Hari Orang Sakit Sedunia: Mengalami Kondisi Jantung Baru Usai Operasi Bypass (1)

1
1,503 views
13 Oktober 2011: Kondisi Liem Tjay sebelum masuk ruang operasi. (Dok Pribadi)

AKHIR Maret 2020, awal dan semaraknya Coronavirus telah ikut membuat Liem Tjay juga “shocked-takut-cemas”. Isu mengatakan: ”Hati hati  dengan orang yang sudah menderita penyakit bawaan, jika terkena virus corona.” 

Jantung koroner adalah penyakit bawaan Liem Tjay.

Hari Orang Sakit Sedunia

Pengalaman sakit membuat kita menyadari kerentanan diri dan kebutuhan akan orang lain. Hal ini membuat kita semakin jelas merasakan bahwa kita adalah makhluk yang bergantung pada Tuhan. Ketika sakit, ketakutan dan kebingungan dapat mencengkeram pikiran dan hati kita;

Kita mengalami ketidakberdayaan, karena kesehatan kita tidak bergantung pada kemampuan atau kekhawatiran hidup yang tiada henti.” (Mat 6:27)

Penderita jantung koroner

Liem Tjay lalu merenungkan isi pesan Paus Fransiskus di HOS; melihat kembali pengalaman dirinya sebagai pasien jantung.

Obrolan Liem Tjay dengan Paimin

Liem Tjay dan Paimin tiap hari selalu bertemu baik di gereja maupun di tempat kerja. Diam-diam rupanya Paimin selalu memperhatikan bahwa Liem Tjay selalu tampil gembira, semangat, tidak pernah memperlihatkan wajah yang sedih.

Paimin sangat penasaran untuk mencari tahu mengapa Liem Tjay selalu prima dalam hidupnya. Suatu ketika Paimin mendatangi Liem Tjay.

Dalam suasana santai dan bersahabat, Paimin mengungkapkan kesan: ”Liem Tjay, maaf ya, saya kagum dan salut, kamu kok bisa selalu prima dalam penampilan sehari hari?”

Liem Tjay agak heran mendengarkan ungkapan Paimin tentang dirinya, lalu dia bertanya: ”Apa yang kau maksud Paimin, selama ini aku biasa biasa saja.“

Kemudian Paimin berani mengungkapkan lebih dalam: ”Begini, Liem, kau itu selalu gembira, sukacita, rasanya tidak ada beban dalam hidupmu. Maaf ya, padahal sejauh aku tahu, jantungmu bermasalah. Bahkan kau sudah operasi bypass 10 tahun lalu tahun 2011, namun kau tetap segar dan fit.

Orang tidak mengira kalau ada sakit jantung. Biasanya orang yang punya masalah dengan jantung, agak hati hati dan kuatir, tetapi kau santai saja. Kok bisa ya?“

Liem Tjay lalu mensyeringkan kisah hidupnya kepada Paimin, begini:

Tuhan beri “jantung” baru

“Setiap pagi aku bangun dan berdoa kepada Tuhan. Aku sadar hari ini Tuhan memberikan jantung baru.

Buktinya aku masih hidup. aku bisa mendengarkan detak jantungku. Setiap suara detak jantung itu Roh Kudus yang memberi kehidupan. Aku masih menghirup udara pagi nan segar tanpa polusi.”

“Maaf Liem, tanpa polusi …tanpa polusi, tolong jelaskan dan bagaimana dengan jantung mu sekarang?,” sela Paimin

Liem Tjay dengan sabar melanjutkan syeringnya lagi:

“Begini Paimin, tanpa polusi berarti pikiran bersih, perasaan damai, nurani jernih, situasi batin bening. Ini yang kusyukuri, ketika memandang Tuhan dalam kontemplasi, doa hening setiap pagi. Indah hidup itu.”

Menerima kenyataan

“Aku tidak lagi memikirkan jantungku itu bermasalah. Aku tidak lagi terbebani dengan peristiwa serangan jantung 10 tahun lalu.

Memang aku hampir mati. Peristiwa ini sungguh mengerikan. Aku menerima pengalaman serangan jantung yang menakutkan itu menjadi bagian hidupku. Inilah sejarah hidupku yang tetap ada dan tidak terhapus.

Paimin terus menyela: ”Lho kok bisa hampir mati? Bagaimana peristiwanya, kapan itu terjadi?“

“Bagaimana kisah awal mula?”

Liem Tjay melanjutkan ceritanya, ketika dia terkena serangan jantung.

Turunan

Sebenarnya Liem Tjay sudah lama mendapatkan gangguan jantung. Namun, dia kurang memperhatikan atau sama sekali tidak mengetahui. Liem Tjay juga sadar akan garis keturunan keluarga.

Bah Emil (Liem Ing Lian) adalah ayah kandungnya. Ia meninggal secara mendadak tanggal 23 Juni 1975, karena “angin duduk” alias serangan jantung.

Ketika Liem Tjay baru berumur 15 tahun dan masih duduk di kelas 2 SMP, ayahnya dipanggil Tuhan.  

Bertugas di Paroki Penajam

Ketika Liem Tjay bertugas di Paroki Penajam, Keuskupan Agung Samarinda di Kaltim, ternyata Liem Tjay sering mengeluh di dada kirinya terasa nyeri dan sesak. Keluhan ini sebenarnya sudah menunjukan indikasi sakit jantung.

Suatu ketika, dalam perjalanan dengan sepeda motor tril Suzuki TS ke Stasi Sotek 2009, Liem Tjay merasakan keringat dingin di tubuhnya dan kepalanya pening sekali. Ia sampai kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh ke jurang. 

Lalu ia berhenti sejenak untuk istirahat. Liem Tjay sendirian. Tidak ada yang menolong. Tidak ada sinyal HP untuk menghubungi umat yang bisa membantu.

Liem Tjay hanya duduk dan duduk dan sekali kali membaringkan diri di rerumputan. Setelah Liem Tjay merasa cukup fit, dia melanjutkan lagi perjalanannya ke Stasi Sotek untuk misa.

Jika Liem Tjay merasakan sakit nyeri, seperti tertindih beban berat di dada maupun di perut, dia hanya mengira livernya kambuh.

Memang livernya terganggu sejak tahun 2002. Apa yang dilakukan?

Liem Tjay minta dikerokin lalu istirahat tidur 1-2 hari. Berhenti merokok 1-2 hari. Bpk. Aloysius Mado, tetangga, menjadi langganan mengerikinya. Lalu Liem Tay merasa fit, sehat kembali.

Lewat peristiwa sakit yang hanya dirasa “kecapaian” saja, sebenarnya Liem Tjay sudah kena serangan jantung kecil kecilnya. Ini diagnose dokter spesialis jantung, ketika Liem Tjay mendapatkan pertolongan pertama di UGD Rumah Sakit Restu Ibu Balikpapan.

Inilah serangan jantung

“Begini Paimin, aku mau berkisah bagaimana serangan jantung itu terjadi.“

Liem Tjay dengan tenang dan gamblang menceritakan kejadian.

“Tanggal 14 juli 2011 aku akan memimpin rapat Pengurus Yayasan dengan seorang guru di Aula Regina Pacis Balikpapan.

Rokok Surya 16 masih mengepul di bibirku yang makin menghitam karena cukup lama aku mengisap rokok sampai 20 tahun, sejak tahun 1991 aku sering berkumpul dengan umat Stasi Caruy, Majenang, Paroki Cilacap, Keuskupan Purwokerto, Jateng.

Tiba tiba aku merasakan di seluruh badanku berkeringat dingin, wajah pucat, dadaku sesak dan nyeri sekali. Gelisah dan tidak tenang. Lalu aku minta tolong Bpk. Marno, Bu Jansi, pengurus Yayasan untuk cepat cepat membawaku ke RS Restu Ibu Balikpapan.

Aku ingat sekali ketika berada dalam mobil rasanya sangat lama, padahal jarak Pastoran Regina Pacis dengan RS Restu Ibu tidak jauh.

Ketika aku berada di IGD, aku ditensi. Hasilnya adalah 220/110. Sangat tinggi.

Selama aku menunggu tindakan dokter, aku sangat cemas dan gelisah. Tak lama kemudian, dokter spesialis jantung datang dan mengatakan bahwa aku telah terkena serangan jantung.

Aku sangat ketakutan. Aku shocked sekali.

Aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa aku terkena serangan jantung dan harus opname di rumah sakit. Lalu selama lima hari aku mendapatkan pengobatan dan tinggal di ruang perawatan RS Restu Ibu Balikpapan.

Dirujuk ke RS Vincentius Surabaya

Aku lebih tenang dan fit. Ada beberapa saran dan masukan untuk pengobatan lebih lanjut, kuterima. Pastor Alo Baha SVD, teman dekatku, membantu menghubungkan ke RS Vincentius Surabaya.

Aku berangkat berobat lanjut ke Surabaya ditemani Pastor Rukmono OMI dan perawat Rufina. Kuakui sebenarnya aku masih marah, kesal, tidak bisa menerima keadaan serangan jantung ini.

Pesta perak hidup membiara di RS

Tanggal 22 Juli 2011 adalah tepat peringatan 25 tahun hidupku sebagai biarawan, sekaligus aku sah menjadi pasien penyakit jantung di Pav 6 Kamar 49 RS Vincentius Surabaya.

Aku sadar sangat kontras situasiku pada saat itu. Seharusnya saya dipestakan, tapi saya harus mendekam di Rumah Sakit.

Bukan sebuah pesta kemeriahan sebagaimana lazimnya seorang biarawan dirayakan, namun Liem Tjay justru memperingati 25 tahun hidup membiara dalam suasana keprihatinan yaitu mempertaruhkan jantungnya untuk bisa hidup terus atau meninggal.

Katerisasi : suatu keputusan

Pada hari itu pula, ketika aku menjalani proses katerisasi oleh Dr. Irwan Gondo dan Dr Markus Tjahjono, spesialis jantung dan pembuluh darah.

Mereka mengatakan: ”Maaf, romo, saya tidak bisa membantu. Hasilnya ada sumbatan empat dan segera operasi bypass.”

Keputusan itu membuat aku sangat sedih, takut, putus asa dan depresi. Aku ingat akan Bah Emil (papaku) yang meninggal serangan jantung ketika umur 50 tahun.

Kebetulan aku sekarang juga berumur 50 tahun pas tepat ada keputusan operasi bypass.

Aku menghibur diriku sendiri: ”Wajarlah anaknya kena serangan jantung umur 50 tahun. Lah papanya saja meninggal karena jantung di usia 50 tahun, maka bersiap-siaplah aku ini.” (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here