Harry Tjan Silalahi: IJ Kasimo Guru Politik, Romo Rudding SJ Mentor Spiritual Iman Katolikku (2)

0
84 views
Harry Tjan Silalahi SH mengisi nara sumber utama mengisi Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV dan Sesawi.Net. Interpiu panjang selama hampir tiga jam terjadi di rumahnya, Sabtu 24 Februari 2024. (Titch TV /Budi Handoyo)

DARI IJ Kasimo, maka sosok guru politik nasional Harry Tjan Silalahi SH berlajar berani berkata: “Tidak“. Kalau ditanyai dari tokoh siapa dia serius belajar politik praktis, maka Harry Tjan Silalahi (90) langsung tegas menjawab: dari IJ Kasimo.

“Dari IJ Kasimo itulah, saya belajar dan juga berani berkata: Tidak,” kata politisi ulung ini menjawab Titch TV dan Sesawi.Net dalam Program “Bincang-bincang Panjang” di rumahnya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu siang 24 Februari 2024 pekan lalu.

Dalam wawancara ekslusif itu, kami ditemani Mas Subiyanto, senior penulis di Seminari Mertoyudan yang punya segudang cerita tentang dinamika politik di Tanahair.

Tokoh dan pendiri Partai Katolik IJ Kasimo bersama Presiden pertama RI Ir. Soekarno atau Bung Karno. (Dok. Harian Kompas)

Kembali lagi, kami bertanya bagaimana ceritanya dan mengapa Harry Tjan Silalahi sampai pada kesimpulan berani menyebut IJ Kasimo sebagai guru politiknya. Maka dengan sangat lantang pula, salah satu pendiri CSIS (Centre for Strategic and International Studies) langsung menjawab, “Itu karena, IJ Kasimo pernah dengan sangat tegas dan lantang berani menentang Bung Karno.”

“Semua politisi Katolik sudah seharusnya menjadi seperti IJ Kasimo itu. Berani mengatakan ‘tidak’ kepada pemimpin nasional, manakala menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental ke-tatanegara-an,” begitu kurang lebih pedoman hidup yang disodorkan Harry Tjan Silalahi tentang self-positioning yang mesti dikekep serius oleh setiap politisi Katolik.

“Tentu saja kalau ingin menjadi seorang politisi Katolik yang mumpuni, berintegritas, dan influential atas prinsip-prinsip benar dalam berbangsa dan bernegara, ya harus seperti IJ Kasimo itu,” tandasnya berulang kali.

Menentang Bung Karno

Zaman Bung Karno berkuasa sebagai pemimpin nasional dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, siapa sih yang berani melawan dan menentang Pemimpin Besar Revolusi dan tokoh kemerdekaan yang juga dikenal sebagai orator ulung ini. Tapi ketika Bung Karno menyodorkan konsep Nas-A-Kom atau Nasakom, serta-merta IJ Kasimo langsung berdiri dan mengatakan: “Tidak.”

IJ Kasimo, tokoh dan pendiri Partai Katolik dan pernah duduk di jajaran kabinet PM Burhanuddin Harahap zaman Orde Lama. (Ist)

Nas-A-Kom merupakan akronim dari tiga entitas paham atau aliran yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Terhadap yang terahir itulah, IJ Kasimo berani mengatakan “tidak” dan tegas melawan gagasan dan pendapat Soekarno.

Platform politik nasional di Indonesia itu dicetuskan oleh Presiden Ir. Soekarno, saat ia memberlakukan gaya rezim pemerintahan yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Berlangsung pada kurun waktu tahun 1959-1965. Dengan memberlakukan konsep tersebut, dengan sendirinya seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada sosok pemimpin negara.

Gagasan Nasakom dirilis oleh Bung Karno, saat digelar Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 23 Oktober 1965. Dalam kesempatan memberi amanatnya itulah, konsep Nasakom digulirkan dan langsung “ditembak” oleh IJ Kasimo dengan pernyataannya: “Saya tidak setuju.”

Bagaimana mungkin, Partai Katolik nasionalis bisa “bergandengan tangan” dengan paham komunisme yang beradagium revolusi untuk bisa menciptakan tatanan sosial-politik baru. Bahkan Partai Masyumi dari kelompok Islam juga satu kata dengan gagasan IJ Kasimo yang sama-sama menentang Nasakom dan Demokrasi Terpimpin.

Meski pernah Menteri Perdagangan RI era Kabinet PM Burhanuddin Harahap, namun soal prinsip tatanan fundamental kenegaraan, IJ Kasimo bukan tipe “yes man”. Karena itulah, konsep Nasakom dia tentang habis-habisan. Meski hanya memimpin sebuah parpol bernama Partai Katolik yang sangat minoritas, nyatanya IJ Kasimo berani bersuara: tidak.

Harus bersedia katakan “ya” terhadap ke-bhineka-an Indonesia, namun “tidak” mau bergandengan tangan dengan PKI yang menolak agama. Karena berseberangan dengan Bung Karno soal Nasakom itulah, IJ Kasimo akhirnya tergusur dari Partai Katolik yang dia dirikan dan pernah dia pimpin selama 30 tahun.

Rupanya episode penting kisah hidup politikus IJ Kasimo ini sangat membekas pada kedirian Harry Tjan Silalahi, sehingga dalam wawancara selama 2.5 jam itu nama IJ Kasimo dia sebut berkali-kali.

Romo Rudding SJ, mentor spiritualitas iman Katolik

Bicara tentang siapa tokoh yang sangat mempengaruhi hidupnya sehingga menjadi seperti sekarang ini, maka Harry Tjan Silalahi SH langsung kasih jawaban tegas dan telak: Romo Rudding SJ.

Perkenalan pertamanya dengan Romo Rudding SJ terjadi di Sekolah Katolik di Dagen, Kota Yogyakarta. Saat itu, Harry masih remaja berumur kurang lebih 15 tahun dan menjadi murid Sr. Tarsisius CB – guru pendidik sangat kharismatik yang dia hormati. “Karena teguh memegang prinsip hidup baik dan lurus,” kata Harry Tjan menerangkan Titch TV dan Sesawi.Net.

Sekali waktu, sekolah di mana Harry Tjan belajar itu menggelar sandiwara tonil berjudul Tjang Fu Tang karya (Frater) Slamet Muljono. Dipentaskan di Gedung Pertunjukan Tjong Hwa Tjong Hwee yang di zaman itu menjadi Pusat Kebudayaan Tionghoa di Kota Yogyakarta.

Penampakan Gedung Pertunjukan Tjong Hwa Tjong Hwee yang kemudian juga dikenal sebagai Gedung Gedung Chung Hua Tsung Hui (CHTH) zaman baheula dulu, (IG Sejarah Yogya)
Bekas Gedung Pertunjukan Tjong Hwa Tjong Hwee di zaman modern sekarang ini. (IG Sejarah Yogya)

Romo Rudding SJ datang dengan naik sepeda onthel. Karena pertunjukan tonil itu berlangsung pada malam hari, maka Romo Rudding SJ memasang “upet” atau lampu “ting” di ujung depan sepedanya. Dan kepada Harry Tjan, ia kemudian menitipkan upet lampung ting sepeda ini agar disimpan baik-baik dan jangan sampai hilang.

“Karenanya, saya simpan upet sepeda Romo Rudding SJ tersebut dan kemudian saya canthelkan (gantungkan) di WC Gedung Chung Hua Tsung Hui sesuai nama lokasi yang waktu itu populer sering disebut Gedung CHTH,” ungkap Harry Tjan.

Mengapa dirinya yang dicari Sr. Tarsisius CB? “Itu karena saat itu, saya sangat dikenal di sekolah saking suka nakal,” jelasnya.

Begitu pergelaran sandiwara tonil rampung, Romo Rudding SJ mencari Harry Tjan untuk meminta kembali upet sepeda onthelnya.

Lalu terjadilah dialog sesaat yang rupanya menghembuskan daya pengaruh sangat kuat dan itu mengubah perjalanan hidupnya sejak itu.

Romo Rudding SJ bertanya kepada Harry Tjan: “Apakah kamu sudah Katolik?”

Harry pun lantang menjawab: “Bukan.”

“Apakah kamu mau jadi Katolik? Langsung dijawabnya: “Mau.”

Harry Tjan Silalahi SH menunjukkan foto keluarga nenek moyangnya kepada Titch TV dan Sesawi.Net jelang digulirnya Program Bincang-bincang Panjang bersama Redaksi Titch TV di rumahnya, Sabtu 24 Februari 2024. (Titch TV/Budi Handoyo)

Maka Harry pun lalu disuruh datang ke Seminari Code -kini kampus IPPAK Universitas Sanata Dharma- samping Kolese St. Ignatius (Kolsani) untuk mulai belajar agama dan iman kristiani Katolik.

Beberapa lama kemudian, Harry pun dibaptis. Juga kedua orangtuanya dan kakak serta adik kandungnya. “Di keluarga inti kami, saya itulah yang pertama menjadi Katolik,” paparnya.

Romo Rudding SJ dinyatakan hilang dan meninggal dunia saat mendaki Gunung Sumbing. Ditengarai beliau jatuh ke dalam jurang dan karena tulang kakinya patah atau cidera serius, almarhum Romo Rudding SJ tidak mampu naik ke atas. Tulang-belulang yang diyakini sebagai sisa jasadnya secara tidak sengaja ditemukan oleh pencari rumput, ketika lereng Gunung Sumbing baru saja terbakar.

Dipek anak keluarga Hardjosoewito, tetangga rumah di Terban Yogya

Romo van Lith SJ.

Ternyata bukan hanya karena Romo Rudding SJ saja yang telah memotivasi Harry Tjan “menjadi” Katolik. Dan itu juga karena pengaruh sangat kuat dari Bapak-Ibu Hardjosoewito, tetangga dekat rumahnya di Terban, Kota Yogyakarta. Sejak itu, hampir setiap hari keluarga Hardjosoewito selalu mengajak Harry Tjan hadir mengikuti ekaristi harian di Gereja Santo Antonius Paroki Kotabaru.

Yang cukup mengagetkan Harry adalah fakta bahwa sampai saat itu aroma feodalisme masih menancap sangat kuat di dalam hierarki Gereja Katolik. Kaum inlander kalau ikut ekaristi sudah punya porsi tempat duduk mereka: di bawah dengan gelaran tikar. Sementara, umat Katolik lainnya duduk di bangku gereja.

Ketika hal itu sekali waktu ditanyakan kepada IJ Kasimo, maka Harry pun memperoleh jawaban: Ya, ndak usah heran to. Bahkan saat berkunjung ke seminari dan berjumpa dengan Romo van Lith SJ saja, remaja IJ Kasimo masih harus menyapa tokoh misionaris kharismatis di Jawa dan pendiri Kolese Xaverius di Muntilan ini dengan sebutan: “Ndoro paduka romo.” (Berlanjut)

Baca juga: 90 tahun Harry Tjan Silalahi SH: Jengkel kecewa terhadap hierarki Gereja, ikut dirikan CSIS (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here