Film Korea “Parasite”, Ketika Kaya dan Hidup Makmur Menjadi Impian Utopis

0
1,716 views
Film Korea "Parasite" yang memenangkan Palme d'Or di Festival Film Cannes 2019. (Ist)

HIDUP makmur dengan kekayaan berlimpah akan selalu menjadi “mimpi indah” bagi banyak orang. Termasuk keluarga Kim di Korea yang boleh dibilang “miskin”.

Orangtua dengan dua anak ini hidup di ruang bawah sebuah apartemen sederhana. Letaknya pun berada di pojok sebuah gang kecil. Di situ pula seorang gelandangan sering kali punya niat “bersembunyi” untuk bisa kencing sembarangan. Tanpa bayar lagi.

Obesi jadi kaya

Mimpi indah itu sekali waktu telah berubah menjadi obsesi. Bukan saja hanya bagi Kim Ki-woo (Choi Woo-shik).

Anak lelaki dalam keluarga Korea ini tiba-tiba saja berhasil menyaru diri sebagai guru les privat. Bukan untuk keluarga biasa. Tapi untuk keluarga muda Korea super kaya bernama Park Dong-ik.

Keluarga Kim yang hidup miskin dalam film “Parasite” (Ist)

Rumahnya sangat mewah. Semua fasilitas rumah tangganya juga serba luks. Namun, keluarga muda Korea ini tampaknya sudah kewalahan dalam mendidik kedua anaknya. Satu remaja puteri, lainnya seorang anak lelaki yang “nakal” dan suka aneh-aneh.

Tampaknya, kedua anak keluarga Park ini telanjur menjadi “orang asing” dalam keluarganya sendiri. Justru karena tersedianya alat-alat modern yang telah membuat mereka menjadi “jauh” satu sama lain. Juga karena dimanja oleh kemewahan keluarga yang selalu menuruti apa maunya anak-anak.

Tapi satu hal di mana keluarga ini tak mampu “melakukan” dan memenuhinya. Yakni, rasa bahagia.

Rekayasa menyaru diri

Kehadiran Kim Ki-woo guru les privat gadungan berlanjut dengan kehadiran Jessica, adik kandungnya. Ia menyaru diri bak seorang terapis. Dan rupanya Jessica berhasil merubah “keadaan” anak lelaki keluarga Park yang dikisahkan sangat menyukai art; termasuk melukis.

Perubahan drastis juga menimpa Park Da-hye (Jeong Ji-so), anak perempuan keluarga Park. Ia malah jatuh cinta dengan guru les privatnya: Kim Ki-woo. Tentu saja, ini terjadi karena Ki-woo sering suka “mendramatisir” situasi.

Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan Kim Ki-woo. Ia “menyelundupkan” Jessica yang tak lain adalah adik kandung perempuannya. Aslinya ia bernama Kim Ki-jeong (Park So-dam). Namun, di keluarga Park ia ganti identitas nama menjadi Jessica. Tentu biar lebih keren dalam kapasitasnya sebagai seorang art therapist.

Berikutnya, “penyelundupan” masuk dalam keluarga Park terjadi pada ayah mereka yakni Kim Ki-taek (Song Kang-ho). Bapak ini berhasil menjadi supir pribadi bagi Ny. Yeon-gyo (Cho Yeo-jeong), isteri Mr. Park.

Yang terakhir, Chung-sook (Chang Hyae-jin) –ibu mereka– juga berhasil mereka “selundupkan” masuk dalam keluarga Park. Ibu bawel ini sukses menjadi chef keluarga kaya Mr. Park.

Sukses ini diraih, setelah ayah-ibu dan anak-beranak ini terlebih dahulu bisa menyingkirkan “pembantu keluarga” kawakan yakni Gook Moon-gwang (Lee Jung-eun).

Keluarga Kim menjadi “parasit” dalam keluarga Kim yang kaya. (Ist)

Menjadi parasit

Cara keluarga Kim ini “masuk” dan berhasil menjadi parasit bagi keluarga Park sangatlah culas. Mereka “meracuni” rumah itu dengan kulit buah persik di mana “pembantu keluarga” itu sangat rentan alergi dengan peach.

Kesan bahwa “pembantu keluarga” itu menderita BC ganas direkaya dengan muntahan sambal.

Singkat cerita, seluruh anggota keluarga Kim kini berhasil “menguasai” seluruh isi rumah tangga Mr. Park: menjadi guru les privat, juru masak, supir, dan terapis. Mereka menjadi parasit bagi keluarga super kaya ini dan kemudian berfoya-foya dengan kekayaan rumah induk semangnya.

Antiklimak kisah keluarga parasit ini terjadi, ketika rumah mewah itu tiba-tiba “diketahui” punya “ruang bawah tanah”. Di tempat inilah mantan “pembantu keluarga” ini tinggal dan menyembunyikan suaminya Geun-sae (Park Myung-hoon) yang mengalami gangguan mental akut.

Rahasia “keluarga” pun terekspose saat pesta ulang tahun Da-hye. Semua jadi saling baku bunuh untuk melenyapkan “bukti forensik” atas drama palsu hidup mereka.

Pesta ulang tahun yang membuka seluruh drama kehidupan keluarga Kim yang menjadi parasit dalam keluarga Park. (Ist)

Série noire

Cinema Perancis mengenal istilah série noire untuk film kategori komedi atau drama yang mempertontonkan suasana hidup serba muram (sombre).

Film Parasite besutan sutradara Bong Joon-ho yang juga bertindak sebaga penulis naskahnya masuk kategori dark comedy. Kita di Indonesia mengenalnya dengan istilah komedi satir.

Parasite memang mempertontonkan kekonyolan hidup manusia yang selalu “bermimpi” kapan bisa hidup bermewah-mewah. Mimpi utopis itu dibangun, sekalipun kualitas hidup macam itu lalu diperoleh dengan cara sangat tidak etis. Keluarga Kim berhasil melakukan “rekayasa” drama kehidupan palsu ini dengan cara menyaru diri layaknya mereka itu kaum “profesional”.

Di ajang festival film internasional, Parasite berhasil memboyong Palm d’Or (Palem Emas), film Korea pertama yang diganjar penghargaan amat bergengsi di Festival Film Cannes bulan Mei 2019.

Parasite juga menjadi film pertama yang berhasil menoreh dukungan bulat 100% dalam proses pengumpulan suara dukungan. Jejaknya mengikusi suskes yang terjadi tahun 2013 untuk film Blue is the Warmest Colour.

Di ajang Academy Award ke-92, Parasite berhasil masuk unggulan dan mendapat enam nominasi untuk kategori Best Picture, Best Director, Best International Feature Film.

Prestasi Parasite ini juga menjadi kisah pertama dari industri perfilman Korea di ajang Festival Oscar.

Sebelumnya, di ajang Golden Globe ke-77, Parasite berhasil mendulang prestasi untuk kategori Best Foreign Language Film, empat nominasi di British Academy Film Awards ke-73. Juga menjad film Korea pertama yang berhasil menyabet Screen Actors Guild Award for Outstanding Performance untuk kategori film asing.

Menarik disimak

Film Parasite ini menarik disimak. Bukan saja karena film produksi Korea ini berhasil menang di pasar global lantaran menyuguhkan komedi satir yang ciamik. Lalu, juga karena melakukan syuting adegan dengan “pendekatan” berbeda sesuai minat para sineas dari kawasan “Timur” (baca: Korea Selatan).

Film ini sungguh mau “menertawakan” kemewahan hidup yang ternyata tidak bisa menjamin tersedianya alam pikir dan hati bahagia. Juga mau mengajak kita bisa menyelami alam pikir kebanyakan orang “miskin” di perkotaan di mana –setidaknya menurut Parasite ini— hidup kaya dengan fasilitas berlimpah itu bak “surga”.

Ternyata, kesan subjektif orang miskin itu tidak semua benar. Lagi-lagi, setidaknya menurut film Parasite ini.

Kata orang Jawa, hidup itu sebenarnya tak lebih dari sawang sinawang (saling pandang) saja.

Orang pikir, saya ini bisa hidup enak dan bahagia karena kaya raya. Nyatanya tidak. Kita pikir “rumput” tetangga itu “lebih hijau”. Ternyata juga tidak.

Flim baru bertitel Parasite agaknya bisa menyadarkan kita. Kadang kala, hidup ini memang penuh “sandiwara” semata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here