Rekan-rekan,
Apa hubungan antara Kebangkitan, Kenaikan, dan Pentakosta?
Dalam Injil Yohanes, ketiga-tiganya dipadatkan menjadi satu di dalam peristiwa penampakan Yesus yang telah bangkit kepada para murid yang sedang berkumpul (Yoh 20:19-23). Yang mereka lihat sekarang itu sama dengan dia yang telah wafat di kayu salib dan dimakamkan.
Dalam hidup setelah kebangkitan, ia berbagi Roh kehidupan dengan para murid. Roh itulah yang menghidupkan semangat baru di antara mereka.
Kebangkitan – Kenaikan – Pentakosta
Pengalaman yang diungkapkan secara padat oleh Yohanes tadi ditampilkan dengan tiga puncak dalam Kisah Para Rasul, yakni Kebangkitan, Kenaikan, dan Pentakosta. Dari Kebangkitan hingga Kenaikan ada selang waktu 40 hari (Kis 1:1-3). Selama itu para murid mengalami pelbagai penampakan Yesus hingga percaya benar bahwa Yesus benar-benar hidup.
Tenggang waktu 40 hari itu mematangkan pengalaman dengan Yesus yang telah bangkit itu. Murid-murid kini menyadari bahwa Yesus, seperti terungkap dalam Mat 28:18, telah menerima kuasa di surga dan di bumi. Kesadaran ini mereka alami sebagai Kenaikan Tuhan. Pada saat yang sama para murid merasa mendapat penugasan untuk mengisahkan pengalaman ini kepada siapa saja.
Dalam kata-kata Lukas, ini disebut sebagai tugas menjadi saksi-saksinya (Kis 1:8), atau menurut Matius, menjadikan semua bangsa muridnya dan menerima mereka sepenuhnya dalam komunitas mereka lewat pembaptisan (Mat 28:19). Bagaimanapun juga, meskipun sudah ada kesadaran baru ini, mereka belum merasa cukup mampu menjalankan tugas dengan merdeka, tanpa merasa waswas atau rasa tertekan.
Kekuatan yang memerdekakan baru mereka peroleh pada hari Pentakosta. Pada hari itulah mereka mendapatkan semangat untuk menceritakan pengalaman mereka kepada orang banyak.
Sekedar latar belakang
Di kalangan umat Perjanjian Lama, Pentakosta (artinya “hari ke-50”) dirayakan tujuh minggu setelah panen gandum (Im 23:15-21 dan Ul 16:9-12). Dalam perkembangan selanjutnya, hari “ke-50” ini dihitung mulai dari tanggal 14 Nisan, yaitu hari Paskah Yahudi. Pada hari ke-50 ini kemudian diperingati pula turunnya Taurat kepada Musa.
Di kalangan umat Kristen, “hari ke-50” itu dirayakan 7 minggu setelah Kebangkitan Yesus untuk memperingati turunnya Roh Kudus kepada para murid. Jadi perayaan 7 minggu setelah panen dari dunia Perjanjian Lama itu diterapkan oleh Perjanjian Baru kepada panenan rohani yang kini mulai melimpah.
Datangnya Roh Kudus
Bacaan pertama (Kis 2:1-11) berisi kisah mengenai Hari Pentakosta. Suatu saat terdengar suara dari langit, menderu seperti taufan memasuki ruangan para murid berkumpul, dan muncullah lidah-lidah api menghinggapi mereka. Dan mereka mulai berbicara dalam banyak bahasa.
Seperti itukah kejadiannya? Lukas sebetulnya hendak menggambarkan pengalaman batin para murid. Saat itu mereka secara bersama-sama merasakan adanya kekuatan yang membuat hati mereka bernyala berkobar-kobar.
Kejadian ini sudah sedikit disinggung dalam cerita mengenai dua murid ke Emaus. Suatu ketika mereka saling berkata, “hati kita berkobar-kobar” (Luk 24:32), artinya pikiran (diungkapkan dengan “hati”) mereka tidak lagi memudar, melainkan menyala-nyala.
Dan sekarang kejadian ini dialami semua murid yang lain dalam kebersamaan.
Juga orang banyak yang ada di sekitar para murid ikut menyaksikan perubahan ini. Roh Kudus itu kekuatan mempersaksikan. Roh Kudus membuat para murid dimengerti siapa saja, baik yang sama agamanya, maupun yang lain.
Tiap orang yang mendengar akan mendapatkan sesuatu. Inilah daya yang dianugerahkan kepada Gereja, ke dalam maupun ke luar. Ke dalam bila memahami apa itu menjadi pengikut dia yang telah bangkit dan mulia itu. Ke luar bila mempersaksikan cara hidup baru ini kepada orang banyak.
Dalam bahasa zaman ini, kekuatan itu terletak dalam kemampuan untuk menerangkan iman kepercayaan dengan cara yang bisa dimengerti oleh orang yang bukan dari kalangan sendiri. Tidak hanya dengan perkataan, melainkan juga dengan sikap hidup dan tindakan.
Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Boleh jadi Pentakosta ini menjadi kekuatan baru untuk tetap memilih hidup beradab dan tidak membiarkan masyarakat dihanyutkan kekuatan-kekuatan yang memerosotkan kemanusiaan.
Ini pilihan sederhana. Tapi juga pilihan yang membuat Gereja tampil sebagai komunitas orang-orang yang setia pada kemanusiaan dan hormat pada keilahian.
Boleh jadi itulah yang dimaksud Lukas ketika mengatakan para murid mulai berbicara dalam pelbagai bahasa dan para pendengar merasa mendengar dalam bahasa mereka sendiri.
Tentunya tidak sama dengan yang dimaksud oleh Markus “bicara dalam bahasa-bahasa baru” (Mrk 16:17) atau yang disebut Paulus sebagai “bahasa lidah” (1Kor 14).
Yang terakhir ini biasanya terjadi dengan gumaman yang bukan terarah kepada sesama melainkan kepada Tuhan (1Kor 14:2-4). Dibutuhkan orang yang dapat menjelaskan apa yang sedang terjadi. (1Kor 14:5-19 dan 27).
Bahasa lidah ini tanda kehadiran roh bagi orang yang belum beriman (1Kor 14:22), bukan bagi mereka yang sudah mulai beriman
Gereja Perdana
Orang-orang yang percaya kepada Yesus dan dibaptis dalam namanya itu hidup dalam lindungan kekuatan yang datang dari atas, dari tempat Yesus kini berada.
Itulah kehadiran Roh Kudus. Kekuatan ini memberi kebijaksanaan, membuat budi bening dan menuntun orang di jalan yang benar. Roh Kudus ini jugalah yang memimpin para rasul ke seluruh penjuru dunia.
Roh yang sama itulah yang kini ada di tengah-tengah orang-orang yang percaya. Orang tidak lagi perlu merasa terancam daya-daya gelap yang pergi datang begitu saja.
Ada arah baru yang tak terpikirkan sebelumnya. Ini membuat alam pikiran orang zaman itu berubah. Terbuka alam baru. Dan ini akan terus berkembang sampai Yesus datang kembali. Inilah gagasan pokok yang disampaikan Lukas dalam Kisah Para Rasul.
Para murid generasi pertama itu kemudian menjadi makin peduli akan keadaan orang-orang di semakin mengerti penderitaan orang lain dari kalangan sederhana. Mereka sudah merasa bebas dan bisa berbuat banyak.
Mereka itu orang-orang yang peduli akan keadaan di masyarakat luas. Dalam banyak arti mereka itu juga membangun wahana hidup yang memungkinkan orang berkembang sebagai manusia yang utuh. Inilah buah pertama dari hadirnya Roh Kudus.
Roh Kudus dan kuasa mengampuni
Menurut Injil Yohanes, Roh Kudus diterima para murid ketika mereka sedang berkumpul dan sedang gelisah. Dalam keadaan itulah Yesus menampakkan diri dan mengembusi mereka. Ia menghadirkan Roh Kudus di tengah-tengah mereka.
Kehadiran Roh di tengah para murid itu bukan berarti mereka kini lebur ke dalam Roh, bukan pula merasuknya Roh ke dalam batin masing-masing murid.
Kenyataannya lebih sederhana, lebih apa adanya. Roh Kudus hadir di tengah-tengah kumpulan murid itu. Para murid masih tetap manusia, tidak menjadi “setengah Roh”.
Kekuatan yang kemudian membuat mereka berani bersaksi itu bukannya karena mereka kini manusia super yang diisi Roh. Mereka itu kuat karena disertai Roh Kudus, bukan karena dirasukiNya.
Setelah berkata “Terimalah Roh Kudus”, Yesus menambahkan, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang terap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23).
Jelas bukan hanya mengampuni kesalahan ini atau itu, hal yang lazim dilakukan dalam hidup sehari-hari, melainkan mengampuni penolakan mendasar terhadap kehadiran Yang Ilahi. Itulah yang dimaksud dengan “dosa”.
Tidak menggubris Yang Ilahi. MenganggapNya sepi. Dalam alam pikiran Yohanes, menutup diri ini ialah sikap khas dunia yang memusuhi Yang Ilahi.
Maka dari itu dunia tetap dirundung kekuatan yang gelap, dan bahkan menjadi tempat daya-daya yang jahat. Dengan demikian dunia akan lenyap dengan sendirinya karena kini terang sudah datang.
Satu-satunya pembebasan dari kuasa gelap ialah menerima terang. Ikut masuk ke dalam Kerajaan Allah, ke dalam wahana ilahi. Dalam pembicaraan dengan Nikodemus ditegaskan oleh Yesus bahwa orang hanya mungkin memasukinya bila lahir kembali dalam Roh, bukan lahir bagi dunia yang menolak kehadiran ilahi (Yoh 3:5-8).
Mendapat kuasa untuk mengampuni dosa atau menyatakannya tetap ada berarti memikul tanggung jawab untuk menentukan apakah penolakan terhadap Tuhan masih bertahan atau sudah mulai lepas. Tanggung jawab ini besar dan berat. Berat karena murid-murid diserahi urusan yang sebetulnya hanya dapat dilakukan Tuhan sendiri, yakni mengampuni dosa.
Besar karena kini mereka ikut dalam penyelenggaraan ilahi untuk mengubah jagat ini menjadi terang, menjadi ciptaan yang baru. Dan tanggung jawab seperti ini diserahkan kepada para murid sebagai kesatuan, bukan urusan orang perorangan.
Bila Gereja memahami diri sebagai kelanjutan para murid tadi, maka kuasa serta tanggung jawab itu terletak pada kebersamaan, bukan hanya pada pemimpin Gereja saja.
Dan sebagai kesatuan, Gereja dapat mengajak orang-orang berkemauan baik mengembangkan kemanusiaan yang beradab. Itulah pelaksanaan dari kuasa mengampuni atau menyatakan dosa tetap ada.
Salam hangat,
A. Gianto