Guido Hendro dan Sumur Resapan

0
375 views
Ilustrasi: Sumur Resapan (Ist)


SAYA memanggilnya “Hendro”. Ia seorang Arsitek, sahabat saya ketika bersama-sama kuliah di Bandung, sekian puluh tahun lampau. Maaf, saya lupa tepatnya, Hendro telah meninggal dunia sekira 10 tahun lalu.

“Beristirahatlah dalam damai, karibku”.

Lantas apa kaitannya antara “Hendro” dengan “sumur-resapan”?

Hendro seorang ahli perancang bangunan. Tapi tak hanya itu. Lengkapnya, dia seorang arsitek yang berwawasan lingkungan.

20-an tahun lalu, Hendro membantu merenovasi rumah saya. Di suatu kampung, di Kelurahan Pondok Karya, Kecamatan Pondok Aren, Tangsel.

Selain menggambar rancang-bangunnya, ia juga mengawasi pembangunannya. Singkatnya, dia menjadi arsitek sekaligus kontraktor.

Soal pembangunan rumah, Hendro saya nilai “oke”. Tapi ada faktor lain yang saya poin “istimewa”.

Apa itu?

Di sekitar rumah saya tak tersedia infrastruktur pembuangan air. Maklum lokasi yang masih jauh disebut pemukiman berkembang.

Got, selokan, atau gorong-gorong tidak tersedia di depan rumah. Ditambah lagi, ada sebidang lahan, terletak lebih rendah dari sekelilingnya. Orang Jawa menyebutnya njeglong. Air hujan yang jatuh di situ tak bisa mengalir keluar halaman.

Saya tak tahu harus bagaimana. Maklum awam dan tak punya pengalaman atau eksposur tentang hal yang beginian.

Saya terhenyak agak lama.

Untung ada Hendro. Ia mengatasi semua itu dengan brilian. Ia mengusulkan agar semua (ya, semua) air yang tumpah di halaman rumah dimasukkan ke dalam tanah. Idenya, air yang jatuh ke tanah, ya dimasukkan ke dalam tanah.

Singkat kata, baik air bersih (air hujan) maupun air kotor (air limbah kamar mandi, dan cuci), dimasukkan ke dalam tanah. Baru akhir-akhir ini saya tahu bahwa ini yang disebut sebagai “zero run off”.

Hendro menghitung dengan saksama. Spesifikasi digambar dengan detil. Begitu juga jumlahnya agar mampu menampung seluruh air yang jatuh di halaman rumah.

Saya masih ingat beberapa teori yang dia pegang. Bila salah satu dari keempat prinsip itu dilanggar, sistem sumur-resapan yang digagasnya pasti gagal.

Pertama, luas ruang terbuka minimal 60%. Halaman dengan ruang terbuka kurang dari 60%, jangan menggunakan sistem ini.

Jangan menutup ruang terbuka dengan semen, keramik atau aspal. Silakan gunakan konblok. Sisanya biarkan terbuka.

Kedua, dinding sumur-resapan jangan disemen atau dipasang beton. Biarkan dinding tetap tanah.

Ketiga, isi sumur-resapan dengan ijuk, kerikil, dan pasir. Jangan biarkan kosong, karena akan terisi air.

Ini sama saja menyilakan nyamuk masuk bersarang di dalamnya. Air tak bisa maksimal meresap ke tanah, justru demam berdarah atau malaria yang singgah.

Saya tak tahu apa gunanya bahan-bahan material itu. Tapi tentu saja, tak kuasa membantah pendapatnya.

Keempat, buat sumur-resapan dengan jumlah yang cukup dan di tempat-tempat yang pas. Utamakan lokasi yang rendah agar air segera meresap ke tanah.

“Teori Hendro” nampaknya sangat manjur. Sampai saat ini, aliran air yang ada di halaman rumah saya terkelola dengan baik. Air yang keluar dari halaman sangat minimal atau bisa dikatakan hampir tak ada.

Di samping itu, masih ada by products yang bisa dipetik.

Sumur air tanah di rumah saya belum pernah kering, sekali pun pada puncak kemarau yang terik dan panjang.

Ada lagi, lahan bertambah subur, hingga tanaman dan rumput tumbuh menghijau meski tak rutin disiram. Banjir tak pernah mampir, karena perjalanan air ke laut bisa dikurangi.

Ketika musim penghujan cukup panjang dan deras seperti waktu ini, ingatan akan Hendro kembali bermain di dalam rongga kepala saya.

Seandainya masih ada tentunya Hendro bersedia untuk membantu sumbang-saran mengatasi masalah sumur-resapan yang sedang hiruk-pikuk. Wisdom yang dimilikinya bisa menjadi jalan keluar yang cemerlang.

Pelajaran besar yang bisa diambil adalah sesuatu yang semula dianggap sederhana, ternyata bisa mengandung nilai yang penuh manfaat, bila diolah sesuai dengan yang seharusnya.

Kuncinya satu. Sesimpel apa pun suatu masalah, hendaknya diurus oleh mereka yang benar-benar paham akan seluk-beluk, mampu dan mau menangani perkara.

Bila tidak, masalah yang (jauh) lebih besarlah yang akan datang.

“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Bukhari – 6015)

@pmsusbandono
12 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here