Filosofi Bakpao dan Rengginang, Tentang Kematian Seorang Ibu (2)

1
7,773 views
Filosofi Bakpao dan Rengginang, Tentang Kematian Seorang Ibu : Refleksi Liem Tjay dan Trias.

KETIKA 17 tahun yang lalu dan kemudian beberapa hari yang lalu, Liem Tjay mengenang kembali peristiwa melepas kepergian seorang ibu bernama Mica dan Sri Indrati. Ini peristiwa yang sangat membekas bagiku. Juga bagi Trias dan keluarga.

Tidak mudah memang melepaskan kepergian untuk selama-lamanya orang yang dicintai.

Sungguh tidak mudah.

Setiap kali Liem Tjay sebagai imam memberi perminyakan suci kepada orang sakit, posisi telapak tangan selalu terbuka agar dapat diolesi minyak suci.

Ketika Raja Aleksander Agung mangkat, tangannya terbuka. Dikatakan Aleksander tidak mau menggenggam erat-erat yang bukan menjadi miliknya, yakni nafas kehidupan.

Hidup kita ini hanya pemberian Tuhan. Maka benar kata Ayub Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil.“ (Ayub 1: 21).

Sulit untuk memahami apa yang dilakukan oleh Ayub. Aku memang memiliki keterikatan batin dan emosi. Aku sadar hal ini tidak mudah mengihklaskan orang yang tercinta pergi selama lamanya: mama, ibu, simbok.

Seorang mama, ibu, simbok keluarga adalah orang yang mampu menghadapi berbagai macam penderitaan, keprihatinan, apalagi selama sakit.

Kematian seorang ibu sangat mempengaruhi kehidupanku, melebihi kehilangan hal-hal lain.

17 tahun yang lalu, beberapa hari yang lalu, peristiwa amat mengesan dan dikenang oleh keluarga di Solo dan Klaten yakni ketika Mica dan Ibu Sri Indarti dijemput oleh kematian dipanggil pulang kembali kepada Tuhan.

Itulah Kematian. Tiba-tiba mereka hilang.

Ibu meninggal mendahuluiku, Trias dan kita semua. Sudah sewajarnya apabila kita, khususnya anak-anak lalu merasa berdukacita atas kehilangan sosok ibu.

Entah kenangan yang kita miliki membahagiakan atau pun menyakitkan.

Bagaimana Liem Tjay?

Secara jujur aku, Liem Tjay, sejatinya tidak ingin mati. Aku ingin bisa hidup selama lamanya.

Kata penyair Chairil Anwar: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.

Namun kenyataan itu tidaklah demikian. Setiap orang pasti dan harus mati. Kematian merupakan suatu kepastian yang tidak bisa ditolak dan dihindari.

Pernah suatu kali, aku bertanya kepada Mbah Tarsem, tetanggaku di Banyumas: “Mbah mengapa kalau berjalan selalu membungkuk?”

Mbah Tarsem itu pun berkata: “Kula sampun mambu lemah lan mboten lami ajeng mangkat (Saya ini sudah bau tanah, tidak lama lagi akan pergi).”

Mbah Tarsem itu menyadari tibalah hari puncak dan waktunya pun tak terhindarkan. Itulah kematian.

Eling, waspada. Kita tidak tahu kapan pencuri datang” adalah makna yang kutangkap agar aku selalu ingat akan panggilan Tuhan yang dihayati di dunia ini.

Keyakinan Liem Tjay terhadap sosok mama, ibu, simbok

Kutemukan kembali dalam agenda harian hidupku renungan tentang ibu

  1. Jangan pernah ragukan kasih sayang seorang ibu

Aku ingat masa kecilku. Setiap kali ada orang menyakitiku, maka ibu selalu membelaku. Waktu berlalu, aku pun sudah dewasa. Ketika ada kendala yang menjatuhkan aku pada lubang kegagalan, ibu yang menyemangatiku.

Kini, ibu telah pergi. Raganya telah terkubur di dalam tanah merah basah. Aku merasa kehilangan tanpa ibu. Jangan pernah ragukan kasih sayang seorang ibu. Dialah harta terindah bagi seorang anak.

  • Doaku: kuingat pesan ibu

Ya Tuhan, aku tidak ingin meratapi kepergian ibuku. Tapi bolehlah aku berduka. Masih teringat dibena-ku ketika ibu berkata, “Anakku, jangan bersedih meski tadi ibu memeluk dirimu sejenak saja, karena yang perlu kamu ketahui adalah hati ibu memeluk kamu untuk selamanya.”

Meski ibu telah pergi, aku masih benar-benar merasakan kehangatannya.

Kamsia, maturnuwun. Terimakasih ibu.

Kepergian seorang mama, ibu, simbok mungkin membuat kita sedih. Tapi jangan sampai lupa untuk terus mendoakannya.

Berharap akan kerinduan yang begitu dalam ini dapat menjadi do’a yang sama dalamnya.

Saat menjelang Santa Monika mangkat

Beberapa hari kemudian, Monika jatuh sakit. Kepada Augustinus, ia berkata: “Anakku, satu–satunya yang kukehendaki ialah agar engkau mengenangkan daku di altar Tuhan.”

Wanita yang luar biasa ini wafat tahun 387 M di Ostia, Roma.

Kisah hidupnya membuktikan kepada semua bahwa doa yang tak kunjung putus akan selalu didengarkan Tuhan.

Kini, aku dengan Trias merayakan ekaristi di Gereja Maria Imakulata Banyumas. Kami mendoakan dan mengenang Mica dan Ibu MA Sri Indrati di Altar Tuhan. (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here