Hidup Bersama Calon Santo Santa

0
1,700 views

[media-credit name=”Google” align=”aligncenter” width=”395″][/media-credit]Kita tidak bisa memastikan sejengkal pun dari masa depan kita. Pun masa depan anak-anak kita.
‘Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah putra putri sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri. Lewat engkau, mereka lahir namun tidak dari engkau,’ begitu ujar penyair Kahlil Gibran.

Sungguh pun demikian, keluarga adalah sekolah pertama hampir setiap anak. Kata pertama yang keluar dari mulutnya, makanan pertama yang ia telan, ciuman dan belaian yang ia terima adalah bagian dari pelajaran kehidupan.

Keluarga yang baik tentu menginginkan yang terbaik bagi si anak. Yang terbaik adalah yang membuat si anak mampu hidup dan bertahan hidup di dunianya nanti pada saatnya sebagai pribadi yang dewasa.

Dalam tradisi katolik, keinginan untuk memberi yang terbaik, dianjurkan dalam baptisan bayi. Ada harapan dan doa yang direstui Gereja, dari orang tua bahwa anak akan dididik secara katolik supaya si anak bertumbuh dalam iman.

Pendidikan terbaik biasanya berasal dari teladan hidup sang orang tua. Karena pelajaran pertama seorang anak biasanya dimulai dengan meniru.

Dalam tradisi katolik, salah satu kisah keteladanan yang sering disebut adalah keluarga Nazareth, Yosef, Maria dan Yesus. Bagaimana Yosef dan Maria membawa Yesus ke bait Allah pada usia dini untuk diperkenalkan dengan tradisi menggambarkan persiapan keluarga Nazareth untuk karya Yesus di usia dewasa.

Sekitar 50 tahun yang lalu, seorang ibu dari tujuh orang anak bernama Mary Reed Newland, menulis pengalamannya membesarkan anak. Dalam How to Raise Good Catholic Children (Bagaimana Membesarkan Anak Katolik Yang Baik), pembaca memperoleh kebijaksanaan dan praktek sederhana yang berasal dari dapur suatu keluarga katolik, bukan dari perpustakaan milik para ahli psikologi.

Newland mengajarkan bahwa prinsip Kristiani mengenai kekudusan, misalnya, dapat diterjemahkan dalam tindakan-tindakan sederhana bagi anak, seperti mengajarkan kebiasaan berdoa pada anak sejak kecil; mengajak mencintai doa rosario dan berdevosi terhadap Bunda Maria dan santo santa; mengajak untuk bersikap penuh perhatian saat perayaan Ekaristi; membiasakan dengan tradisi pengakuan dosa.

Dalam literatur yang lebih moderen, menarik untuk mencermati bagaimana keluarga begitu memainkan peran yang besar dalam pendidikan anak.
Robert T. Kiyosaki, misalnya dalam buku terkenalnya, Rich Dad Poor Dad, menggali apa yang dilakukan ayah dan anak dari keluarga yang berbeda, yang satu kaya yang satu biasa saja, mengenai kehidupan, terutama mengenai sikap terhadap kekayaan dan uang. Kekayaan dan uang bukan tujuan, tapi sarana untuk mewujudkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan besar.
Sementara, Stephen R Covey yang terkenal dengan buku The 7 Habits of Highly Effective People (Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Paling Efektif), menggarisbawahi kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam keluarga, lewat interaksi anak orang tua yang berpusat pada prinsip dan nilai-nilai universal, dalam The 7 Habits of Highly Effective Families (Tujuh Kebiasaan Keluarga Efektif).

Singkatnya, di saat-saat sekarang ini, dimana terpaan yang mengombang ambingkan tata nilai dalam masyarakat sedang dahsyat-dahsyatnya, banyak orang mulai kembali ke peran keluarga dalam pendidikan anak.

Meskipun keluarga yang baik bukan jaminan untuk pertumbuhan yang baik bagi si anak. Namun ada kepercayaan bahwa keluarga yang baik akan menjadi jenis tanah yang baik dan subur untuk pertumbuhan benih-benih iman.

Siapa tahu, Tuhan memilih keluarga kita menjadi tempat bagi lahirnya seorang santo atau santa baru. Dan kita adalah sang orang tua si santo atau santa. Siapa tahu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here