Film “Soegija”, Indonesia Muda dalam Perspektif Nasionalisme Gereja Katolik (1)

2
4,315 views

FILM – tulis André Bazin (1918-1958) dalam esainya Qu’est-ce que c’est un cinema? — lahir bukan karena hasil perkembangan teknologi rekam. Melainkan, tegas kritikus film dan pencetus jurnal Cahier du Cinéma  ini— film itu sengaja dibuat, menjadi  ada dan bisa ditonton lebih karena “ambisi” dan pikiran sutradara yang kebelet merekam situasi sosial dengan bantuan gambar, gerak, suara, dan omongan antarmanusia.  Dengan gagasan ini,  Bazin sebenarnya mau mengatakan, nafas sebuah film lebih bermuara pada sang sutradara daripada hal-hal lainnya.

Film Soegija memang mendapat sambutan luar biasa dari para penontonnya. Tak kurang, di ujung pementasan selalu diimbuhi tontonan ekstra berupa tepuk tangan meriah. Animo umat menyaksikan karya seni bidang media film ini sungguh membanggakan. Tiada lain karena tokoh film ini adalah Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Indonesia pribumi pertama yang memangku jabatan sebagai Uskup Danaba di Vikariat Apostolik Semarang (1940-1963).

Sedikit sosok Mgr. Albertus Soegijapranata SJ

Tapi Soegija tidak serta merta bercerita banyak tentang sosok pahlawan nasional dengan sesanti abadinya yang tersohor ini: “100 % Katolik, 100 % Indonesia”.  Melihat sosok Monsinyur Soegijapranata SJ dan kiprahnya menjaga integritas nasionalisme Indonesia di kala usianya masih balita tentu tidak pernah akan lengkap, kalau hanya bermodalkan 2 jam menikmati Soegija di layar lebar.

Soegija –nama kecil Mgr. Albertus Soegijapranata SJ ketika masih frater Jesuit—jelas lebih agung, heroik, dan tentu saja juga lebih hebat daripada sekedar Soegija hasil besutan sutradara Garin Nugroho. Membaca paparan studi ilmiah Romo Dr. Gregorius Budi Subanar SJ dalam tiga buku serial tentang sosok Romo Kandjeng ini, sudah pastilah Soegija dalam bentuk seluloid ini kalah lengkap dibanding apa yang telah dilakukan Romo Kandjeng dalam panggung riil berupa konteks sosial politik Indonesia sebelum dan pasca Kemerdekaan RI.

Nah, film  Soegija pada hemat saya kurang tegas mengambil tema besar dengan lebih memfokuskan diri pada sepak terjang perjuangan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (Nirwan Dewanto) menjaga wibawa nationhood Indonesia yang waktu itu itu hendak dikangkangi oleh Jepang dan kemudian Belanda.

Soegija pada hemat saya justru banyak berkisah tentang romansa seorang perawat nasionalis bernama Mariyem (Anissa Hertami) yang ditaksir berat oleh fotografer Belanda Hendrick van Maurick (Wouter Braaf).  Juga pada sisi lain, kisah terpisahnya Lingling (Andrea Reva) dari pelukan ibunya (Olga Lydia) dan tentu saja nafsu gila komandan tentara Belanda Robert (Wouter Sweers) yang selalu menganalogikan dirinya sebagai mesin perang.

Sekali lagi, mengikuti alur pikir André Bazin di atas, Soegija akhirnya menjadi kurang gagah lantaran terlalu mengikuti “logika” skenario garapan penulis naskah dan alur cerita arahan sang sutradara. Jadi, sebagai penonton saya memang sedikit kecewa karena sosok Mgr. Albertus Soegijapranata nyaris “digilas” habis oleh kisah romansa, deru dan tragedi perang, serta konflik batin manusia yang merobek nurani para pemuda nasionalis, termasuk komandan pasukan bela diri Jepang.

Sekali waktu seorang romo Jesuit yang tahu seluk-beluk proses produksi film Soegija ini secara personal berkisah pada Redaksi Sesawi.Net –katanya—hasil riset mendalam yang dikerjakan Romo Budi Subanar SJ tentang sosok Mgr. Albertus Soegijapranata ternyata kurang banyak muncul dalam sosok Soegija besutan Garin Nugroho.

Namun, sejujurnya saya pun sangat terhibur bisa menikmati film Soegija itu justru karena sejak awal tidak mengambil sikap dalam kerangka pikir ingin mempersepsi tontonan layar lebar itu sebagai sebuah “dokumen sejarah”.

Seakan mengikuti “logika” pasar, maka agar lebih menarik film Soegija pun lalu dikemas dengan sedikit agak kenes dan siapa tahu pasar pun diharapkan juga akan  merespon positif.  Jadi mahfum juga kalau seorang batur plus koster Toegimin (Butet Kertaradjasa) berani nranyak geguyonan (kelewatan bercanda) dalam bertutur kata dengan Romo Kandjeng –hal yang rasanya muskil ada dalam peta sosial waktu itu dimana seorang Uskup terlalu “besar” dan berwibawa untuk umat sekalipun, apalagi di mata seorang pembantu. (Bersambung)

Photo credit: Soegija in Frames (Puskat Pictures)

Artikel terkait: “Soegija”, Cantik Memotret Situasi (2)

2 COMMENTS

  1. Senang sekali membaca Sesawi.Net. Semula saya hanya ingin mencari tahu, apakah Mathias Hariyadi inilah yang pernah menulis buku tentang Gabriel Marcel tentang hubungan antarsesama manusia? Karena teringat pada nama pengarangnya, maka saya mengklik nama itu. Tapi belum tahu persis, apakah Mas Mathias inilah sang penulis buku tersebut? Matur nuwun Mas

  2. Seni tidak perlu dipahami secara literal dan gamblang, sehingga bebas bagi setiap orang menginterpretasikan maknanya.

    Jika didalam sebuah karya seni film seluruh dialognya atau seluruh adegannya terlalu jelas dan gamblang maka itu namanya lebih ke tehnik pembuatan propaganda, untuk mengajari, persis seperti instruksi penggunaan barang untuk konsumen, yang tujuannya mengajari.

    Mengajari tidak butuh interpretasi. Dan sebuah Seni membutuhkan interpretasi, jadi bukan seni kalau isinya mengajari penuh dengan cara gamblang, frontal, langsung dan terlalu literal, itu namanya malah Propaganda.

    Saya kira sutradara melalui film ini bermaksud menyampaikan sebuah pesan Katolik, pesan yang Universal dan bisa semestinya dipahami oleh siapapun, yaitu Kasih.

    Sebagai pengamat film, saya bisa memberikan konfirmasi bahwa yang seringkali menjadi ironis dari pemutaran film sejenis seperti Soegija adalah ketika disaat sutradaranya bermaksud menyampaikan sebuah pesan kemanusian yang Universal, yaitu Kasih, namun seringkali dan masih banyak sekali penonton yang hanya mampu mengingatnya “banyolannya” maupun elemen-elemen lainnya (yang justru kurang begitu penting) selain dari pesan kemanusiaan Universal tadi, Kasih.

    Disinilah letak kebrillianan si sutrada film dan isi pesan Universalnya itu (Kekuatan Kasih). Ironi yang seaya jelaskan diatas tadi telah menunjukkan bahwa banyak diantara kita yang masih kurang mampu menghargai pesan Universal itu, kurang menghargai Kasih, karena terkadang banyak dari kita yang mata hatinya masih dibutakan oleh elemen-elemen lain yang kurang penting didalam hidupini, yang terkadang banyak dari kita itupun masih sering lebih mengagungkan elemen-elemen lain yang tidak penting itu, ketimbang pesan Universal ini: Kasih.

    Banyolan-banyolan butet, cerita latar tokoh lain dan bagaimana cara Msgr. Soegija diceritakan didalam film ini hanyalah kumpulan-kumpulan tipu muslihat, dimana kumpulan-kumpulan tipu muslihat yang seringkali menjauhkan kita daripada pesan Universal utama yang paling penting didalam kemanusiaan dan juga Katolik, yaitu Kasih.

    Apakah Romo-romo di Katolik humanis? Pasti.
    Apakah Soegija adalah seorang humanis? Pasti.
    Apakah seorang yang taat menjalankan ibadat Katolik adalah seorang humanis? Belum tentu. Bisa ya dan bisa tidak.
    Apakah seorang yang pintar itu adalah seorang yang humanis? Belum tentu. Bisa ya dan tidak.

    Tidak butuh orang pintar dan tentu tidak butuh menjadi orang Katolik yang taat menjalankan ibadat sekalipun untuk menangkap sebuah pesan Universal yang ingin disampaikan sutradara didalam film ini, yaitu Kasih.

    Pesan Universal ini, Kasih, sudah selayaknya terlepas bagaimana jalan cerita/plot-nya, gambaran tokoh-tokohnya, akurasi sejarahnya, dialognya, banyolannya dan lain lain. Untuk jalan cerita, gambaran tokoh, akurasi sejarah, dialog, banyolannya dll, menurut saya kita bebas saja menyatakan bagaimanapun interpretasi kita.

    Tapi bagaimana dengan pesan utamanya? Mungkin sah-sah saja anda tidak tergugah dengan pesan utamanya karena hal-hal seperti jalan cerita, gambaran tokohnya, akurasi sejarahnya, dialognya, dan banyolannya; tidak mampu untuk merangsang indera perasa anda sehingga anda menjadi tergugah akan pesan utamanya, Kasih.

    Saya pribadi berpendapat, apabila setelah menonton film ini banyak khalayak yang sudah mampu untuk menangkap isi pesan Universal yang ingin disampaikan didalam film ini, yaitu Kasih, maka merekalah yang sudah sebenarnya akan menikmati film ini secara penuh. Apalagi mereka nanti semakin tergugah untuk menerapkannya didalam kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari mereka.

    Saya pikir, bukanlah tanpa sebab film ini didukung oleh KAJ dan banyak sekali Romo SJ maupun PR. Saya sendiri ragu apakah mereka itu paling concern atau paling fokus didalam film ini dengan yang namanya hal-hal seperti jalan cerita, gambaran tokohnya, akurasi sejarahnya, dialognya, dan banyolannya.

    Sebagai seorang Katolik yang sejati, bukankah keutamaan Kasih adalah yang paling Universal dan Utama?

    Fiat Lux.
    Men and Women for others.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here