Home BERITA Gereja Menghargai Budaya Lokal (7)

Gereja Menghargai Budaya Lokal (7)

0
Ilustrasi: Tarian adat Dayak yang dikemas dalam balutan seni modern di Pontianak dalam kesempatan pembukaan SEKAMI. (Mathias Hariyadi)

GEREJA Katolik sudah menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan manusia.

Berikut saya tunjukkan beberapa garis besar ajaran, sikap dan pandangan Gereja terhadap kebudayaan manusia.

Pertama, Konsili Vatikan II. Dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes), Konsili memberikan tempat khusus untuk menguraikan pemahaman tentang kebudayaan. Uraian itu dapat kita temukan dalam artikel 53-62.  

Salah satu pokok pengajaran berkaitan dengan pentingnya kebudayaan manusia dalam tugas pewartaan Gereja ditandaskan oleh Konsili sebagai berikut:

“Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.

Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam”. (GS 58)

Kedua, Paus Yohanes Paulus II.

Pada masa kepausannya, Bapa Suci pernah membentuk Dewan Kepausan untuk Kebudayaan (Pontificium Consilium de Cultura) pada 20 Mei 1982.

Pembentukan tersebut, sebagaimana ditandaskan dalam salah satu dokumennya, Tentang Pendekatan Pastoral terhadap Budaya, didasarkan pada kenyataan bahwa dari sejak Injil pertama kali diwartakan, Gereja sudah dikenal sebagai sebuah proses perjumpaan dan keterlibatan dengan budaya.

Ref: Pontifical Council for Culture, Towards a Pastoral Approach to Culture, No.1, Vatican: 23 May 1999.

Revitalisasi

Gereja menyadari bahwa dirinya sedang dihadapkan pada situasi kultural yang baru.

Situasi di mana tercerabutnya nilai dan tradisi Kristiani yang selama ini telah mengilhami dan menjiwai cara hidup manusia.

Oleh Gereja situasi yang demikian dipandang sebagai hal yang harus direvitalisasi. Membuka diri untuk berjumpa dengan budaya dan melibatkan diri di dalamnya menjadi jalan yang dipilih oleh Gereja demi suksesnya revitalisasi tersebut.

Gereja mau membuka dan melibatkan diri terhadap budaya manusia karena meyakini bahwa semua budaya “merupakan sebuah upaya untuk merenungkan misteri dunia dan secara khusus misteri pribadi manusia: upaya ini merupakan sebuah jalan untuk memberikan penyataan terhadap dimensi transenden dari hidup manusia.

Inti dari setiap budaya manusia ialah pendekatannya terhadap misteri yang paling agung: misteri Allah sendiri”. Ref: Pontifical Council for Culture, ibid.

Pembentukan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan oleh Paus Yohanes Paulus II bukanlah sebagai penanda bahwa beliau baru menyadari pentingnya budaya manusia dalam tugas pewartaan Gereja.

Jauh sebelum Dewan Kepausan ini dibentuk, Bapa Suci sudah mengajarkannya dalam ensiklik pertamanya Redemptor Hominis (1979).

Berkaitan dengan relasi antara misi Gereja dan kebebasan manusia, beliau mengajari:

“Sikap misioner selalu mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam “apa yang ada pada manusia” (Bdk. Yoh. 2:25),  apa yang oleh manusia sendiri telah dikaji dalam lubuk jiwanya mengenai persoalan apa yang paling penting dan mendalam.

Misi, Bapa Suci melanjutkan, dengan demikian tidak pernah berupa penghancuran, melainkan mengangkat dan membangun secara segar.”

Ref: Dokpen KWI, Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum Sampai dengan Centesimus Annus, terj. R. Hardawiryana SJ, Jakarta: Dokpen KWI, 1999, 606.

Ketiga, Federasi Konferensi-konferensi Para Waligereja Asia (FABC). Para uskup se-Asia juga menekankan pentingnya peran tradisi dan budaya manusia dalam pewartaan yang dijalankan oleh Gereja.

Mereka menandaskan bahwa triple-dialog dengan tiga realitas utama kehidupan Asia merupakan perwujudan nyata dari misi perutusan Gereja di Asia, yakni dialog dengan tradisi keagamaan lain, budaya-budaya lokal dan kemiskinan.

Dalam Sidang Pleno V di Bandung, 17-27 Juli 1990, para Uskup Asia menegaskan:

“Misi Gereja di Asia meliputi: “ada bersama dengan masyarakat, menanggapi kebutuhan mereka, dengan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam aneka ragam budaya dan dalam tradisi keagamaan lain, dan memberi kesaksian tentang nilai Kerajaan Allah lewat kehadiran, solidaritas, sharing dan perkataan.

Misi kemudian berarti dialog dengan kemiskinan, budaya-budaya lokal dan tradisi keagamaan lain yang ada di Asia (FABC I).”

Ref: The Plenary Assembly V of the Federation of Asian Bishops’s Conferences, The Emerging Challenges to the Church in Asia in the 1990s: A Call to Respond, no. 3.1.2.

Dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal, dengan demikian memang menjadi sebuah keharusan dalam upaya menggali kekayaan yang terdapat dalam budaya dan adat istiadat setempat.

Konsili Vatikan II, dalam hal ini, mengajarkan kepada kita untuk meneladan Kristus sendiri:

“Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi.

Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa.

Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat.” (AG 11)

Pemahaman di atas semakin menegaskan bahwa kerelaan untuk menggali dan menyelami budaya lokal kiranya menjadi suatu keharusan bagi Gereja Keuskupan Sintang dalam upaya menghadirkan Kerajaan Allah demi keselamatan umat manusia.

Seperti yang selalu tertuang dalam visi arah dasar Keuskupan. Sekalipun konteks budaya setempat harus dinilai dalam terang Injil, tidaklah kemudian Gereja mengklaim bahwa setiap jawaban terhadap persoalan umat hanya berasal dari dirinya.

Untuk hendak mengatakan bahwa dalam usaha membangun Kerajaan Allah di Keuskupan Sintang, dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal kiranya menjadi sangat penting.

Dengan cara demikian, Gereja bisa menyusun kebijakan-kebijakan pastoral yang tertuang dalam arah dasar Keuskupan maupun Paroki dengan bertolak dari dalam dunia simbol dan adat masyarakat lokal.

Poin terakhir di atas merupakan salah satu yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si.

Dalam memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan, Bapa Suci menegaskan agar kita harus memperhitungkan sejarah, budaya dan arsitektur lokal, untuk mempertahankan identitas aslinya.

Menurutnya, mengklaim bahwa semua kesulitan dapat diselesaikan melalui peraturan yang seragam atau intervensi teknis, cenderung mengabaikan kompleksitas masalah-masalah lokal yang memerlukan keterlibatan aktif masyarakat setempat.

Ref: Bdk. Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si, terj. Martin Harun OFM, Jakarta: Obor, 2015, art. 143-144.

Lebih lanjut Bapa Suci menekankan bahwa:

“Pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri.

Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia.” (ibid.) (Berlanjut)

https://www.sesawi.net/pastor-luar-borneo-berkarya-di-antara-masyarkat-dayak-6/

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version