Filosofi Kendi, Sugih Tanpa Banda dan Belarasa

0
1,850 views
Ilustrasi - Kendi. (Ist)


ADA dua foto yang beredar bulan lalu di media sosial. Peristiwanya mirip, hanya obyeknya berbeda. Tempat kejadiannya di dua negara yang berjauhan.

Yang pertama, cerita tentang tempat peminjaman payung gratis, di Jepang. Menurut si empunya cerita, payung-payung itu disediakan, entah oleh siapa, bagi siapa saja yang sedang dihadang hujan.

Butuh payung untuk pelindung diri dari air yang mengucur dari langit? Silakan ambil satu dan pakai cuma-cuma.

Bila sudah selesai, kembalikan ke tempat serupa di dekat tempat tujuanmu.

Konon, “depot peminjaman” ini banyak pelanggannya, dan payung hilang atau rusak bukan karena pemakaian sangat sedikit.

Nampaknya, si peminjam merasa ikut memiliki dan eman, bila payung-payung itu hilang atau rusak. Rasa memiliki membuat peminjam berhati-hati dalam menggunakannya.

Itu yang disebut “Rumangsa melu handarbeni, lan melu angrungkebi” (Merasa ikut memiliki, dan wajib menjaganya).

Gambar dan cerita yang serupa, terjadi di Swedia. Yang dipajang dan dipinjam bukan payung, tapi jaket tebal.

Caranya sama, syaratnya mirip, sama-sama bertujuan mulia. Mereka yang kedinginan silakan menghangatkan badan dengan meminjam jaket gratis. Bisa dimaklumi, suhu dingin membuat manusia beku tanpa baju penghangat yang memadai.

Kedua kisah yang mengharukan, sekaligus mengagumkan tadi, mengingatkan saya akan kebiasaan serupa di daerah pedesaan dan perkampungan, di Jawa Tengah, sekian puluh tahun lampau.

Entah, apakah sekarang masih berlangsung atau sudah pupus.

Bukan payung, bukan jaket, tapi kendi dan dipan.

Banyak terlihat di depan rumah dua kendi berisi air matang dan atau dipan kecil. Biasanya diletakkan di luar pagar.

Rumah-rumah itu menyiapkan air minum dan tempat istirahat bagi siapa saja, dikenal atau tidak. Mereka yang dalam perjalanan menuju ke sawah, ladang, hutan atau sungai, yang sedang haus dan atau penat, bisa mampir untuk minum atau istirahat.

Tiap pagi, sang pemilik rumah mengganti air kendi dan membersihkan dipan. Tujuannya hanya satu, “sedikit” meringankan beban perjalanan tamu-tamu mereka.

Sekali lagi, mereka bisa dikenal, bisa tidak.

Bagi sang pemilik rumah, tak peduli siapa yang menikmati sediaan itu. Yang penting, hanya memberi dan tak harap kembali.

Kalau payung di Jepang dan jaket di Swedia (mungkin) disediakan oleh pemerintah, atau pemilik pertokoan besar di sekitar situ, air segar dalam kendi dan dipan disediakan oleh pribadi-pribadi secara sukarela.

Tak ada yang menyuruh, tak ada yang membayar. Tak ada juga yang membalas dengan penghargaan atau imbalan.

Mereka percaya bahwa orang yang dalam perjalanan, apalagi untuk mencari nafkah, adalah “pahlawan keluarga” yang harus dihormati dan didukung sepenuhnya.

Kendi dan dipan menjadi sarana ibadah dalam bentuk bela-rasa bagi sesama. Pada umumnya, sang pemilik rumah bukan orang kaya (Bahasa Jawa: sugih). Tapi mereka ikhlas menyiapkan sarana-sarana ibadahnya dengan telaten, sabar dan ajeg.

Drs. Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952), pujangga dan budayawan besar Nusantara yang diakui oleh kalangan ilmuwan internasional, menyebutkan bahwa sikap yang ditunjukkan penyedia kendi dan dipan tadi disebut “sugih tanpa banda” (dibaca: sugih tanpo bondo).

Harta (banda) tidak semata-mata menjadi alat ukur. “Kaya” tidak selalu berarti banyak uang.

Orang “kaya” juga bukan orang pintar atau tinggi jabatannya atau banyak relasinya. Tapi, “kaya”, menurut Sosrokartono, adalah “kaya hati”.

Penuh welas asih (compassion) dan banyak “harta” yang diberikan untuk sesama. Tak harus mahal, tak ada hitung-hitungannya, tak perlu diingat atau dicatat.

Sugih tanpa banda” ditandai dengan memberi tanpa memikirkan siapa yang diberi atau bahkan jauh dari mengangankan imbalan, langsung atau tak langsung.

Tak perlu tahu siapa pemakai payung, atau jaket. Tak juga perlu kenal siapa yang minum air kendi atau yang klekaran (berbaring) di dipan depan rumah.

Tak usah diselidiki siapa mereka. Ulurkan saja tangan semampumu, serelamu, karena siapa tahu mereka sedang dalam kesulitan yang lebih berat darimu.

Be kind, for everyone you meet is fighting a harder battle.” (Plato 427-347SM, filsuf dan matematikawan Yunani)

@pmsusbandono
17 Januari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here