Home BERITA Film “Something the Lord Made”, Mati di Tangan Tuhan atau Manusia?

Film “Something the Lord Made”, Mati di Tangan Tuhan atau Manusia?

2
5,919 views
Resensi film "Something the Lord Made" (Ist)

KAMAR operasi dan pisau bedah serta jepitan adalah alat dokter bedah (chirurgien) untuk bisa memperpanjang usia manusia, setelah didera sakit serius hingga perlu dilakukan tindakan pembedahan.

Namun, bagi hirarki Gereja di AS pada era tahun 1930-an seperti yang muncul di film ini, kematian manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan.

Kata seorang pastur dalam film Something the Lord Made yang menakjubkan:

“Tuhan berkuasa penuh atas hidup-matinya manusia”. Kalau tindakan dokter mengoperasi pasien itu gagal, kata sang pastur itu lagi, “maka memang sudah kehendak Tuhan untuk segera mengakhiri jalan hidup manusia itu.”

Teologi kematian

Belajar menjadi ‘dokter bedah’ sekalipun bukan dokter sungguhan, namun menjadi biasa karena terbiasa dan melihat sendiri di kamar operasi. Sisi dilematis inilah yang menjadikan film “Something the Lord Made” ini film bagus. (Ist)

Jadi, teologi kematian yang berkembang di kalangan para imam Gereja Katolik di AS jauh sebelum Konsili Vatikan II pada tahun 1930-an ya seperti itu: Kematian ada sepenuhnya di tangan Tuhan.

Namun, peduli amat konsep ‘konyol’ seperti itu di mata Prof. Dr. Albert Blalock, sang maestro dokter ahli spesialis bedah ternama di Universitas John Hopkins.

Bagi dia, urusan nyawa manusia adalah urusan manusia juga.

Dokter harus berjuang menyelamatkan nyawa manusia selagi hal itu memungkinkan dari perspektif ilmu kedokteran.

Bahwa usaha itu gagal atau malah berhasil, demikian kata Prof. Blalock, itu persoalan lain.

Yang penting bagi setiap dokter –sesuai sumpah Hipokrates yang mereka ucapkan saat pelantikan sebagai tenaga medik profesional—adalah persoalan harus bisa  menyelamatkan nyawa pasien.

Keyakinan profesional dan keteguhan ingin mencari solusi bedah guna menyelamatkan pasien itu dikatakan Prof. Blalock saat menjawab pastur yang memprotes rencananya mau mengoperasi pasien anak.

Ia adalah pasein penderita blue baby syndrome yang tengah dirawat RS John Hopkins University di AS pada era tahun 1930-an.

Rasisme dan Malaise

AS pada tahun 1930-an masih didera oleh praktik rasisme yang sangat tajam. Orang kulit hitam disebut ‘negro’ yang secara sosial politik langsung mempersepsikan mereka sebagai budak.

Mereka tidak punya tempat terhormat di masyarakat.

Ada WC khusus untuk orang-orang kulit putih dan bilik hajat lain khusus untuk kaum negro (kulit hitam).

Mendidik dengan tertib dan disiplin.

Bidang pekerjaan yang cocok bagi kaum hitam adalah rumah tangga sebagai tenaga kebersihan atau malah jongos (orang suruhan).

Maka, cita-cita mendalam Vivien Thomas –seorang tukang kayu—yang ingin menjadi dokter harus kandas, karena praktik rasisme di AS yang sedemikian radikalnya. Belum lagi bencana perekonomian dunia (Malaise) karena resesi pasca Perang Dunia I.

Semua itu menjadi dunia yang tidak menyenangkan bagi Vivien Thomas. Bahkan, ketika harus bekerja sebagai tenaga laboratorium percobaan bedah milik Prof. Dr. Albert Blalock pun, Vivien Thomas harus banyak menelan ludah alias kecewa berat: diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Tangan Tuhan

Tapi Tuhan itu memang perkasa dan adil.

Dia memberi keistimewaan pada Vivien Thomas yang tanpa dinyana-nyana bisa merangkai sistem penjahitan urat nadi manusia pasca operasi bypass jantung.

Itu dia lakukan setelah berkali-kali mengadakan percobaan bersama Prof. Blalock dengan objek operasi: anjing.

Tingkat kesulitannya sangat tinggi.

Kata Prof. Blalock, “Menjahit nadi manusia ibarat harus menyambung spagheti yang dimasak terlalu matang, namun jangan sampai sambungan itu putus.”

Namun, duet kerja bareng Prof. Blalock dan Thomas berhasil melakukan eksperimen mahal itu terjadi di tengah banyak cacian dan response negatif dari para profesor di RS John Hopkins University. M

ereka tentu saja protes, bagaimana bisa terjadi seorang ‘negro’ tanpa titel dokter seperti Vivien Thomas boleh masuk ke Kamar OK (operasi/bedah) membantu kerja seorang chirurgien kelas atas sekaliber Prof. Blalock?

Protes terus berlanjut. Namun Prof. Blalock tetap bergeming.

Anjing boleh terus menggongong. Namun, rombongan kafilah harus tetap berlalu.  Setidaknya sampai akhirnya seorang bocah perempuan penderita blue baby syndrome siap dibawa ke Kamar OK untuk dioperasi.

Dari mana kegigihan Prof. Blalock itu muncul dan terkatakan keluar mulutnya?

Tenyata, ketika masih praktik di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee, Prof. Blalock pernah kena penyakit TBC.

Ketika didera penyakit khas orang miskin ini, dia punya nadar alis niat pribadi yang begitu kuat: “Kalau aku sembuh dari TBC, maka aku akan berbuat banyak untuk orang lain dan kalau bisa berbuat apa pun untuk menyembuhkan pasien-pasien saya.”

Nadar atau janji pribadi itu akhirnya memang dia tepati, karena dia benar-benar sembuh dari TBC. Dan praktik operasi pertama mengoperasi pasien bocah perempuan penderita blue baby syndrome itu juga berhasil dengan gemilang.

Di kemudian hari, segeralah meroket menjulang tinggi nama besar Prof. Blalock sebagai chirurgien pertama AS yang berhasil melakukan operasi jantung.

Namanya cepat berkibar kencang di kancah panggung kedokteran internasional. Tak kurang, majalah gambar dan berita tenar sekelas Life memasang fotonya yang besar di halaman kulit depan.

Prof. Blalock siap beraksi di meja operasi. (Ist)

Namun, tak dinyana pula Prof. Blalock lupa menyebut peran besar dari seorang ‘budak’ laboratorium bernama Vivien Thomas.

Ucapan terima kasih secara formal di mimbar audiens juga tidak pernah keluar dari mulut dokter ahli spesialis bedah di RS bergengsi di AS ini.

Hal ini membuat Vivien Thomas jadi patah arang; seakan-akan ketenaran Prof. Blalock berhasil mengoperasi ratusan pasien penderita blue baby syndrome terjadi hanya karena sukses pribadi saja.

Maka, selamat tinggal one-man show.

Penyesalan mendalam

Waktu berjalan dengan sangat cepat.

Puluhan tahun berlalu, sejak duet Prof. Blalock dan Vivien pertama di kamar operasi John Hopkins University, akhinya keluar dari mulut dan kemudian diceritakan seperti dalam adegan ini.

Prof. Blalock yang sudah sepuh datang menemui Vivien yang waktu itu sudah sukses menjabat kepala lab.

Sang profesor maestro ahli bedah duduk di kursi roda didorong oleh Vivien menyusuri lorong di mana potret dirinya terpampang bersama para tersohor lain di John Hopkins University.

Ia menawari Vivien untuk ikut dengannya menjadi tenaga pengajar di Columbia University. Namun ide itu dengan sangat santun dan halus ditolak oleh Vivien.

Akhirnya penyesalan dan permohonan maaf Prof. Blalock mampu tercetus keluar di situ. Walau tidak sangat gamblang.

Profesor ini sadar betul, karyanya yang bergengsi di Universitas Columbia takkan bisa berjalan tanpa sentuhan ‘arsitek’ kamar bedah berkulit hitam bernama Vivien Thomas ini.

Ini sebuah perpisahan yang mengharukan. Apalagi ketika dengan rendah hati sang profesor itu akhirnya mau mengakui dirinya bahwa di sepanjang berkarir sebagai dokter bedah, dia terlalu egosentris, one-man show, dan egois sekaligus temperamental.

Sehari sesudahnya, terdengar kabar duka: Prof. Albert Blalock meninggal dunia.

Dunia pun terkejut, tak terkecuali Vivien Thomas dan Dr. Helen Taussig –dokter ahli jantung—yang mendesak Profesor agar mau mengoperasi pasiennya yang menderita baby blue syndrome.

Bendera setengah tiang berkibar di Universitas dan RS John Hopkins.

Vivien menangis tersedu-sedu di pojok gedung. Guru, mentor, sekaligus ‘lawan main’nya dalam memainkan pisau dan jepit bedah di Kamar OK sudah tiada.

Ia tahu, tanpa profesor tersebut, dia juga akan pincang menangani pasien penderita blue baby syndrome.

Tapi untunglah, arsip-arsip operasi bisa terdokumentasi dengan baik.

Terlebih ada beberapa dokter bedah muda yang juga mengikuti ‘prosesi’ pembedahan dengan metode baru itu bersama alm. Prof. Blalock ketika masih hidup.

Legenda operasi jantung

Alm. Prof. Dr. Alfred Blalock (1899-1964) dan alm. Vivien Thomas (1940-1985) adalah legenda besar dalam sejarah kedokteran di AS; terutama dalam urusan operasi pembedahan jantung.

Mereka berdua dianggap sebagai perintis yang berani ‘ambil risiko’ untuk bisa memperpanjang nyawa manusia,  sebelum akhirnya Tuhan akan ‘mencampuri’ urusan manusia dalam operasi memperpanjang umur manusia itu.

Di akhir cerita, meski tidak pernah kuliah kedokteran, Vivien Thomas akhirnya dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas John Hopkins. Ia juga boleh berpraktik sebagai chirurgien di Kamar OK, meski sudah tidak lagi bersama Prof. Blalock yang sudah meninggal dunia duluan.

Rekan kerja Dr. Vivien Thomas adalah beberapa dokter bedah muda yang sehaluan dengan Prof. Blalock dan Dr. Helen Taussig.

Dr Taussig adalah –okter perempuan yang pertama kali ‘menantang’ mereka berdua agar bersedia mengoperasi bocah perempuan penderita baby blue syndrome.

True story

Film Something the Lord Made ini dikerjakan atas dasar kisah nyata sejarah Prof. Blalock dan Vivien Thomas. Oleh karena itu, ceritanya sangat menarik dan menyentuh kalbu setiap orang yang menontonnya.

Ditambah lagi, acting prima yang dilakoni aktor Inggris Alan Rickman yang memerankan tokoh dingin egois temperamental sekelas Prof. Alfred Blalock.

Peran yang dimainkan Mos Def sebagai Vivien Thomas yang lugu, culun, namun cerdas tak kalah menariknya.

Termasuk jasa penting Dr. Helen Taussig (Mary Stuart Masterson) yang sedikit tuli, namun punya nurani untuk berjuang menyembuhkan pasien penderita ‘baby blue syndrome’ ini.

Sayangnya, film berkualitas ini tidak pernah beredar di bioskop.

Something the Lord Made besutan sutradara Joseph Sargent ini hanya beredar di jaringan internet dan TV Kabel karena film ini besutan HBO yang sekarang bisa diakses gratis untuk ditonton di YouTube.

Meski demikian, itu takkan mengurangi kualitas pergulatan batin manusia profesional yang disebut ‘dokter’ –apalagi dokter spesialis ahli bedah (chirurgien)— ketika harus menentukan sikapnya.

Urusan ini menjadi krusial.

Yakni, ketika dokter bedah harus menjawab pertanyaan penting di Kamar OK: mati itu urusan milik Tuhan ataukah manusia juga boleh punya andil memperpanjang nyawa manusia?

2 COMMENTS

  1. Resensi film yang bagus. bahasanya sangat runtut dan mudah diikuti. Mengantar pembaca pada film yang sesungguhnya dan penasaran untuk menyaksikan lebih detail film “Something the Lord made”. Film yang penuh dengan karakter emosional. Dan mengajak pembaca untuk hadir dalam emosi tokoh film.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here