Filosofi Daun Kering Romo Armada Riyanto CM

0
1,309 views
Buku berjudul "Spiritualitas Daun Kering" karya Romo Prof. Armada Riyanto CM.
  • Judul: Spiritualitas Daun Kering.
  • Penulis: Romo Armada Riyanto CM.
  • Penerbit: Widya Sasana Publication.
  • Halaman: 119 halaman.

HIDUP adalah sebuah pilihan yang terus-menerus diperbaharui; baik dalam waktu dan keadaan yang tak dapat tentu.

Bergerak merupakan ciri bahwa kehidupan itu ada. Kehidupan itu berproses dalam realita dunia yang nyata.

Filosofi daun kering

Ada banyak hal yang dapat dijadikan sebagai cerminan dalam melihat kehidupan manusia.

Sebagaimana penulis menyatakan demikian ini. “Daun kering adalah tahap kematangan. Sebab dalam hidup manusia setiap ‘perubahan’ kehadiran menampilkan perkembangan lebih lanjut. Perubahan fisik mungkin menjelaskan segalanya mengenai proses memasuki perkembangan kematangan ini. Dalam hidup spiritualitas, perubahan itu juga merupakan sesuatu yang nyata dan konkrit.”

Penulis melihat sisi kehidupan manusia atau perkembangan hidup manusia dari perspektif sebuah daun kering.

Filosofi daun kering ini dapat mewakili bagaimana peziarahan manusia di dunia adalah hanya sementara.

Ketika daun masih berada pada ranting pohon yang kuat dan perkasa, daun itu senantiasa tumbuh subur dan begitu elok dipandang.

Lambat laun daun ini akan memasuki tahap kematangan dan kemudian dengan daun mengering itu mau menyatakan akan sebuah perubahan.

Demikian halnya kehidupan setiap orang, ketika bersama orang lain kita akan merasa nyaman, damai, tenang, dan mampu untuk berkembang secara fisik atau hal lain yang nampak.

Tapi ada saatnya di mana kita akan melepaskan semua itu dan berdiri sendiri.

Spiritualitas rendah hati

Melepas yang lalu dan bersiap dengan perubahan yang akan hadir. Inilah saatnya kita menyerahkan semua pada Yang Kuasa.

Seperti penulis menyatakan berikut ini. “Spiritualitas daun kering adalah spiritualitas kerendahan hati… Spiritualitas kerendahan hati adalah spiritualitas penyatuan diri dengan kehendak Allah.”

Untuk itu, kerendahan hati adalah kunci dalam menghayati kehidupan ini.

Ketika selesai mengerjakan tugasnya sebagai daun yang menempel pada ranting pohon dan memberi asupan melalui proses fotosinsesis, kini dia akan melepaskan dirinya. Dan saat itu pun daun kering berpasrah diri kepada ‘angin’ yang di mana Tuhan sendiri yang memerintahkan untuk kemana daun itu akan pergi.

Di mana pun keberadaannya, satu-satunya jalan terakhir yang harus ditempuhnya adalah membangun persahabatan dengan angin yang membawanya. Jua dengan tanah yang akan bersatu dengan dirinya.

Ketika kerendahan hati dan persahabatan telah dibangun di dalam diri, maka tidak ada yang mampu menghalangi proses pengurbanan dan persatuan. Semua itu akan memberi sebuah kehidupan baru kepada yang lain.

Verdinandus Pineul pegang buku Prof. Armada Riyanto CM berjudul “Spiritualitas Daun Kering”.

Pengurbanan di atas kayu salib

Penulis menyimpulkan, “Persahabataan itu ialah ketika aku membuka tangan; menyambut siapa pun dan belajar menjadi sahabat bagi siapa saja, terutama yang membutuhkan.”

Contoh yang kongkrit akan semua itu adalah pengurbanan yang Yesus Kristus berikan bagi kita, umat-Nya.

Dengan penuh kerendahan hati, Yesus mau meninggalkan ke-allah-an-Nya dan mau menjadi manusia sama seperti kita. Ia juga mau menjadi sahabat yang merelakan diri-Nya demi menebus dosa-dosa kita.

Apakah yang dapat kita balas?

Peziarahan hidup di dunia ini begitu keras, menantang, dan penuh kenikmatan yang terkadang membuat jiwa kita merana.

Jiwa kita bertanya, ”Kemana kah aku harus pulang?”

Tanpa sikap rendah hati, maka posisi nyaman ini akan membuat kita melekat padanya dan tidak mengetahui ke mana harus pulang.

Suara hati

Penulis mengatakan, “Kita muda menuntut dan menghukum diri sendiri.”

Namun, kita sering lupa mendengar suara hati yang terus memanggil.

Suara hati yang mau menanggapi panggilan Tuhan.

Dari dalam hatilah akan lahir sebuah kekuatan yang mengokohkan diri kita dalam berziarah di dunia ini dan mau menanggapi panggilan Tuhan dalam pengharapan dan pengorbanan yang tulus.

Penulis adalah seorang imam yang merefleksikan dirinya sebagai “daun kering” yang merupakan metafora pembelajaran spiritualitas kristiani.

Ia telah melewati  berbagai proses dalam kehidupan ini. Kini, saatnya bagi dia untuk menghadirkan kehidupan iman dalam menerima setiap anugerah Allah.

Panggilan untuk setia selalu membisik dalam hatinya. Hati yang beriman adalah hati yang mau menanggapi tawaran dan panggilan Allah.

Menanggapi panggilan menjadi seorang imam merupakan jawaban yang mengartikan bahwa kita siap mengambil bagian dalam pribadi Yesus Kristus.

Pribadi yang dipilih oleh Allah. Pribadi yang kudus, terberkati, pribadi yang rela berkurban, serta pribadi yang mau menghadirkan sukacita bagi sesama.

Penulis menyimpulkan, imamat merupakan sebuah fungsi untuk melaksanakan perayaaan iman. Dan hal itu nyata dan konkrit dalam Perayaan Ekaristi.

Melalui ekaristi, penulis menemukan bahwa rahmat imamatnya merupakan sebuah peziarahan. Karena melalui peristiwa transubtansiasi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, seorang imam telah melewati sebuah proses “penyeberangan ilahi”.

Penulis menyatakan, “Tampaknya saja roti dan anggur, tetapi itu Kristus sendiri yang hadir….”

Roti melambangkan Tubuh Kristus dan anggur melambangkan Darah Kristus.

Imamat bukan jabatan, tapi fungsi pelayanan

Yesus, Sang Imam Agung, telah datang ke dunia, menjadi sahabat. Dan kemudian Ia mempersembahkan diri-Nya. Demi cinta-Nya kepada manusia.

Seperti Kristus, imam pun dipanggil bukan untuk mengembani sebuah jabatan, melainkan dipanggil untuk memanggul salib.

Penulis menyatakan, “Kehadiran imamat berarti kita adalah putera-putera Gereja dengan hati rasul.”

Maka sungguh jelas bahwa imamat bukan soal jabatan, melainkan mengambil bagian dalam meneruskan tugas para rasul yakni mewartakan Kerajaan Allah.

Ketidaksempurnaan dalam menjalaninya memang harus kita sadari bahwa semua itu terjadi dalam diri kita ‘manusia yang berdosa’.

Maka perlu sebuah persembahan diri yang penuh totalitas kepada Allah melalui relasi kita dengan Allah dalam hidup doa.

Dalam menggapi panggilan Allah, kita pun dapat belajar dari Bunda Maria. Olehnya kita dapat melihat bagaimana ketegasan dalam menjawab panggilan Allah.

Penulis menyimpulkan, “Fiat kita ialah menjawab ‘ya’ atas panggilan Tuhan setiap hari.”

Memang tak mudah dalam mencapai semua itu. Tetapi dengan hati yang bertekun dan terus bernyala dalam Kerahiman Allah, maka akan menumbuhkan pembaharuan jiwa yang dikuduskan oleh Roh Kudus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here