Pandemi virus Corona masih berkecamuk. Pengetatan aktivitas masyarakat semakin gencar dilakukan. Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 15 tahun 2021.yang diikuti instruksi para gubernur di Pulau Jawa dan Bali melabeli PPKM dengan kedaruratan. Hierarki gereja juga mendukung upaya pemerintah tersebut melalui berbagai kebijakan level Keuskupan. Beberapa keuskupan menuttp sementara kegiatan ibadah gereja beserta kegiatan menggereja secara luring. Ini semua dilakukan guna menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keselamatan jiwa.
Alih-alih dari situasi ini, apa yang akan terjadi dengan gereja dalam dasawarsa ke depan, manakala pandemi berakhir? Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit generasi muda gereja belum menemukan jodoh seiman. Selama ini banyak bertebaran iklan dan biro perjodohan di media massa offline maupun online. Padahal saat sebelum pandemi, interaksi antarmereka bisa terjalin dengan sangat intens dan leluasa. Lantas bagaimana saat pandemi ini? Jawabannya sudah pasti, interaksi sulit terjadi.
Pandemi membatasi ruang gerak, ruang bersemuka, ruang interaksi verbal maupun nonverbal. Sebuah relasi bisa terbangun baik jika memiliki ruang-ruang tersebut. Terlebih interaksi hati harus bisa secara utuh menyatukan kenampakan gerak, mimik wajah, ekspresi suara, dan ekspresi gerak-gerik nonverbal. Para pejuang cinta membutuhkan itu semua. Hadir di gereja dengan misi tersembunyi agar bisa lirik kanan dan kiri, mentahbiskan diri sebagai aktivis kegiatan paroki dengan ujud dalam hati mencari jodoh, atau sekadar menjadi petualang misa dengan ikut misa di berbagai paroki lain; tidak bisa terjadi lagi. Generasi muda terkungkung bak katak dalam tempurung. Jika ini dibiarkan berlangsung lama, hampir bisa dipastikan, gereja akan mengalami penurunan tuaian penerima sakramen perkawinan.
Di sisi lain, gelombang kedua pandemi yang kebetulan bersamaan dengan awal tahun ajaran baru menjadi keprihatinan bagi sekolah-sekolah swasta. Banyak orang tua akan berhitung ulang untuk menentukan bangku belajar anak-anaknya. Ranah biaya dan keselamatan akan menjadi pertimbangan utama. Tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi ini memporak-porandakan sisi ekonomi banyak keluarga. Tidak sedikit keluarga yang mengalami penurunan penghasilan dan bahkan kehilangan mata pencaharian. Dalam ranah keselamatan, banyak orang tua mendingan menyekolahkan anaknya di lokasi terdekat dari rumah. Toh pembelajaran masih akan dilakukan secara daring. Pilihan masih terbuka lebar manakala belum ada pandemi. Kala itu, meski lokasi sekolah jauh dari rumah (bahkan harus ngekoskan anak) dan berbiaya tinggi (tidak gratis), asalkan sekolah katolik, masih menjadi pilihan. Lantas pertanyaan kritisnya, bagaimana nasib iman anak-anak itu sepuluh atau dua puluh tahun ke depan?
Gereja Adaptif
Dalam 1 Korintus 13:13 kita diajari untuk selalu membangun iman, pengharapan, dan kasih. Orang Jawa juga selalu mengatakan, “isih untung” (masih beruntung), di tengah situasi sesulit apapun. Isih untung ono tempe, tinimbang mangan sega thok (masih beruntung ada lauk tempe daripada makan nasi saja), isih untung diparingi waras, sanadyan mangsa pagebluk ora iso nyambut gawe (masih untung dianugerahi kesehatan, meskipun di masa pandemi tidak ada pekerjaan), dan berbagai isih untung lainnya. Kita selalu percaya ada harapan di berbagai sesaknya situasi keseharian. Selalu ada blessing in disguise, rahmat terselubung di balik sebuah peristiwa. Kuncinya adalah iman akan penyertaan kasih Tuhan, bahwa Gusti boten sare. Selain itu kasih menjadi hal mujarab menyertai iman dan harapan. Kasih tidak bisa hanya dalam bentuk goresan tulisan pena dan kata-kata. Maka jika kita ingin menemukan rahmat, kita harus berbuat dan tidak hanya berdiam diri untuk mewujudkan kasih.
Gereja seharusnya mewartakan kasih dengan bergerak. Bergerak secara adaptif adalah upaya memujudkan rahmat kasih Tuhan. Jangan sampai gereja tidak bisa beradaptasi sehingga bak dinosaurus yang hanya besar di masa lalu. Sudah saatnya di tengah dogma-dogma tradisional, gereja harus adaptif dengan mewujudkan kreativitas dan inovasi yang menyentuh generasi belia. Ruang-ruang perjumpaan meski virtual harus tetap dibangun. Sudah saatnya paroki-paroki berlangganan berbagai moda aplikasi virtual meeting dan aplikasi kekinian lainnya guna memfasilitasi ruang ekspresi. Beri ruang para muda membangun interaksi hati lintas paroki. Moda online justru memungkinkan terbangunnya interaksi dan relasi takterbatas ruang dan waktu. Sekali klik, relasi bisa terbangun lintas benua sekalipun.
Di sisi lain, selama ini seolah tidak ada relasi harmonis antara gereja dengan sekolah, bahkan dalam ringkup separoki sekalipun. Gereja distigmatisasi beraliran religius-rohani, sedangkan sekolah-sekolah katolik masih beraliran profit-duniawi. Akibatnya ketika ada sekolah menggelepar jelang gulung tikar, banyak paroki mengabaikannya. Sebaliknya, banyak sekolah yang tak acuh dengan dinamika paroki di sekitarnya. Pandemi ini seharusnya menciptakan momentum pertobatan dan rekonsiliasi diantara mereka. Bukan saatnya jumawa dan membuat garis demarkasi. Sekolah-sekolah misi yang dalam kondisi hidup segan mati tak mau, bisa difasilitasi dengan moda online milik paroki. Promosi dan publikasi praktik baik sekolah bisa diunggah di laman gereja. Bahkan sudah saatnya paroki-paroki mendorong keluarga-keluarga untuk menyekolahkan anak-anaknya melalui berbagai beasiswa pendidikan. Masa depan gereja menjadi ajang pertaruhan. Meski pandemi, kedalaman iman para generasi belia harus bisa menjadi ujud bersama guna menggaransi masa depan gereja.
R Arifin Nugroho