PEGUNUNGAN Atlas di Algeria, Afrika Utara, adalah kawasan penuh damai. Delapan rahib pertapa dari Ordo Trappist (OCSO) hidup rukun di tengah masyarakat yang mayoritas beragama non kristiani. Tak hanya kerukunan yang terjadi. Lebih dari itu, semangat kesetiakawanan pun menjadi milik mereka.
Frater Luc (Michael Lonsdale), satu-satunya dokter di permukiman itu, setiap hari selalu sibuk melayani para pasiennya yang mayoritas datang dari penduduk setempat. Ia bekerja tanpa pilih-pilih: semua dilayani dengan tangan terbuka dan penuh kasih. Pun pula, sejumlah warga setempat juga mencari nafkah di kompleks biara, entah sebagai tukang kebun atau staf urusan rumah tangga.
Simbiosis mutualis ini berlangsung dalam suasana saling hormat, saling percaya dan penuh persahabatan. Suasana harmoni ini berlangsung berabad-abad hingga antara para rahib OCSO dan penduduk sekitar biara yang mayoritas non kristiani nyaris tiada friksi apa pun. Sebaliknya, mereka saling mengasihi layaknya sesama warga Algeria, sekalipun kedelapan rahib itu asli keturunan Perancis.
Sektarianisme
Suasana tenang penuh damai di Pegunungan Atlas terkoyak secara tiba-tiba, ketika gerombolan kaum fundamentalis terlibat bentrok dengan militer Algeria. Sejumlah pekerja asing keturunan Kroasia menjadi korban dalam pusaran konflik sektarian ini.
Biara Trappist di Pegunungan Atlas menjadi panggung baru bagi pusaran konflik sektarian bernafaskan fundamentalisme agama ini. Namun, kepiawaian Romo Christian OCSO (Lambert Wilson) –Sang Dom Abdis (pemimpin biara) yang mahir membaca Kitab Suci agama non kristiani dan tahu seluk-beluk agama ini—berhasil meluluhkan kelompok radikal hingga pertumpahan darah berhasil dihindari.
Namun, kedatangan para anggota kelompok radikal yang merangsek masuk ke kompleks biara kemudian melahirkan ketegangan baru di kalangan para rahib Trappist. Di tengah kedamaian mendaras Mazmur dan Kidung Pujian, muncul bersemi kegelisahan yang menyeruak di sanubari para rahib.
Tetap tinggal berdoa-berkarya di Pegunungan Atlas yang kini penuh risiko atau sebaiknya pulang kembali ke Perancis, tanahair mereka. Itulah pertanyaan sekaligus dilema yang kian membebani ke-8 rahib OCSO ini.
Discerment of spirits
Yang terjadi berikutnya sungguh menawan.
Para rahib yang dipimpin oleh Sang Dom Abdis Romo Christian merespon dilema besar itu dalam rentetan doa minta terang Roh Kudus.
Proses deliberasi (mempertimbangkan) lalu bergulir di antara mereka. Sebagian mengatakan tetap ingin tinggal sampai mati di Atlas. Ini sesuai janji kaul mereka menjalani hidup bakti sebagai rahib monastik di Biara Atlas yang terikat pada Kaul Hidup-Mati di situ (stabilitas loci).
Sebagian lagi berpikiran sebaliknya. Sebaiknya semua anggota segera repatriasi ke Perancis, tanahair asal mereka dulu. Pilihan sulit harus diambil agar bisa mengurangi risiko menjadi korban kelompok radikal.
Berkanjang dalam doa menjadi menu mereka setiap kali melakukan deliberasi untuk membuat keputusan-keputusan penting untuk merespon situasi genting itu.
Di tengah kegentingan itu, para rahib OCSO ini tetap membuka tangan dan pintu bagi kawanan kelompok radikal yang mengalami luka tembak dalam penyergapan oleh pasukan pemerintah. Namun, pihak militer merespon negatif niat mulia para rahib dan bahkan menuduh biara menjadi lokasi teroris mencari perlindungan dari kejaran militer.
Lagi-lagi deliberasi untuk mengambil keputusan penting bergulir di Biara Trappist di Atlas. Sebuah proses “pembedaan roh” yang lazim disebut discretio spirituum (discerment of spirits) dalam tradisi kristiani kuno dengan amat-amat indah tersaji dalam film garapan Xavier Beauvois ini.
Korban sektarianisme
Mengambil setting suasana di Pegunungan Atlas di Algeria tahun 1990-an, kehidupan para rahib Perancis di tengah masyarakat non kristiani menjadi santapan jiwa sangat sedap sepanjang 120 menit tayangan film yang meraih penghargaan bergengsi di Festival Film Cannes (2010) ini. Sejumlah media lokal di Perancis menyebutkan, tak kurang dari tiga juta penikmat film berbondong-bondong mendatangi bioskop di seluruh Perancis, sejak film ini bergulir mulai September tahun 2010 lalu.
Untuk kita yang jauh dari “peradaban hening total”, pengalaman menikmati silentium magnum di tengah irama pendarasan Mazmur dan Kidung Pujian beserta litani doa menjadi hiburan tak kalah menyenangkan dibanding nonton adegan dar-der-dor suguhan film thriller action.
Film ini memang berakhir dengan sad ending. Lantaran kepengin mendapatkan suplai obat-obatan, lagi-lagi kelompok radikal mendatangi biara dan kemudian mencuri semua persediaan obat untuk kepentingan mereka. Namun, kali ini mereka melangkah lebih jauh: meringkus para rahib ini dan membawa mereka ke suatu tempat tersembunyi dan kemudian mengkasting mereka sebagai “tameng hidup” dari kejaran militer Algeria.
Nyawa para rahib menjadi bahan tawar-menawar dengan pemerintah Perancis. Kelompok radikal bersedia melepas mereka asalkan sejumlah anggota kelompok radikal yang ditawan Pemerintah Paris juga ikut dibebaskan tanpa syarat. Akhir cerita ini menyedihkan, ketika para rahib digelandang keluar menyusuri kawasan sunyi di tengah hamparan hujan salju.
Sejenak berikutnya muncul keterangan mengharukan. Beberapa rahib ditembak kelompok radikal ini, sementara beberapa lainnya berhasil “melarikan diri” dan seorang lainnya berhasil sembunyi di kolong tempat tidur ketika penggrebekan tengah malam di biara itu terjadi.
Yang menarik tentu saja “konflik” batin yang berkecamuk di hati setiap para rahib ketika proses discretio spiritiuum berlangsung guna memastikan langkah apa yang harus diambil. Begitu keputusan Sang Abdis sudah diambil, maka yang ada hanyalah suara ketaatan yang bulat. Di sinilah prinsip hidup membiara dengan kaul ketaatan tampil gemilang dipertontonkan kepada para penikmat film.
Lihat juga betapa gamangnya Frater Christopher (Olivier Rabourdin) –rahib termuda dalam kelompok rahib di Pegunungan Atlas ini—yang selalu dihantui keraguan dan ketakutan bila sekali waktu harus mati sia-sia menjadi “martir” di Algeria.
Saksikan pula akting luar biasa dari Jacques Herlin yang memerankan rabih sepuh nan rapuh bernama Amédée yang selalu tertatih-tatih dalam berjalan maupun bercakap.
Namun, kepiawaian sutradara Xavier Beauvois justru menjulang tinggi ketika mengkasting Lambert Wilson memerankan diri sebagai Romo Christian, Superior (pemimpin) Komunitas para rahib di Pegunungan Atlas. Dengan wajahnya yang “manis”, berpenampilan santun, Christian tak ubahnya “malaikat” yang berwajah manusia: cerdas, cerdik mengatasi situasi gawat sekaligus penuh per-hati-an bagi yang papa dan renta.
Kepada Frater Luc –rahib dokter yang sepuh dan menderita bronkhitis—Romo Christian dengan tekun membacakan berita koran untuk seniornya. Ketika berhadapan dengan komandan militer yang menginterogasinya atas tuduhan menyembunyikan “teroris” buruan pemerintah, Romo Christian dengan cerdik bermain kata-kata.
Pun pula, ketika harus berhadapan dengan pemimpin kelompok radikal, dengan santunnya dia mengutip kata-kata bijak dari Kitab Suci hingga kekerasan hati menjadi cair.
Bagi saya, film Of Gods and Men ini adalah film super dahsyat.
Tak saja karena dia menyabet penghargaan bergengsi di arena Festival Film Cannes untuk kategori Best Foreign Language Film dan peraih Grand Jury Prize.
Lebih dari itu, film ini bicara dengan sangat jelas tentang pengalaman nyata para rahib katolik mengolah batin dan jiwanya melalui proses discretio spirituum setiap kali menghadapi situasi yang menuntut adanya sebuah keputusan bersama harus cepat diambil.
Peran sang pemimpin komunitas dalam menjalani proses deliberasi ini penting, sebagaimana ditunjukkan Romo Christian dengan ajakan bersembahyang terlebih dahulu sebelum proses penegasan bersama itu dilakukan. Begitu keputusan diambil oleh sang pemimpin biara, maka ketaatan menjadi pedoman hidup berkomunitas.
Sungguh tak ada salahnya, kalau sekali waktu para calon suster, biarawati, frater, dan romo menonton film Of Gods and Men ini. Namun, bukan dalam rangka rekreasi bersama. Of Gods and Men sebaiknya menjadi konsumsi diskusi sekaligus bahan preparasi doa.
Mathias Hariyadi, Pendiri dan Pemimpin Redaksi Sesawi.Net.
- Sutradara: Xavier Beauvois.
- Penulis skrip: Xavier Beauvois, Etienne Comar.
- Direktur sinematografi: Caroline Champetier.
- Pemeran: Lambert Wilson, Michael Lonsdale, Olivier Rabourdin, Philippe Laudenbach, Etienne Comar.
- Produksi: Sony Pictures Classics, tahun 2010.
- Durasi: 120 menit.