Hidup Bukan Soal Lamanya, tapi Kedalamannya

1
47,672 views

[media-credit name=”burningtrue” align=”aligncenter” width=”300″][/media-credit]KEBUDAYAAN Cina menjunjung tinggi umur panjang sebagai ukuran kebahagiaan. Lambangnya adalah pohon pinus, yaitu sejenis cemara yang tinggi dengan daun seperti jarum dan tetap hijau (ever-green) sekalipun diselimuti salju.

Umur pohon pinus dapat mencapai empat ratus tahun. Maka, gambar-gambar dinding di rumah orang Cina kebanyakan pohon pinus. Di Eropa, lambang pohon Natal adalah cemara, melambangkan umur yang panjang dan selalu segar.  Kitab suci memandang umur panjang dengan pohon zaitun. Taman zaitun yang dahulu digunakan Yesus istirahat dengan para murid, sekarang pohon-pohonnya masih tumbuh dan belum mati. Umurnya 2000 tahun.

Hari ulang tahun
Merenungi tentang usia, tidak salahlah  kalau kita menghubungkan dengan Hari Ulang Tahun. Di kampung saya – Gunung Kidul,  yang namanya Hari Ulang Tahun itu merupakan  “barang langka”.  Simbah  (bhs Jawa: kakek, maaf menggunakan bahasa ndesa kluthuk)  saya barangkali akan heran setengah mati, ketika para cucunya menyanyikan lagu, “Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia!”  Karena simbah  saya tidak tahu kapan dilahirkan dan tidak ada pengarsipan di sana.

Simbah  saya hanya pernah berkata kepada saya bahwa katanya dia dilahirkan ketika gunung njebluk. (bhs Jawa: gunung meletus).  Dengan demikian, hampir pasti bahwa simbah   saya ini tidak memiliki tanggal lahir yang  pasti untuk HUT-nya. Kasihan! Barangkali di antara kita juga ada yang tidak pernah merayakan HUT.

Banyak pengarang buku ragu dengan silsilah Sukarno. Penulis Jerman, Bernard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, mengaku bingung dengan tanggal kelahiran Sukarno: 6-6-1901.  Sebab dalam catatan stambuk HBS (Hoogere Burgerschool)  Surabaya, ia menemukan bahwa proklamator itu lahir pada 6-7-1902.  Bernard Dahm menduga, Raden Soekemi  (1869 – 1945) – ayah Sukarno – memudakan umur anaknya saat melamar ke HBS. Bung Karno, tidak memiliki tanggal lahir pasti.  Bisa jadi demi sesuatu maksud tertentu, seseorang mengubah tanggal lahir, misalnya  sebagai persyaratan tes masuk suatu lembaga tertentu.

Setiap kali mendapatkan ucapan Hari Ulang Tahun, terbersit dalam diri kita sebuah makna usia. Hari demi hari waktu kita berlari tanpa henti, bahkan tanpa kompromi meninggalkan kita.  Penyair Roma berkata, “tempus fugit” yang artinya waktu berlari dengan cepatnya. Penulis Mazmur pun dengan tidak ragu-ragu menulis, “masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap” ( Mzm 90: 10).

Adrian Pristio dalam Jalan Spiritual Sehari-hari, menulis,  “Waktu perjalanan kembali ke Allah itu hanya sekitar 25.000 sampai 30.000 hari atau 70 sampai 80 tahun dan selebihnya merupakan bonus. Merenungkan tulisan-tulisan itu, betapa singkatnya hidup manusia itu.  Dan kita harus menyadari bahwa setiap kali kita memperingati HUT, kita harus  sadar  bahwa umur kita berkurang satu tahun.  Perayaan  HUT kadang dirayakan dengan ingar-bingar.

Dan anehnya ada beberapa orang – khususnya  para wanita – tidak suka jika orang mengetahui berapa umurnya.  Dan betapa senangnya seseorang jika pada hari HUT-nya  mendapat pujian bahwa dirinya  awet muda.  Pujian  tersebut akan membuat hatinya berbunga-bunga. Tidak salahlah apa yang dikatakan oleh   Jonathan Swift  (1667 – 1745) penulis dari Irlandia, “Everyone wants to live long, but nobody to be old” yang artinya semua orang ingin panjang umur, tetapi tidak seorang pun mau menjadi tua.

Bukan persoalan lama
Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882) penulis Amerika  menulis, “It is not the length of life, but the depth of life” yang berarti hidup ini bukan persoalan berapa lama, tetapi berapa dalam. Kata-kata itu memang sungguh memiliki arti yang mendalam. Kedalaman hidup itu terwujud ketika ketika hidup kita memberi  kontribusi bagi  “dunia”.

Dalam hidup ini pertama-tama kita tumbuh. Dalam bertumbuh tersebut kita perlu disiram, dipupuk dan dipelihara. Setelah bertumbuh dengan baik, maka berbunga dan berkembang.  Di sanalah orang menjadi indah, harum dan banyak sahabat.  Perkembangan ini tentu saja merupakan rahmat dari Tuhan, tetapi sekaligus sebagai tugas untuk semakin mewujudkan cita-cita. Tahap terakhir adalah berbuah  (Mat 13: 1 – 9).

Buah-buah ini yang dirasakan oleh banyak orang. Bagi orang-orang yang mengasihi, usia tua adalah musim panen. Benih-benih cinta kasih yang ditanam dengan sangat saksama pada waktu lalu telah menjadi matang bersama waktu. Orang yang mengasihi dikelilingi dalam masa senjanya oleh kehadiran orang-orang lain yang penuh perhatian. Apa yang telah diberikan secara cuma-cuma dan penuh suka gembira mendapat balasan penuh minat dan perhatian pada masa tuanya.

Renungan ini, akan saya akhiri dengan sebuah arti  umur.  Lao Tze ( sekitar abad – 4 SM  )  penulis buku Tao Te Ching dan pendiri agama Tao di China pernah berkata demikian,

“Orang pada umur 20 tahun belajar bijaksana,

orang umur 30 tahun tumbuh bijaksana,
orang umur 40 tahun merasa bijaksana,
orang umur 50 tahun mencoba bijaksana
orang yang berumur 60 tahun mulai bijaksana
Dan orang berumur 70 tahun baru bijaksana”.

Akhirnya saya  ucapkan kepada orang-orang yang ber-HUT, baik itu tanggal beneran maupun tanggal rekayasa, “Vivat ad multos annos, ad summam senectutem” artinya Semoga ia hidup panjang umur mencapai usia tertua.

1 COMMENT

  1. Yes…..hidup bkn soal durasi tp donasi.
    Yg pntng…p berian diri kpd Pencipta, dan mnsia sktrnya yg mbw makna.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here