigma buruk yang ditanamkan para gurunya.

Yahudi digambarkan sejahat setan dengan tanduk dan ular di ujung lidahnya.

Jojo, berjiwa rabbit dan panther

Film ini dibuka dengan adegan hari pertama Jojo masuk pelatihan Jungvolk, semacam pelatihan calon prajurit muda Hitler.

Begitu semangatnya pagi itu Jojo mengenakan seragam tentaranya. Tetapi ternyata pelatihan tersebut membuatnya dijuluki Rabbit alias kelinci karena dicemooh lemah gara-gara dia tidak mau membunuh seekor kelinci seperti perintah para seniornya.

Julukan Jojo Rabbit pada awalnya menyakiti hatinya. Tetapi ketika dia berdialog dengan sahabat imajinernya – Adolf Hitler versi lugu alias lucu dan dungu – semangatnya bangkit lagi.

Nah, semangat over berkobar itu malah berujung dia cidera kena ledakan granat yang direbut dan dilemparnya, tapi mantul kena pohon.

Ada Yahudi di dinding rumahku

Di saat harus istirahat mendekam di rumah itulah, dia menemukan Elsa, remaja putri Yahudi yang disembunyikan ibunya di ruang rahasia di dinding kamar kakaknya. Elsa ternyata teman kakaknya, Inga, yang sudah meninggal dunia karena sakit.

Di situlah cerita bergulir dengan begitu enak, tapi berkelok alurnya.

Film ini merupakan adaptasi bebas dari buku Caging Skies karya Christine Leunens. Bisa dibilang naskah film ini seakan hanya menceritakan setengah dari isi buku tersebut.

Akhir ceritanya sungguh berbeda.

PD II, bencana kemanusiaan

Cerita ber-setting Perang Dunia II tentu tidak mudah dibuat dengan gaya jenaka. Kepedihan dari bencana buatan manusia ini begitu pekat dan kelam. Tapi sutradara Taika Waititi berhasil menarasikan kegetiran perang dengan kemanusiaan yang mengundang tawa.

Transformasi persepsi keliru Jojo terhadap orang Yahudi digambarkan dengan logis, namun menyentuh perasaan. Kemalangan yang dihadapi anak usia 10 tahun ini tidak diekspos berlebihan.

Kematian-kematian yang menandai setiap perang juga tak ditampakkan dengan gaya horor dan abu-abu.

Film ini menawarkan pandangan bahwa manusia tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang identik homogen dengan kelompoknya.

Orang Jerman ada yang baik pada saat PD II tersebut, seperti ibu Jojo dan tentara pembinanya di pelatihan remaja calon patriot Hitler.

Hati-hati terhadap penanaman benih hoaks

Di film ini juga kita diingatkan bagaimana pencucian otak tega dibuat oleh penguasa bahkan lewat lembaga mulia seperti sekolah.

Benih hoaks yang ditaburkan secara radikal pada anak dan remaja oleh orang yang dianggap panutan menjadi hal yang super bahaya. Ini jauh lebih bahaya dari bencana alam maupun Covid-19.

Karena ini bisa meracuni otak dan hati mereka sampai dewasa. Tidak semua anak beruntung bisa mencerna dan berbalik arah seperti Jojo Rabbit.

Film ini sangat layak ditonton, hasil sinematologi yang cemerlang dibarengi cerita yang bisa mengundang tawa tapi juga mengetuk nurani. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here