Iman Katolik: Pastor Jangan Hanya Bangun Gedung, tapi Buatlah Umat Bisa Sejahtera Lahir-Batin

0
1,067 views
Ilustrasi: Almarhum Mgr Johannes Pujasumarta datang mengunjungi bedah rumah Ny Maria Wiro Dimejo di Lingkungan St Agustinus Sudimoro, Paroki Wedi. (Laurentius Sukamta)

SAYA seorang Katolik, sudah babtis. Tetapi saya masih punya pertanyaan ini:

Saya mendapat kesan umum seperti ini. Persaudaraan kita, antara Umat Katolik, kurang hangat. Terutama, bila dibandingkan dengan Umat Kristiani dari Gereja Non Katolik. Mengapa demikian?

Saya kok merasa bahwa kesan itu timbul dari beberapa kenyataan berikut ini.

Lain lubuk, lain ikannya

Pertama, secara kuantitas, jumlah umat Katolik biasanya lebih besar dari umat gereja-gereja Kristen pada umumnya.

Kalau jumlah umatnya sedikit, mau tidak mau mesti juga telah saling mengenal satu sama lain. Saling mengenal tentu akan membuat hangatnya persaudaraan. Apalagi secara eksistensial, di dalam Gereja Kristen ini dimungkinkan bahwa setiap orang untuk mendirikan denominasi Gereja baru.

Yang resmi tergabung dalam PGI saja ada ratusan Gereja.

Sedangkan Gereja Katolik, hanya ada satu yang menampung berbagai “SARA” (suku, ras, berbagai golongan atau komunitas umat beriman). Baru setelah jumlah umat cukup banyak dan siap untuk dijadikan paroki, Uskup akan mengizinkan dibentuknya gereja parokial yang baru.

Ditambah lagi, model ibadat di Gereja-gereja Kristen sungguh lebih informal, terbuka, dengan suasana yang hangat pula.

Tata pola peribadatan di dalam Gereja Katolik sudah sangat formal, tradisional, cenderung kaku, maka jauh dari kehangatan.

Lihat saja lagu-lagunya. Dalam urusan liturgi katolik, urusan lagu ada banyak aturannya. Gereja Kristen lebih fleksibel.

Beda karater umatnya

Kedua, Gereja di kota akan berbeda dengan Gereja di desa. Yang di desa umumnya masih terjadi persaudaraan yang hangat di antara umatnya.

Umat di gereja kota, karena sifat masyarakatnya, individualisme-nya tinggi, maka biasanya umat juga kurang saling mengenal satu sama lain.

Untuk mengatasi hal ini, saya dulu selalu mengajak umat untuk berkenalan dengan kiri-kanan, muka-belakangnya, sebelum saya memulai Perayaan Ekaristi.

Walau hal ini banyak positifnya (antara lain bisa ketemu jodoh), tapi hingga kini, saya kok belum menyaksikan ada banyak imam lain suka dan sering melakukan ‘pratik kenalan singkat’ model itu.

Umat katolik Paroki St. Clara di Bekasi Utara rela berbasah ria oleh keringat dan air hujan setiap kali mengikuti misa di ruas tepi badan jalan. Basah oleh keringat karena terik panas matahari dan basah karena tetesan air hujan menjadi pemandangan setiap akhir pekan saat hujan dan panas mengiringi perayaan ekaristi. (Eman Dapa Loka)

Tidak ada tantangan lagi

Ketiga, menurut saya, hal ini lebih serius. Sebab mencerminkan sesuatu yang sebenarnya lebih dalam daripada yang tampak luarnya.

Coba tolong perhatikan, apakah yang saya amati ini memang secara faktual benar atau tidak.

Di sebuah paroki, yang masih baru, ketika segala sesuatunya masih penuh perjuangan, persaudaraan antara umat umumnya lebih dan masih hangat. Misalnya, ketika mereka belum punya gedung gereja yang bagus yang dapat dibanggakan, persaudaraan masih hangat.

Tetapi begitu segala sesuatunya sudah mapan, sudah ada gedung gereja, gedung pastoran, maka persaudaraan antara umat cenderung kurang hangat.

Barangkali yang jadi  salah satu sumber masalah adalah kemapanan. Atau sudah tidak adanya tantangan. Jika Gereja paroki sudah mapan, maka kesempatan untuk berperan, dan terlibat aktif menjadi kecil. Berkurang kesempatan untuk bisa terlibat aktif.

Karena tidak ada lagi kebutuhan bersama yang mesti dipenuhi.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan itu yang memunculkan suatu tantangan bersama. Tantangan ini akan mengundang banyak pihak untuk terlibat. Untuk itu diperlukan persaudaraan yang hangat agar tantangan bisa diatasi bersama pula.

Mapan, malah jadi tidak akrab

Keempat, kadang terjadi bahwa Gereja atau Paroki yang kaya juga bisa menjadi penyebab ketidakakraban. Memiliki uang yang banyak, biasanya menimbulkan godaan. Minimal ada peluang bisa berebut kesempatan, mengambil peluang “bisnis”.

Dan akhirnya akan menimbulkan macam-macam rasa, termasuk iri hati dll.

Tanggungjawab utama pastor paroki

Yang terakhir, menurut saya, ini yang paling penting. Sebetulnya tanggungjawab Pastor Paroki yang pertama dan utama adalah reksa pastoral bagi segenap umatnya.

Ilustrasi: Paroki menyediakan dana khusus untuk memganpu program belarasa yakni melaksanakan program bedah rumah seperti terjadi di Paroki Wedi di Klaten. Semangat kerja bakti dalam masyarakat semakin terpacu kembali berkat Program Bedah Rumah Paroki Wedi. (Laurentius Sukamta)

Bagi saya, reksa pastoral semestinyabermakna lebih daripada pelayanan sakramental semata. Melainkan yang utama adalah pemeliharaan jiwa-jiwa.

Mampu melahirkan damai sejahteranya umatny. Juga secara rohani dan jasmani.

Karya ini tentu saja berat. Atau bahkan mustahil.

Secara manusiawi, sulit untuk dilakukan oleh imam atau pastor paroki. Tetapi, asal itu sesuai dengan kehendak Tuhan, bersama Tuhan, tak ada yang mustahil, bukan?

Maka, barangkali umat juga harus berani menyampaikan kepada Pastor Parokinya untuk berani mengemban misinya. Yakni –sekedar menyebut beberapa hal di bawah ini antara lain:

  • melakukan reksa pastoral umat;
  • membangun jemaat paroki, betapa pun sulitnya.

Jika keberanian itu disertai komitmen untuk dengan tulus mau mendukung pastor parokinya, tentu situsinya akan bisa berbuah.

Berani mengingatkan pastor

Hal ini diperlukan agar para pastor paroki jangan sampai terjebak pada sangat sibuk diri dengan pertama-tama ingin mendahulukan merancang dan melakukan pembangunan fisik.

Membangun jemaat umat itu lebih penting daripada sekedar membangun tempat (gedung gereja, pastoran, dsb).

Memang membangun tempat (baca: gedung) itu jauh lebih gampang terlihat daripada membangun jemaat. Secara manusia, bangunan fisik juga lebih menggoda, sebab mudah dilihat mata.

Berkarya dalam pengembangan kapasitas umat sering tidak “kelihatan” dan hasilnya pun juga tidak bisa dinikmati secara cepat. Namun, pembangunan SDM itu merupakan investasi jangka panjang.

Coba cek di paroki masing-masing, sejauh mana pastor dan Dewan Paroki sudah punya program-program pengembangan kapasitas umatnya.

Rekomendasi Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II sudah memberi kepercayaan kepada umat untuk terlibat aktif dalam Gereja.

Wujud konkritnya mestinya antara lain kewajiban mengingatkan pastornya (hirarki) agar lebih mengutamakan pembangunan jemaat.

Tentu sebaiknya disertai komitmen untuk mendukung sepenuhnya sesuai dengan profesinya masing-masing.

Mindset umat pun harus diperbaharui. Jangan hanya sibuk dalam dunia ibadat semata.

Umat Paroki Dirjodipuran mengunjungi bazar yang diadakan PSE Rayon Klaten. (Laurentus Sukamta)

Dari altar ke pasar

Gereja, bersama dan dalam umatnya mesti keluar dari ‘altar’ menuju ke ‘pasar’. Artinya di luar altar, masih ada terlalu banyak hal yang mesti diurus oleh Gereja, di bawah pimpinan gembalanya.

Seperti misalnya kesejahteraan sosial, keadilan, kasih persaudaraan dalam umat, dlsb.

Kalau semua ini menjadi tujuan dan sasaran hidup menggereja, maka sebenarnya masih ada banyak peluang untuk berbuat.

Peluang ini pasti akan menumbuhkan semangat persaudaraan yang mendalam dalam umat.

Semarang, 15 Juli 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here