JANTUNG dan obesitas adalah masalah kesehatan utama yang dihadapi almarhum Bruder Greg MTB. Di hari Sabtu dinihari (29/8/2020) ini, ia meninggal dunia di Pontianak.
Karena dua hal itu, lantai dua atas Gedung Museum Misi MTB ini nyaris tidak pernah bisa dia tengok lagi.
“Waktu saya masih sedikit ‘langsing’, semua pojok ruangan saya tengok setiap hari,” ujar alm. Bruder Greg MTB kepada penulis di sela-sela ngobrol ringan di ruang resepsionis Museum Misi MTB di Singkawan, awal Maret 2018 silam.
Di sela-sela asyik nonton pesta ritual Cap Go Meh di Kota Seribu Kelenteng tahun itu, penulis juga menengok sebentar keberadaan Museum Misi MTB. Dan di situ pula kami bertemu dan ngobrol tentang museum yang menyimpan pernak-pernik benda-benda bersejarah.
Semua terkait dengan kiprah para bruder MTB yang merintis karya misi di Kalbar. Dimulai dari Singkawang ini.
Maka di Museum Mgr. Van Hoijdonk –nama resmi museum ini—tersimpan rapi barang-barang langka penuh kenangan ini. Ada sepeda Fongers dengan mana dulu para bruder MTB berkeliling Ketapang dan kota-kota lainnya.
Juga ada gramophone dengan sejumlah piringan hitam. Lalu mesin ketik lawas. Aneka model jubah bruder zaman baheula sampai yang versi lebih “modern”.
Dua lantai
Museum Misi MTB ini terdiri dari dua lantai.
Harus punya sedikit “nyali” untuk bisa naik sampai ke lantai dua. Maklum. Anak-anak tangga itu terlalu kecil untuk menopang volume tubuh manusia yang terlalu gemuk. Juga karena sudut kemiringannya terlalu “tajam”. Dengan ketinggian, mungkin antara 2,5-3 meter ke atas.
Sudah pastilah untuk almarhum Bruder Greg MTB yang super subur tubuhnya, anak-anak tangga ke lantai dua itu sungguh tidak “cocok” untuk bisa dengan mudah bisa dia daki. Meski juga anak-anak tangga itu dibuat dari kayu besi tahan air dan kokoh.
“Dulu sekali, rumah ini menjadi biara pertama Kongregasi Bruder MTB saat mulai mengawali karya misi di Singkawang,” tutur Br. Greg membuka pembicaraan dengan penulis.
Barulah kemudian, ketika bangunan baru bruderan didirikan, maka “rumah lama” itu kemudian jadi “nganggur”. Tidak dipakai dan hanya jadi “barang tontonan”.
“Saya minta izin untuk memanfaatkan rumah onggokan yang masih sangat kokoh itu sebagai museum misi MTB. Syukurlah pimpinan tarekat memberi restu dan izin atas gagasan ini,” kata Br. Greg menjelaskan asal mula berdirinya Museum Misi MTB ini.
Tulisan panjang lebar tentang museum ini sudah dengan baik telah digarap oleh Ping. Bersama Bu Maya –teman sekolah almarhum Bruder Greg—dia telah mengunjungi Singkawang. Jauh-jauh hari sebelumnya.
Tandon air bawah tanah
Tapi kisah tentang almarhum Bruder Greg tidak berhenti di situ. Juga bukan hanya soal museum saja..
Bruder Greg juga bercerita bahwa di bawah lantai bruderan yang baru itu ada semacam ruang tandon air yang ukurannya sangat luas untuk menampung air hujan.
Maklum, di Singkawang waktu itu air bersih masih langka. Kebutuhan air bersih bisa dicari dari tetesan air hujan. Karena Nederland dikenal ahli membangun bendungan, maka para bruder MTB Belanda lalu menerapkan prinsip “hemat air, tampung air hujan”.
Jadilah kemudian, para “insinyur” bruder MTB ini membangun tandon air hujan di bawah tanah.
“Jadi, di bawah lantai koridor biara yang kita lewati dan injak setiap hari itu ada tandon air hujan. Tetesan air hujan melalui talang disalurkan ke tandon bawah tanah. Barulah kemudian, air tandon dipompa ke atas ke tandon air di ketinggian untuk mengisi bak toilet dan keperluan lainnya melalui kran,” terang Bruder Greg dengan semangat.
Ia menjadi lebih semangat lagi, ketika berkisah bahwa dirinya pun termasuk alumnus Seminari Mertoyudan. Hanya almarhum dua tahun lebih awal dari penulis.
Bruder Greg masuk Seminari Mertoyudan tahun masuk 1976, dua tahun sebelum penulis masuk tahun 1978. Dulu dia dikenal dengan nama Budi. Masuk dari sebuah paroki di Jakarta.
Turis domestik ke Singkawang
Di awal bulan Maret 2018 lalu itu, Bruderan MTB di Singkawang lagi kedatangan banyak tamu. Sejumlah rombongan turis domestik dari kawasan Pantura Jawa bagian Timur seperti Pati, Lasem dan juga dari Surabaya datang mengunjungi Singkawang.
Sama seperti penulis. Ingin nonton Cap Go Meh.
Usai nonton pesta ritual adat khas Singkawang ini, para turis domestik ini lalu mampir ke Bruderan MTB. Untuk makan siang. Saya menerima rezeki dari mereka: satu kotak makan siang gratis.
Siang itu,usai makan siang, saya kembali mengunjungi Museum Misi MTB. Kali ini saya merekam sudut-sudut museum ini dengan kamera.
Saya tidak sempat banyak bicara lagi dengan alm. Bruder Greg. Ia lagi sibuk melayani para tamu turis domestik dari Jawa.
Menjelang petang hari, saya minta pamit meninggalkan Singkawang. Di depan bruderan sudah ada mobil dengan dua penumpang teman baik penulis: Sr. Maria Seba SFIC dan mantan magistra-nya Sr. Yulita Imelda SFIC, kini Provinsial Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah.
Atau sering disebut Kongregasi Suster SFIC (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei).
Kami bertiga lalu meluncur ke Seminari Menengah Nyarumkop milik Keuskupan Agung Pontianak. Juga kemudian mengunjungi RS Kusta Singkawang Alverno. Mengunjung teman-teman suster SFIC di kedua komunitas ini.
Hari itu tercatat tanggal 2 Maret 2018. Itulah hari penting, ketika saya melihat untuk terakhir kalinya almarhum Bruder Greg. Saat itu hanya sempat da…da…da…saja, karena dia masih sibuk melayani para tetamu dari Jawa.
Namun sejak itu, almarhum menjadi teman setia yang selalu suka hati menerima kiriman berita-berita tentang Kalbar dan berita Katolik lainnya.
Kini, semoga Bruder Greg bisa beristirahat dalam damai Tuhan. (Selesai)