Seorang teman pernah sengaja berjalan kaki dari kota Semarang menuju gua Kerep, Ambarawa. Perjalanan bisa ditempuh sekitar 5 – 6 jam jalan kaki. Ketika saya tanya mengapa ia mau melakukan ide “gila” itu ia berkata,”Hidup saya sudah terlalu enak. Saya ingin mencoba untuk mengalami yang tidak enak agar bisa tetap ingat kepada Tuhan.”
Kisah ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Santo Ignatius Loyola pada tahun 1523. Pada saat itu Ignatius berangkat ke Barcelona untuk naik kapal menuju tanah suci. Kendati ada orang yang menawarkan diri untuk menemaninya, ia tetap memilih berangkat sendiri. Pertimbangannya agar ia hanya bergantung pada Tuhan.
Jika ia mempunyai teman tentu ia berharap pada temannya bila lapar atau haus. Jika jatuh, temannya tentu akan menolongnya. Ia sengaja melakukan itu untuk melatih dirinya punya kepercayaan total pada Tuhan.
Jika Anda merasa hidup Anda sudah merasa “nyaman”, dan ingin mendapat “pengalaman rohani”, apakah terlintas dalam pikiran Anda untuk melakukan “ide gila”? Ide gila bisa bermacam-macam. Apa yang dilakukan teman saya dan Ignatius di atas hanya merupakan salah satu contoh saja. Anda bisa menciptakan “ide gila” sendiri, seperti puasa beberapa hari dan buka puasanya hanya nasi dan sayur tawar?
Intinya ide gila tidak ngawur dan konyol, tetap ada perhitungannya. Yang penting Anda menempatkan diri untuk merasakan sebagai “manusia lemah”. Dan rasakanlah bahwa sebagai manusia kita memang “tidak ada apa-apanya”. Siapa tahu kita bisa menghilangkan kesombongan kita. Mau mencoba?
saya memang minat untuk mengajar anakanak pada masa lapang di mana saya akan membantu mereka dalam mengejar citacita dan memperoleh keputusan cemerlang di dalam akademik khususnya.
Sementara, penderitaan adalah mutlak sebagai punggung jalan untuk mengejar kebahagiaan yang terus lari dan hilang di tiap tiap tikungan waktu.